Utang Pewaris Lebih Besar dari Harta Warisan, Ini Langkah Hukumnya

Jum'at, 13/12/2024 16:36 WIB
Ilustrasi Warisan (Net)

Ilustrasi Warisan (Net)

Jakarta, law-justice.co - Ahli waris secara hukum barat maupun Islam diwajibkan menanggung utang pewaris. Pembayaran diutamakan dari harta peninggalan pewaris. Pertanyaannya, bagaimana bila harta yang ditinggalkan tidak bisa menutupi utang-utangnya sebelum dibagi waris? Bahkan, biaya perawatan rumah sakit pun belum dibayar.

Lalu bagaimana kalau ahli warisnya secara ekonomi/finansial tidak mampu membayar utang-utang pewaris namun harus berhadapan dengan debt collector utang pewaris? Bolehkan ahli waris lain "pasang badan" untuk menyelesaikan masalah tersebut?

Wajibkah Ahli Waris Menanggung Utang Pewaris?

Pertama-tama, kami akan merujuk pada ketentuan Pasal 833 ayat (1) KUH Perdata yang menegaskan bahwa para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal.

Selanjutnya, disarikan dari artikel Haruskah Ahli Waris Membayar Tagihan Kartu Kredit Pewaris?, segala harta peninggalan (harta warisan) dari seseorang yang telah meninggal dunia baik aktiva dan pasivanya yaitu utang dan piutangnya diwariskan kepada para ahli waris. Dalam hal ini, seorang ahli waris dapat memilih apakah ingin menerima secara murni, menerima dengan catatan, atau menolak warisan.

Apabila seorang ahli waris memilih menerima secara murni, maka ia bertanggung gugat atas utang dari pewaris meskipun harta warisan yang diterimanya tidak mencukupi. Selanjutnya, apabila seseorang menerima warisan dengan catatan, maka ia turut bertanggung gugat sebatas harta warisan yang diterimanya. Sementara, apabila seorang ahli waris menolak warisan, maka secara hukum ia bukanlah ahli waris dan penolakan tersebut harus dinyatakan secara tegas di kepaniteraan Pengadilan Negeri. Hal ini berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1057 s.d Pasal 1058 KUH Perdata.

Berdasarkan ketentuan tersebut, ahli waris dapat menanggung semua hak pewaris, termasuk utangnya. Bagi ahli waris yang bersedia menerima warisan, ahli waris tersebut harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu.Namun, perlu dicatat bahwa tidak ada seorang pun yang diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya.

Selanjutnya, terkhusus bagi pewaris dan ahli waris yang beragama Islam, berlaku KHI yang secara lebih rinci mengatur mengenai keadaan apabila warisan tidak mencukupi untuk membayar utang pewaris. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 175 ayat (2) KHI berikut:

Tanggung jawab ahli waris terhadap utang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.

Oleh karena itu, ahli waris hanya dibebani kewajiban membayar utang pewaris sebatas pada harta peninggalan pewaris. Ahli waris tidak berkewajiban menggunakan harta pribadinya sendiri untuk membayar utang-utang pewaris. Sehingga, dalam hal harta warisan tidak mencukupi untuk membayar utang pewaris, para ahli waris dapat saja menolak seluruh warisan atau membayarkannya sebatas pada harta peninggalan pewaris.

Lantas bagaimana dengan utang biaya rumah sakit yang belum terbayarkan?

Dilansir dari HukumOnline, sesuai dengan uraian sebelumnya, para ahli waris yang menolak harta warisan tidak berkewajiban membayar utang pewaris, termasuk biaya-biaya perawatan rumah sakit. Demikian pula menurut KHI, ahli waris hanya dibebani kewajiban membayar utang dari harta peninggalan pewaris, termasuk menyelesaikan baik utang-utang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang.Sehingga, ahli waris tidak berkewajiban untuk menggunakan harta pribadinya untuk membayar utang-utang pewaris, termasuk biaya perawatan selama pewaris berada di rumah sakit.

Menghadapi Debt-Collector Utang Pewaris

Untuk menghadapi debt collector atau penagih utang, sebaiknya para ahli waris bermusyawarah secara baik-baik dengan pihak penagih utang. Para ahli waris dapat menjelaskan segi hukum dari kewajiban pembayaran utang pewaris sebagaimana telah dijelaskan di atas.  

Namun, bagaimana apabila debt-collector bersikeras dan memaksa ahli waris menlunasi utang pewaris?

Perlu diketahui bahwa terdapat serangkaian aturan bagi debitur dalam menagih utang. Misalnya, tidak boleh menyita paksa barang-barang milik debitur, karena hal tersebut hanya bisa dilakukan atas dasar putusan pengadilan. Dalam hal debt collector melakukan penyitaan atau mengambil barang debitur secara paksa pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai perbuatan pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP atau Pasal 476 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan[4] yaitu tahun 2026. Selanjutnya, apabila perbuatan mengambil barang debitur dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, maka debt collector dapat dijerat dengan ketentuan Pasal 365 ayat (1) KUHP atau Pasal 479 ayat (1) UU/1 2023.

Ahli Waris “Pasang Badan” untuk Bayar Utang Pewaris

Pada dasarnya, istilah “pasang badan” yang Anda gunakan tidak dikenal secara hukum. Apabila istilah tersebut dimaksudkan menunjuk salah satu orang (ahli waris) untuk melakukan pelunasan utang-utang pewaris, maka sepanjang penelusuran kami, hal tersebut tidak diwajibkan oleh hukum waris di Indonesia.

Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 1100 KUH Perdata, bahwa hanya para ahli waris yang bersedia menerima warisanlah yang harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu. Namun, jika ada salah satu atau para ahli waris yang dengan sukarela membayarkan utang-utang pewaris menggunakan harta pribadinya, hal tersebut juga diperbolehkan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar