Dr. Fitroh Rohcahyanto, S.H., M.H. (Wakil Ketua KPK periode 2024-2029)

"Kalau OTT Tidak Berlanjut, Bubar Saja KPK"

Rabu, 11/12/2024 10:39 WIB
Fitroh Rohcahyanto, Wakil Ketua KPK periode 2024-2029. Foto: Rohman (law-justice).

Fitroh Rohcahyanto, Wakil Ketua KPK periode 2024-2029. Foto: Rohman (law-justice).

Jakarta, law-justice.co - “Saya enggak kenal Anies sampai sekarang”.

Kalimat itu yang pertama keluar dari Wakil Ketua KPK terpilih, Fitroh Rohcahyanto, ketika kembali mengingat pengusutan kasus Formula E. Kasus ini menjadi atensi kala KPK menggali keterlibatan mantan Gubernur Jakarta, Anies Baswedan. Dinamika internal pimpinan KPK yang saat itu dipimpin Firli Bahuri hendak menaikkan status perkara ke tahap penyidikan, selepas Anies diperiksa pada September 2022.  

Di komisi antirasuah, nama tersangka biasanya ditetapkan saat proses penegakan hukum masuk tahap penyidikan. Fitroh yang kala itu berstatus Direktur Penuntutan KPK tak sepaham dengan Firli Bahuri, yang buru-buru ingin penetapan tersangka. Alat bukti yang dipaparkan dalam gelar perkara dianggap Fitroh tak cukup kuat sehingga motif pimpinan KPK menaikkan status perkara patut dipertanyakan. Janggal yang sama juga dirasa penyidik KPK lain.

Di tengah perselisihan internal KPK dalam kasus itu, Fitroh memilih mundur dari jabatannya pada awal 2023. Kepada Law-justice saat berbincang di sebuah cafe, Fitroh mengakui ada tekanan dari pimpinan KPK untuk mengondisikan kasus Formula E. “Ya, ada (tekanan) itu,” ujar dia pada 29 November 2024.

Sambil meminum tehnya, dia berkata fase mangkat dari KPK hanya ‘bumbu’ hidup untuk memulai perjalanan baru. Sekembalinya ke Kejaksaan Agung, dia tak lantas mengisi pos jabatan di gedung bundar. Posisi lain di luar lembaga penegak hukum yang dia dapat: Kepala Litigasi BUMN Antam. “Sudah setahun lebih saya di Antam. Di Jampidsus sedang tidak ada posisi,” katanya.

Di masa-masa menjelang pelantikan, Fitroh lebih banyak berkutat dengan administrasi korporasi. Di ujung obrolan yang berlangsung selama 40 menit lebih itu, datang staf Antam dengan tumpukan berkas. Kata Fitroh, dokumen-dokumen itu seharusnya ia tanda tangan berbulan-bulan lalu. Semua tertunda karena kesibukan semasa seleksi capim KPK sejak pertengahan tahun. 

“Enak kan enggak kerja, tapi dapat gaji gede,” kelakar Fitroh yang juga bilang bakal segera mengundurkan diri sebelum pelantikan.   

Berikut petikan perbincangan Law-justice dengan Fitroh Rohcahyanto:

Bagaimana ceritanya Jaksa Agung beri restu daftar capim KPK?

Bermula dari keprihatinan saya dengan kondisi KPK. Di mana saya bagian dari KPK masa awal sampai saya keluar dari KPK. Harapan saya masuk kembali ke KPK untuk kembalikan marwah KPK. Setidaknya menguatkan moral teman-teman di sana. Karena saya bisa merasakan kejadian akhir-akhir ini cukup memalukan. Sehingga moral dan semangat kerja teman-teman KPK turun. IPK pasti juga turun karena kinerja lembaganya turun.

Saya juga sharing ke para Jaksa Agung Muda, soal rencana saya balik ke KPK. Ya mereka dukung karena saya punya pengalaman. Kebetulan saya juga belum punya jabatan di kejaksaan. Akhirnya saya memberanikan diri menyampaikan keinginan itu ke Pak Jaksa Agung. Dan beliau menyambut positif. Akhirnya keluar rekomendasi dan dengan rekomendasi tersebut saya daftar.

Waktu itu pertemuan empat mata? Ya, saya ke ruang Pal Jaksa Agung sendiri. Itu waktu jam kerja. Kalau saya enggak dapat rekomendasi, ya enggak etis kalau maju daftar. Kemudian dalam perjalanan seleksi, mulai dari 380 orang, administrasi saya lolos, kemudian tes tertulis lolos, bikin makalah lolos hingga akhirnya wawancara dan terpilih 10 orang.

Ini bukan karena saya pintar. Kalau saya melihat karena banyak doa dari orang.

Termasuk ibu Anda?

Itu yang pertama dan utama. Makanya hari Kamis saat saya dinyatakan terpilih jadi pimpinan KPK setelah fit and proper test di DPR itu, saya langsung pulang ke Jepara. Kenapa saya begitu, Karena doa ibu itu sangat luar biasa tanpa tedeng aling-aling.

Saya di kampung itu jadi motivator. Motivasi yang saya kasih ke masyarakat itu cuma tiga. Satu berbagi dengan orang tua. Kedua, jangan pernah lalim sama orang. Ketiga berbagi sama orang, baik materi, pikiran dan ilmu. Makanya kan pahala yang akan kita bawa terus adalah ilmu yang bermanfaat. Makanya saya meyakini dari doa ibu dan semua orang.

Dinamika minta restu kepada Jaksa Agung bagaimana?

Dari awal mulus-mulus saja.

Menurut Anda, Jaksa Agung condong mendukung siapa dari 5 kandidat kejaskaan? Nah, saya enggak tahu, tapi saya merasa beliau fair menilai seseorang berdasar kemampuan. Karena ketika dikasih rekomendasi, berarti salah satu pasti jadi dan diterima, enggak mungkin enggak. Itu kan bentuk dukungan.

Saat masa seleksi, apakah ada komunikasi dengan Jaksa Agung?

Setiap tahapan, saya selalu meminta restu beliau. Kalau ada kesempatan ketemu langsung, saya ke ruangan. Tapi sering juga via telepon. Saat masuk fit and proper test, saya bilang ke Pak Jaksa Agung ‘Terima kasih sudah memberikan dukungan’.

Jaksa Agung terkejut saat Anda masuk tahap akhir pemilihan?

Ya enggak juga. Sebenarnya enggak bisa diprediksi, apalagi kalau sudah pemilihan di DPR. Makanya saya angkat yang enggak biasa. Kan saya angkat tagline ‘Idola, Gatot Kaca mesra’. Itu kan filosofisnya dalam. Gatot kaca itu saya gambarkan sebagai KPK. Bukan maksud saya Gatot Kaca yang kuat dan pemberani, lalu polisi dan jaksa enggak.

Gatot Kaca itu tokoh pembasmi kejahatan generasi kedua, setelah Pandawa V. Gatot kaca kan anaknya Bima. Artinya sama seperti KPK itu pembasmi korupsi yang lahir di generasi kedua setelah kejaksaan dan kepolisian. Maksudnya KPK jangan merasa paling hebat. Tapi juga kembali ke filosofi lahirnya Undang-undang KPK apa. Mendorong lembaga penegakan hukum yang diberi wewenang membasmi korupsi untuk lebih optimal.

Pas saya wawancara dengan pansel, ada yang bertanya ‘bukankah Kejaksaan sekarang sudah hebat, nah kalau kembali ke konsideran dari UU KPK, lantas buat apa lagi KPK’.

Anda jawab apa? Ya saya menjawab KPK masih sangat dibutuhkan. Karena korupsi masih masif.

Maksudnya, kepolisian dan kejaksaan enggak maksimal?

Bukan, maksud saya apa yang diungkap sekarang ini baru sebatas fenomena gunung es. Masih sedikit. Karena masih banyak perkara besar yang harus diungkap.

Apa saja memang?

Ya, ada lah. Intinya KPK masih perlu ada dan dibutuhkan. Saat dikasih pertanyaan dari pansel itu, saya ditanya apa penyebabnya korupsi masif, saya bilang banyak penyebabnya, tapi faktor signifikan adalah sistem politik.

Anda cukup berani singgung masalah politik jadi pangkal masalah korupsi...

Ya itu saya ungkap juga kan saat di DPR. Sistem politik ini sangat berperan terhadap perilaku koruptif dari pejabat publik atau penyelenggara negara.

Maksudnya bagaimana?

Ya untuk menjadi pejabat publik, dia harus mengeluarkan banyak modal. Pertanyaannya, siapa yang kasih modal itu. Kan pihak ketiga. Lalu apa kompensasinya, ya kan proyek. Ya itulah korupsi. Dan itu yang sering diungkap di KPK.

Ini sama dengan disertasi Anda soal trading in influence...

Ya itu kenapa saya menuliskannya. Jadi memperdagangkan pengaruh, itulah korupsi yang sehari-hari terjadi.

Pintu masuknya lewat konflik kepentingan?

Ya memang melalui konflik kepentingan. Sekarang yang namanya trading in influence, di luar pejabat negara, dia mendapat keuntungan tidak sah dengan cara menjual pengaruh. Pengaruh dari siapa, pengaruh dari pejabat atau pengaruh dari kekuasaan ekonomi, kekuatan politik. Tapi tidak kerja sama dengan pejabat negara.

Misalnya begini, Anda kerja sama dengan saya, Anda kemudian menjual pengaruh saya untuk menerima sesuatu yang enggak sah tanpa pengetahuan saya. Itulah trading in influence, tapi kalau ada kerja sama dengan saya dan ada menjual pengaruh untuk keuntungan tidak sah, ya itu suap karena diatur dari awal.

Ada contoh di BUMN?

Saat di DPR, saya bilang sangat rawan kalau penegak hukum sudut pandangnya kaku. Kalau ada kerugian negara dianggap korupsi, apalagi bisnis-bisnis di BUMN. Misal ada kerugian perusahaan, lalu dibilang ada korupsi. Kan engggak juga. Ada kerugian diakibatkan karena bisnis, yang bukan penyalahgunaan kewenangan dan melanggar hukum.

Saya ketat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, betul-betul harus jelas mens rea-nya

Pasal 2 dan 3 ini lebih banyak di korupsi pengadaaan barang dan jasa kan...

Ya sepanjang bisa dibuktikan ada niat jahatnya. Namun maksud saya ketika melihat ada kerugian, ya jangan dianggap melulu korupsi, terutama kerugian bisnis BUMN. Ada beberapa perkara korupsi kan di BUMN, ada yang bebas diperkarakan. Kasus di Pertamina saat zaman Karen kan enggak semuanya dianggap korupsi. Kalau dari awal sedianya penyidik bisa mengetahui tidak ada mens rea, ya kenapa harus paksakan proses penyelidikan.

Tapi bisa melalui skema follow the money...

Ya itu potensial, makanya di KPK ada kalanya menjerat berdasarkan TPPU.

Tapi selama ini harus ada tindakan pidana asal dulu...

Ya secara norma bisa, karena ada pasal yang bilang tidak wajib dibuktikan terlebih dulu. Tetapi dalam konstruksi dakwaan, asal usul harga itu sebelum dilakukan pencucian uang. Unsur-unsurnya menyembunyikan hingga menyamarkan harta benda yang merujuk UU TPPU. Makanya ada asas pembuktian terbaik. Saya sering pakai itu, tapi harus objektif.

Ketika dalam persidangan terdakwa mampu membuktikan harta bendanya dari hasil sah, maka dalam tuntutan harus dikembalikan miliknya.

Anda sering menyinggung moral hazard sebagai pintu masuk korupsi?

Kalau saya boleh katakan yang mampu djadikan alat untuk menjaga integrtias adalah norma agama. Tapi persoalannya orang yang kemudian beragama itu enggak mengamalkan. Kalau mengamalkan norma, pasti dia menjaga integritas.

Korupsi karena individu atau memang sistem yang bikin celah terbuka?

Ya integritas masyarakat secara umum kan juga rendah. Kalau saya pribadi sistem itu nomor dua. Nomor satu itu moral. Dan kunci ada di penegak hukum.

Di ranah penanggulangan, bukan preventif artinya?

Artinya kalau penegak hukum itu konsisten tegas, tidak bisa disuap, dan berlaku adil untuk semuanya, saya yakin calon koruptor ini enggak akan berani. Tapi kan sekarang penegak hukum gampang disuap. Korupsi itu karena dasar sifat manusia itu rakus. Kalau pendekatan agamannya tidak kuat, dia akan mengikuti nafsunya terus untuk mendapat kekayaan.

Sistem enggak berpengaruh?

Ya sistem memungkinkan untuk itu. Budayanya juga masih membukakan celah. Misal di pengadaan barang dan jasa. Secara sistem kan sebenarnya enggak bisa diatur, tapi kalau manusianya jahat ya bisa aja diakalin. Saya tahu betul tidak ada lelang murni. Itu pemenangnya sudah diatur, kanan kiri sudah dibagi. Makanya saya kesal, dan saya usul diundi saja.

Diundi seperti apa?

Misal, sudah ada proyek yang diikuti oleh peserta lelang yang lengkap persyaratan, lalu diundi saja. Gambling.

Gambling tetap pakai alat sistam dan bisa dimanipulasi...

Iya dan yang bikin manusia dan itulah dunia, sampai kapan pun begitu.

Bicara soal integritas diri, seberapa yakin Anda?

Saya enggak berani mengklaim, karena saya masih merasa kotor. Makanya ketika di level tertentu, seorang itu harus bijak. Wartawan itu kan kacamatanya di dunia ideal. Tapi kan ada dunia realitas yang bertabrakan dengan dunia ideal tadi. Mulai dari realitas politik dan hukum. Kalau pakai kacamata ideal, semua itu salah. Tapi kalau mengakui adanya dunia realitas yang masih belum sempurna, mungkin bisa lebih bijak.

Realitas politik serba pragmatis, apakah ada lobi dari kekuatan politik tertentu saat Anda maju capim KPK?

Enggak ada lobi dari orang partai ke saya. Saya kan profesional. Saya lahir dari KPK ibaratnya. Karir saya di KPK dan di Kejaksaan kan sama lebih dari 10 tahun.

Pendekatan atau deal dari Istana?

Apalagi Istana, saya enggak kenal orang Istana siapa-siapa. Makanya saya cukup lantang sebut masalah politik dan moral jadi akar korupsi. Materi dalam fit and proper test saya bukan dalam posisi menyenangkan politisi. Bahkan saya bilang di DPR, kalau ingin jadi anggota, jangan dipilih karena dia punya uang, tapi pilih berdasar integritasnya.

Marwah KPK sedang ambruk, apa respons Anda?

Saya mengakui bahwa KPK memang terpuruk. Ya sesungguhnya penanganan perkara ya relatif turun, tapi kepercayaan publik turun itu lebih kepada perilaku insan KPK. Itu sangat berpengaruh. Dimulai dari penyidik terima suap, beberapa pimpinan terlibat kasus kode etik dan suap di rutan masif.

Di satu sisi kejaksaan luar biasa mengungkap perkara besar.

Apakah revisi UU KPK menjadi pemicunya juga?

Ketika fit and proper test, saya tegaskan revisi itu mempengaruhi kinerja KPK, tetapi yang paling berpengaruh besar adalah integritas insan KPK. Kalau bicara independen,  ya KPK tetap independen meski di bawah eksekutif. Kan enggak ada sejak revisi itu, kemudian DPR dan Presiden intervensi agar tidak usut perkara ini dan itu.

Anda masih merasa independen meski masih bagian Kejagung?

Saya meyakini bisa independen. Apakah kemudian menjamin juga ketika saya keluar dari kejaksaan, saya jadi independen, kan enggak juga.

Jadi, tidak akan bias?

Enggak akan. Menurut saya kalau komunikasi baik, pasti hasilnya baik.

Komunikasi antar penegak hukum atau dengan koruptor?

Ya misal ada oknum jaksa nakal. Tapi kemudian kalau sebelum kami tangkap, kami komunikasi dengan pimpinan, apa salahnya sih kami mengajak mereka bersama lakukan penangkapan. Tapi kalau kemudian langsung tangkap, secara kelembagaan wajar dong merasa dipermalukan. Yang terjadi seolah saling bersaing.

Kepolisian juga begitu. Misal KPK mau tangkap menteri, ya kalau kami komunikasikan dulu dengan presiden, kan enggak ada masalah toh. Berhukum kan ada adabnya. Jangan jadi orang yang saling bermusuhan. Kan selama ini di KPK sering memperlakukan orang pas rilis tersangka. Apa enggak mikir dampaknya.

Jadi di masa Anda nanti akan tidak ekspos tersangka koruptor dalam konferensi pers?

Ya saya akan minimalisir. Yang penting kan substansinya, proses hukumnya berjalan. Ekspos tersangka seperti sekarang kan itu gimik aja. Sekarang saya tanya, bagaiamana perasaan keluarga yang kerabatnya diekspos begitu.

Soal OTT KPK, apa akan berlanjut?

Ya kalau enggak berlanjut, bubarkan saja KPK itu. Karena satu-satunya lembaga dikasih kewenangan melakukan penyadapan di tingkat penyelidikan, ya cuma KPK. Supaya bisa OTT. Makanya sprindik di KPK itu ketat keluarnya. Karena filosifinya jangan sampai OTT dan sprindik ini dijadikan lahan untuk bertransaski yang ujunjung SP3. Makanya, sebelum direvisi UU KPK, disebut tidak bisa menghentikan penyidikan.

Tapi pernyataan Johanis Tanak memancing polemik soal OTT ditiadakan?

Ya, itu pribadi beliau lah. Tapi kan Pak Tanak melihat istilah kata yang dalam KUHAP enggak ada istilah OTT.

Anda ingin niatkan kembali ke UU KPK lama?

Itu bisa saja. Dan politik hukumnya mengarah ke sana. Tapi jangan jadi alasan revisi UU ini kita enggak bisa berbuat apa-apa. Penyitaan dan penggeledahan kan sekarang enggak perlu izin lagi ke dewas karana ada keputusan MK.

Karena penyadapan ini apapun alasannya ada potensi pelanggaran HAM, melanggar privasi yang khawatir bocor ke publik. Karena dalam penyadapan, ada saja urusan prbadi di luar kasus yang nyangkut, yang itu privat mereka.

Apakah kasus Formula E jadi pemicu Anda keluar KPK dan kini kembali lagi?

Ya saya kan di KPK cukup lama. Saya bisa merasakan perubahan-perubahan yang banyak terjadi dari masa ke masa.

Lebih baik zaman Firli Bahuri atau sebelumnya?

Ya sebelumnya. Intinya dulu itu sebelum zaman beliau, kami kerja lebih objektif. Tuduhan-tuduhan soal politisasi hukum, saya enggak merasakan ada seperti itu. Kan hanya kebetulan saja, yang diusut dari kuning, merah atau biru. Tapi intinya enggak ada pesanan.

Di zaman Firli ada pesanan kasus?

Ya saya enggak katakan begitu, tapi yang jelas suasananya berbeda lah dibanding masa sebelumnya. Makanya nanti di awal-awal jabatan, kami akan sering komunikasi dengan pimpinan KPK terdahulu. Orang lama KPK itu kan yang telah berjuang. Keberadaan KPK itu diakui oleh masyarakat dan dunia internasional. Mereka orang yang berintegritas.

Di zaman Firli, apa komunikasi dengan orang lama KPK itu dijauhi?

Ya dijauhi. Eks-eks pimpinan KPK dulu kan jarang dilibatkan.

Merasakan perubahan di zaman Firli secara drastis ya..

Ya. Dimana egaliter mulai hilang, itu yang paling pertama saya rasakan. Padahal kan KPK dibangun sebagai role model birokrasi yang tidak sistem komando. Kalau pakai sistem komando kan membatasi anak buah.

Sekarang balik kerja sama dengan Pak Setyo Budiyanto, bagaimana perasaan Anda? Saya pernah kerja sama dengan beliau selama 4 tahun, ya sudah seiring sejalan.

Tapi kan sama-sama polisi?

Ya itu penilaian masyarakat lah.

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar