Dissenting Opinion Putusan PHPU,

Hakim Saldi Isra: Ada Ketidaknetralan Kepala Daerah & Kamuflase Bansos

Selasa, 23/04/2024 07:19 WIB
Prof. DR Saldi Isra saat dilantik menjadi Hakim Konstitusi di Istana Negara, Jakarta, 11 April 2017. (Viva)

Prof. DR Saldi Isra saat dilantik menjadi Hakim Konstitusi di Istana Negara, Jakarta, 11 April 2017. (Viva)

Jakarta, law-justice.co - Dalam sidang putusan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024 atas permohonan tim Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar `AMIN`, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Saldi Isra menyampaikan dissenting opinion atau pendapat berbeda.

Di antara penjelasannya dalam dissenting opinion, Saldi menyinggung soal tidak netralnya Penjabat (Pj) Gubernur hingga kepala desa.

"Setelah membaca keterangan Bawaslu dan fakta yang terungkap di persidangan serta mencermati alat bukti para pihak secara seksama saya menemukan bahwa terdapat masalah netralitas Pj, kepala daerah, dan pengerahan kepala desa," kata Saldi saat menyampaikan dissenting opinion usai Ketua MK Suhartoyo memutuskan menolak permohonan tim AMIN di persidangan, Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (22/4/2024).

Saldi menyebutkan, beberapa daerah yang Pj-nya bersikap tidak netral dalam kontestasi Pilpres 2024. Itu meliputi berbagai wilayah mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, hingga Sulawesi.

"Terjadi (Pj tidak netral) antara lain di Sumatera Utara, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan," ujarnya.

Secara konkret, ketidaknetralan Pj itu berupa pengerahan aparatur sipil negara atau ASN untuk condong memilih paslon tertentu dengan berbagai cara. Juga penggunaan dana desa untuk kepentingan paslon tertentu.

"Bentuk ketidaknetralan Pj dan kepala daerah, diantaranya berupa penggerakan ASN, pengalokasian dana desa sebagai dana kampanye, ajakan terbuka untuk memilih paslon yang memiliki komitmen jelas untuk kelanjutan IKN, pembagian bansos, atau bantuan lain kepada para pemilih dengan menggunakan kantong yang identik dengan identitas paslon tertentu," jelasnya.

Kemudian, penyelenggaraan kegiatan massal dengan menggunakan baju dan kostum yang menonjolkan keberpihakan kepada paslon tertentu, pemasangan alat pegara kampanye di kantor pemerintahan daerah, serta ajakan untuk memilih paslon di medsos dan gedung milik pemerintah.

"Selain soal netralitas Pj dan kepala daerah terungkap juga sebagai fakta di persidangan adanya pengerahan atau mobilisasi kepala desa amtara lain seperti di Jakarta dan Jawa Tengah," lanjutnya.

Saldi juga menyoroti penyaluran bantuan sosial (bansos) yang dianggap menjadi alat pemenangan salah satu pasangan calon pada Pilpres 2024. Ia menjelaskan, banyak kajian dan literatur yang menjelaskan penggunaan program pemerintah untuk memenangkan pasangan calon tertentu.

Terdapat dua program yang kerap digunakan secara terselubung untuk pemenangan pasangan calon, yakni pembangunan proyek besar dan program yang bersentuhan langsung dengan pemilih. Dalam hal tersebut, sulit untuk melihat presiden sebagai kepala negara dan pendukung pasangan calon. Sebab, program-program pemerintah tersebut dapat dikamuflasekan sebagai media untuk mendapatkan efek elektoral.

"Orang yang memegang jabatan tertinggi di jajaran pemerintahan tersebut dapat saja berdalih bahwa percepatan program yang dilakukannya adalah dalam rangka menyelesaikan program pemerintahan yang akan habis masa jabatannya," ujar Saldi.

"Namun, program dimaksud pun dapat digunakannya sebagai kamuflase dan dimanfaatkan sekaligus sebagai piranti dalam memberi dukungan atas pasangan calon peserta pemilu presiden dan wakil presiden," sambungnya.

Kendati demikian, tugas utama seorang hakim adalah memutus perkara yang diajukan ke hadapannya secara adil. Hakim harus menemukan kebenaran sesuai dengan fakta dan didukung oleh bukti yang meyakinkan.

"Apabila dalam dalil-dalil yang diajukan Pemohon (Anies-Muhaimin) mengemukakan argumentasi atas terjadinya pelanggaran pada aturan pemilu, fakta tersebut pun sedapat mungkin diukur berdasarkan norma dalam aturan hukum pemilu. Saya meyakini bahwa tidak ada aturan hukum yang sempurna, terlebih paripurna, terkecuali hukum yang dibuat oleh Yang Maha Kuasa," ujar Saldi.

Oleh karena itu, ujar dia, seharusnya MK dalam putusannya memerintahkan KPU menggelar pemungutan suara ulang (PSU) Pilpres 2024 di sejumlah daerah. Hal ini bertujuan untuk menjaga integritas pemilu yang jujur dan adil.

"Seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah sebagaimana disebut dalam pertimbangan hukum di atas," kata Wakil Ketua MK itu.

Selain Saldi ada dua hakim konstitusi lain yang menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan perkara sengketa hasil pemilihan presiden (Pilpres) 2024 yang diajukan pemohon Anies Rasyid Baswedan-Abdul Muhaimin Iskandar. Dua hakim lain itu adalah Enny Nurbaningsih dan Arief Hidayat.

MK menolak gugatan sengketa hasil Pilpres 2024 yang diajukan pasangan capres-cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. MK menolak gugatan Anies-Muhaimin secara keseluruhan.

"Dalam pokok permohonan: Menolak permohonan Pemohon (Anies-Muhaimin) untuk seluruhnya" kata Ketua Majelis Hakim sekaligus Ketua MK, Suhartoyo membacakan amar putusan di ruang sidang MK, Jakarta Pusat, Senin (22/9/2024).

Dalam konklusinya, majelis hakim menyatakan eksepsi Anies-Muhaimin berkenaan dengan pokok permohonan adalah tidak beralasan menurut hukum. Majelis juga menyatakan permohonan Anies-Muhaimin tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

Keputusan ini diambil oleh delapan hakim konstitusi. Hakim Konstitusi Anwar Usman yang merupakan paman dari cawapres Gibran Rakabuming Raka tidak ikut menangani perkara ini.

Gugatan atau permohonan Anies-Muhaimin teregistrasi dengan Nomor Perkara 1/PHPU.PRES-XXII/2024. Pasangan ini meminta MK membatalkan Keputusan KPU Nomor 360 yang menyatakan Prabowo-Gibran meraih 96.214.691 suara (terbanyak).

Anies-Muhaimin juga meminta MK mendiskualifikasi Prabowo-Gibran sebagai peserta Pilpres 2024. Selain itu, mereka meminta MK memerintahkan KPU menggelar pemungutan suara ulang Pilpres 2024 tanpa melibatkan Prabowo-Gibran.

Petitum itu diajukan karena mereka yakin bahwa pencalonan Gibran tidak sah. Mereka juga mendalilkan bahwa pelaksanaan Presiden Jokowi melakukan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) seperti penyalahgunaan bansos demi memenangkan Prabowo-Gibran.

Delapan majelis hakim mengggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk menentukan putusan atas kedua perkara tersebut mulai Sabtu (6/4/2024) hingga Ahad (21/4/2024). Di tengah-tengah RPH tersebut, para pihak dalam kedua perkara tersebut menyerahkan kesimpulan pada 16 April. Selain itu, ada puluhan orang atau kelompok yang mengajukan diri menjadi amicus curiae atau sahabat pengadilan.

Saat berita ini ditulis, MK belum membacakan putusan atas gugatan yang diajukan Ganjar-Mahfud. Sebagai catatan, permintaan Ganjar-Mahfud kepada MK serupa dengan Anies-Muhaimin.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar