Nawaitu Redaksi
Menanti Kejutan Putusan Hakim MK Atas Sengketa Hasil Pilpres 2024
Persidangan di Mahkamah Konstitusi (Foto : BandotDM/Law-Justice.co)
Jakarta, law-justice.co - Mahkamah Konstitusi (MK) dijadwalkan akan mengumumkan putusan terkait sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 pada 22 April 2024. Dalam prosesnya saat ini, MK telah menerima kesimpulan sidang sengketa hasil Pilpres 2024 dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), kubu 01 Anies Baswedan - Muhaimin, kubu 02 Prabowo-Gibran dan kubu 03 Ganjar Pranowo - Mahfud MD.
Kini, delapan hakim konstitusi akan fokus menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) perkara sengketa hasil Pilpres 2024 hingga Minggu, 21 April 2024. Setelah itu MK akan membacakan hasil putusan pada Senin, 22 April 2024.
Sementara menunggu hasil putusan MK atas sengketa hasil Pilpres 2024, banyak pihak sudah mulai menduga duga kira kira seperti apa keputusan MK nantinya. Selain menduga duga keputusan MK, tidak sedikit pula yang berusaha dengan cara sendiri untuk mempengaruhi keputusan hakim MK. Terlepas dari adanya prediksi dan upaya untuk mempengaruhi keputusan hakim MK, yang jelas keputusan MK terkait dengan hasil pilpres 2024 ini akan sangat mempengaruhi perjalanan demokrasi di Indonesia
Seperti apa kiranya pendapat para pakar dalam memprediksi keputusan hakim MK ?. Bagaimana upaya upaya yang dilakukan oleh pihak terkait untuk mempengaruhi keputusan hakim MK ?, Benarhkah keputusan hakim MK untuk mendiskualifikasi Gibran menjadi pilihan yang paling bisa diterima ?
Pendapat Para Pakar
Begitu sangat strategisnya keputusan MK atas sengketa hasil pilpres 2024, sehingga banyak pihak yang menantikan hasilnya. Ada yang bersikap optimis tetapi ada juga yang bersifat pesimis bahwa hasil keputusan MK tidak sesuai dengan harapan mereka.
Sementara menunggu hasil keputusan MK, saat ini sudah berseliweran pendapat para pakar yang memprediksi seperti apa kira kira keputusan MK nantinya. Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana mengungkapkan beberapa kemungkinan putusan MK atas gugatan hasil Pemilu 2024.
Dalam artikelnya di Harian Kompas berjudul Mencari Keadilan Pilpres 2024 yang diunggahnya di akun X pada Kamis (4/4/2024), Denny di antaranya mempertanyakan empat pertanyaan prinsip yang hadir di hadapan hakim MK.
Pertama, apakah terjadi kecurangan konstitusional dalam Pilpres 2024?. Kedua, apakah cawe-cawe Presiden adalah pelanggaran konstitusi?. Ketiga, apakah pencawapresan Gibran Rakabuming Raka sejalan dengan prinsip demokrasi dan aturan konstitusi?. Keempat, apakah ada bukti yang meyakinkan (tidak harus beyond reasonable doubt) bahwa telah terjadi pelanggaran atas prinsip konstitusional pemilu yang luber dan jurdil?
Jika jawaban atas semua pertanyaan itu adalah tidak, kata Denny, maka putusannya mudah, yakni permohonan ditolak dan Prabowo-Gibran menjadi pasangan calon terpilih dalam Pilpres 2024.Namun, kata dia, jika jawabannya adalah iya maka rumusan putusannya menjadi tidak sederhana.
Denny memaparkan bahwa berdasarkan Pasal 77 UU MK, juncto Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2023, putusan MK dalam sengketa Pilpres 2024 ada tiga jenis, yaitu permohonan tidak dapat diterima; permohonan dikabulkan; atau Permohonan ditolak.
"Saya meyakini, Mahkamah tidak akan memutuskan permohonan tidak dapat diterima, karena permohonan Paslon 01 dan 03 jelas memenuhi syarat formil untuk diputuskan pokok permohonannya," tulisnya dalam unggahan di X melalui akun pribadinya @dennyindrayana, Senin (15/4/2024).
Lebih lanjut, Denny menyampaikan bahwa opsi pertama yakni MK menolak seluruh permohonan, lalu hanya memberikan catatan dan usulan perbaikan Pilpres ke depannya. Dalam putusan tersebut, kata Denny, MK akan menguatkan Keputusan KPU yang memenangkan Paslon 02 Prabowo-Gibran, dan hanya memberikan catatan perbaikan penyelenggaraan Pilpres yaitu KPU dan Bawaslu sebagai aktor utamanya.
Kemungkinan lainnya, MK mengabulkan seluruh permohonan penggugat meskipun kemungkinan ini menurut Dennya sangat kecil potensinya. "Dari semua opsi, melihat situasi-kondisi politik-hukum di Tanah Air, termasuk rumit dan sulitnya proses pembuktian, saya berpandangan opsi dua ini hampir muskil bin mustahil terjadi," ujarnya dalam cuitan yang sama.
Selanjutnya, opsi ketiga adalah MK mengabulkan sebagian permohonan yakni mendiskualifiasi cawapres Gibran Rakabuming Raka. Meskipun mungkin saja terjadi, Denny menilai opsi ini tetap tidak mudah untuk diputuskan hakim MK.
Sementara itu Pakar Kepemiluan Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini mengatakan MK berpeluang memutuskan pemungutan suara ulang dalam sidang sengketa hasil Pilpres. Namun, Titi memperkirakan MK tidak akan mendiskualifikasi paslon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. "Kalau dari proses persidangan, peluang untuk putusan itu mengarah pada pemungutan suara ulang terkait dengan pergerakan distribusi bansos (bantuan sosial) yang menyasar titik-titik suara paslon lawan gitu," kata Titi pada Senin, 8 April 2024 seperti dikutip media.
Dia meyakini bahwa MK tidak hanya berfokus pada `angka-angka` perolehan suara saja. Hal ini sudah terkonfirmasi dengan pemanggilang empat menteri Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada sidang Jumat lalu, 5 April 2024. "Saya meyakini akan ada kejutan dari Putusan MK. Sesuatu yang akan berkontribusi bagi perbaikan pemilu Indonesia, terdekat setidaknya menjadi pembelajaran untuk Pilkada 2024," ucapnya.
Optimisme juga disampaikan oleh Politisi PDI Perjuangan (PDIP) Masinton Pasaribu yang mendorong MK supaya memberi putusan bersejarah dalam perkara perselisihan hasil pemilu (PHPU) Pilpres 2024. Masinton mencontohkan, MK bisa memutuskan penyelenggaraan pilpres ulang dengan mendiskualifikasi pencalonan Gibran Rakabuming sebagai calon wakil presiden karena pendaftarannya dinilai melanggar ketentuan yang ada.
"Jika keputusan MK nanti itu benar-benar membuat keputusan bersejarah, dengan menganulir hasil pilpres ini, apalagi mendiskualifikasi, umpama yang didiskualifikasi itu wapresnya lah katakan, Pak Prabowo-nya silakan berkompetisi," ujar Masinton dalam podcast yang disiarkan kanal YouTube Abraham Samad SPEAK UP, Selasa (16/4/2024).
Namun nada pesimis di lontarkan oleh Zainal Arifin Mochtar Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada. Zainal menilai hampir mustahil ada kontestan yang mampu memenangkan gugatan sengketa pilpres di MK.
Terbukti, sejak 2004 pihak yang kalah pilpres selalu menggugat ke MK, namun selalu berujung kekalahan yang diterimanya. Pria yang akrab disapa Uceng ini pun menilai, ada tiga alasan membuat proses gugatan pilpres di MK sulit dimenangkan oleh para penggugatnya.
Pertama, adalah proses pembuktian yang sulit karena batasan waktu yang tersedia untuk pembuktiannya. Kedua, logika Hakim MK yang dinilai masih menitikberatkan kecurangan pilpres dari perhitungan angka. Yang ketiga, tuntutan untuk telah terjadinya kecurangan secara TSM (Terstruktur, Sistematis dan Masif) akan mudah dipatahkan oleh pihak 02 karena dinilai bukan kewenangan MK untuk memutuskannya.
Mereka yang berpikir pesimis pada umumnya karena menghitung kekuatan yang berada di belakang paslon 02 sebagai pemegang kuasa. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa faktor kekuasaan itulah yang paling menentukan merah hijaunya warna hukum di Indonesia. Faktor kekuasaan ini yang paling dominan dan menentukan keputusan hakim MK. Sehingga bukan fakta hukum yang menentukan keputusan mereka.
Teringat apa yang pernah diungkapkan oleh Ibnu Khaldun (Muqaddimah) bahwa "yang kuat itu yang menang" bukan si lemah yang tidak berdaya. Hari ini, siapa yang lebih kuat dari penguasa? Tidak ada. Sepertinya konsep Trias Politika John Locke (filosof Inggris 1632-1704) yang disempurnakan strukturnya oleh Montesquieu (Seorang Ahli Ilmu Politik Prancis 1689-1755) tidak berlaku di alam demokrasi Indonesia.
Lembaga legislatif dan yudikatif di Indonesia sudah berada di genggaman penguasa. Mulai dari Orde Lama, lanjut Orde Baru, kemudian Orde Reformasi, telah menunjukkan bahwa eksekutif dalam hal ini istana, ialah penguasa yang menentukan segalanya. Di tangannyalah semua kebijakan, bahkan UU dan keputusan hukum dikendalikan sesuai dengan kemauannya.
Pemerintah yang sedang berkuasa saat ini yang menguasai angaran negara sehingga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politiknya. Selain itu menguasai aparatur negara untuk bisa digerakkan sesuai dengan keinginannya.
Memang ada sebagian orang telah menaruh harapan terhadap para hakim di MK. Mereka mengira fakta hukum itu independen dan berdiri lebih kuat dari fakta politik yang ada. Tapi di Indonesia, sejarah menunjukkan bahwa politik selalu mengendalikan hukum bukan sebaliknya. Artinya, fakta hukum seperti apapun yang saat ini secara maraton diungkap oleh para penggugat dan sejumlah saksi ahli di persidangan, serta keterangan para pejabat, semua itu tak akan mampu melawan fakta politik hari ini yang ditentukan oleh penguasa.
Sangat mungkin hakim MK tidak semata mata mempertimbangkan keputusan hanya karena fakta hukum semata tetapi juga pertimbangan yang lainnya, pertimbangan politik misalnya. Apa yang terjadi kalau keputusan MK membatalkan kemenangan paslon 02 dan pemilu ulang) dikabulkan MK ? Sangat mungkin bakal terjadi kekacauan dan huru hara. Sebaliknya, apa yang terjadi ketika gugatan 01 dan 03 itu ditolak oleh MK ?. Bisa jadi akan terjadi juga kekacauan tetapi tidak separah opsi pertama. Kalau ini fakta politiknya, maka pilihan kedua akan menjadi keputusan MK.
Begitulah dasar logika sederhana bagi mereka yang berpikir pesimis bahwa MK akan membuat keputusan bersejarah yang bisa membawa perubahan bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Bahwa faktualnya kekuasaan itu menentukan merah hijaunya penegakan hukum di Indonesia dan bukan fakta hukum semata.
Upaya Mempengaruhi Hakim MK
Banyak pihak, terutama pendukung paslon 01 dan 03 yang berharap MK punya nyali untuk mengabulkan gugatan kontra paslon 02 yaitu Prabowo-Gibran Rabuming Raka.Ada dua bukti pelanggaran yang mereka anggap begitu nyata yaitu pencalonan Gibran di KPU yang dinilai cacat administratif dan ada nuansa penyalahgunaan kekuasaan di dalamnya serta adanya fakta cawe-cawe Presiden yang sekarang berkuasa.
Mereka melalui pengacaranya berusaha meyakinkan para hakim MK bahwa kecurangan itu memang nyata adanya. Dengan menghadirkan saksi aksi ahli serta alat bukti yang mereka punya, berharap para hakim MK akan berpihak kepadanya untuk mengabulkan semua tuntutannya.
Mereka bukan hanya bergerak di persidangan saja tetapi juga di luarnya melalui pembentukan opini dimedia massa. Bukan hanya itu saja, unjuk rasa juga di gelar secara beruntun dimana semua bertujuan agar hakim MK memutuskan perkara sesuai dengan kemaunnya.
Fenomena tersebut sebenarnya mirip kejadiannya pada tahun 2019 yang lalu ketika kubu Prabowo yang berpasangan dengan Sandiaga Uno juga menggugat ke MK karena menganggap lawannya telah bermain curang ke pihaknya.Yang membedakan dengan kondisi sekarang barangkali adalah massifnya upaya yang dilakukan oleh politisi dan kaum intelektual untuk mempengaruhi hakim MK.
Salah satu upaya yang lagi ramai dan banyak diekspose oleh media adalah munculnya Megawati yang menulis surat terbuka untuk MK.Surat berisi seruan moral yang sangat lugas itu bisa dibaca secara terbuka karena dipublikasi juga di Harian Kompas dengan judul “Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi.” (8 April 2024).
Seperti diungkapkan Hasto Kristyanto, Sekjen PDIP melalui berbagai media, surat itu memang tidak hanya dimaksudkan untuk para hakim MK. Melainkan juga agar bisa dibaca dan diketahui isinya oleh rakyat Indonesia. Pada bagian akhir surat tersebut, Megawati menulis: “Semua pemikiran dan pendapat di atas, saya suarakan sebagai bagian dari Amicus Curiae, atau Sahabat Pengadilan. Merdeka!”.
Sebelumnya, Amicus Curiae juga datang dari 303 orang guru besar dan perwakilan masyarakat sipil yang peduli pada perkembangan demokrasi di Indonesia . Amicus Curiae atau "Sahabat Pengadilan" (Friends of the Court) adalah pihak-pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara sehingga mendorong mereka untuk memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan, dalam hal ini hakim MK.
Sebagaimana terbaca dalam tajuk opininya, saripati pikiran Megawati memang terkait dengan kewajiban moral para hakim konstitusi untuk memegang teguh dan menunjukkan karakter kenegarawanannya. Karena hanya dengan karakter dan sikap inilah mereka bisa menghadirkan keadilan substantif serta menempatkan kepentingan negara bangsa sebagai mahkota. Bukan kepentingan parsial dan kelompok serta kepentingan-kepentingan pragmatik-oportunistik semata.
Dalam pandangan Megawati, Presiden memegang kekuasaan atas negara dan pemerintahan yang sangat besar tanggungjawabnya. Karena itulah penguasa eksekutif tertinggi tersebut dituntut standar dan tanggung jawab etikanya agar kewibawaan negara hukum bisa tercipta.
Dalam kerangka etik itu, maka persoalan yang berkaitan dengan keselamatan seluruh bangsa dan negara berada di pundak presiden yang sekarang berkuasa. Untuk alasan itulah, Presiden harusnya berdiri untuk semua. Segala kesan yang menunjukkan bahwa presiden memperjuangkan kepentingan sendiri atau keluarganya harus dikesampingkan adanya . Sebab presiden adalah milik semua rakyat Indonesia.
Apa yang dilakukan oleh Megawati dengan Amicus Curiae-nya pada dasarnya adalah hak setiap warga negara yang peduli pada nasib bangsanya. Tujuannya tentu saja mempengaruhi pendapat hakim MK meskipun tidak mengikat sifatnya.
Kalau kubu 01 dan 03 bersama pendukung dan simpatisannya berjuang keras untuk membangun opini dalam rangka mempengaruhi hakim MK. Kiranya begitu pula halnya dengan kubu 02 yang menjadi rivalnya. Mereka tidak tinggal diam menerima keputusan MK. Sebelum vonis hakim dijatuhkan, tentu mereka juga ikut berusaha, bergerilya agar keputusan hakim MK nantinya sesuai dengan keinginanannya.
Ketua Tim Pembela pasangan 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, Yusril Ihza Mahendra, nampaknya begitu yakin MK akan menolak semua gugatan hasil Pilpres 2024 yang diajukan oleh kubu 01 dan 03. Yusril menyebut pihaknya tengah memfinalisasi kesimpulan dari dua perkara permohonan sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Politikus PBB itu mengatakan bahwa seluruh anggota Tim Pembela Prabowo-Gibran sudah menandatangani kesimpulan tersebut dan telah menyerahkannya ke Panitera MK. Nantinya, kesimpulan itu akan diteruskan ke Ketua MK sebelum pembacaan putusan hasil PHPU yang direncakan 22 April 2024.
Wakil Ketua Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran itu juga berkeyakinan MK bakal bersikap sama dengan pihaknya, yakni seluruh petitum yang diajukan kedua pemohon tidak beralasan hukum dan tidak didukung alat bukti yang nyata. "Karena itu, kami berkeyakinan MK akan menolak seluruh permohonan kedua Pemohon," ujar Yusril melalui keterangan tertulis, dikutip Minggu (14/4/2024).
Yusril memandang MK sudah mempelajari dengan seksama pokok-pokok permohonan kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, pihak termohon Komisi Pemilihan Umum (KPU), pihak terkait kubu Prabowo-Gibran, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), serta sederet saksi dan ahli termasuk empat menteri Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang telah memberikan kesaksiannya di sidang MK.
Oleh karena itu, selain meyakini permohonan PHPU ditolak, Yusril meyakini MK bakal menyatakan hasil penghitungan suara resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah benar dan sah adanya. Dengan demikian, MK bakal menetapkan Pranowo-Gibran sebagai pemenang Pilpres 2024 tanpa ada keraguan didalamnya.
Keyakinan Yusril bahwa hakim MK berada di pihaknya barangkali juga mengacu pada pengalaman penyelesaian sengketa PHPU sebelumnya yang selalu di tolak oleh MK. Terbukti, sejak tahun 2004 pihak yang kalah pilpres selalu menggugat ke MK, namun selalu berujung kekalahan alias ditolak oleh MK.
Gugatan pilpres kemungkinan bisa dimenangkan jika para Hakim MK bisa memiliki lompatan berpikir dengan melihat kecurangan pemilu tidak hanya dari sekadar angka dan hasil perolehan suara. Dibutuhkan hakim yang berani dan memiliki lompatan berpikir tidak seperti biasanya. Tetapi mungkinkah itu bakal terjadi dengan konfigurasi hakim MK yang sekarang menjadi pengadil perkara ?
Jalan Tengah
Barangkali kita bisa merasakan bagaimana suasana batin yang saat ini sedang melanda hakim MK. Mereka dituntuk membuat keputusan yang benar benar adil karena menyangkut nasib perjalanan demokrasi di Indonesia.
Kalau hakim MK dalam keputusannya nanti menyatakan menolak seluruh permohonan para pemohon, lalu hanya memberikan catatan dan usulan perbaikan Pilpres ke depannya yang berarti menguatkan Keputusan KPU yang telah memenangkan Paslon 02 Prabowo-Gibran Rakabuming Raka, maka keputusan seperti ini nampak tidak adil dan pasti dianggap berpihak pada penguasa. Karena senyatanya kecurangan pemilu pilpres itu begitu nyata adanya sehingga kalau dilegalkan akan menjadi preseden buruk nantinya.
Keputusan sebagaimana dikemukakan diatas akan menimbulkan rasa kecewa bukan saja paslon 01 dan 03 tetapi juga anak anak bangsa yang peduli pada nasib keberlangsungan demokrasi di Indonesia yang telah menjadikan pemilu curang sebagai sarana melegitimasi kekuasaan yang didapatnya. Sangat mungkin pula keputusan seperti ini akan menimbulkan chaos alias huru hara.
Pada sisi lai kalau MK mengabulkan seluruh permohonan penggugat yang berarti membatalkan kemenangan paslon 02 dan mendiskualifikasi pasangan Prabowo-Gibran Rakabuming Raka, rasanya tidak mungkin juga. Karena selain faktor “kekuasaan” yang selama ini sangat berpengaruh menentukan keputusan sebuah perkara, juga karena bisa menimbulkan chaos alias huru hara. Pendukung 02 yang berjuta juga jumlahnya di sokong oleh kekuatan pemodal yang ada dibelakangnya sepertinya tidak akan tinggal diam menerima keputusan MK.
Ditengah tengah posisi dilema seperti digambarkan diatas maka putusan MK yang paling realistis dan dianggap sebagai jalan tengah adalah Prabowo Subianto dinyatakan tetap memenangi Pilpres tapi dilantik tanpa Gibran Rakabuming Raka. Hal itu dilakukan jika MK menyatakan adanya pelanggaran konstitusional dalam pencalonan Gibran sebagai calon wakil presiden (cawapres) Prabowo.
Putusan tersebut dipandang menghormati perolehan suara Prabowo dalam Pilpres 2024 dan juga menjaga perasaan para pendukungnya. Rasanya kalau seperti itu keputusan MK, maka relatif lebih bisa diterima kubu 01 dan 03 maupun kubu 02. Lebih kecil resikonya bakal terjadi huru hara karena penolan dari pihak pihak yang bersengketa.
Lagi pula kalau kita telusuri jejak jejak kecurangan pemilu 2024 hampir semuanya bermuara pada adanya cawe cawe Presiden karena telah mencalonkan anaknya yang dianggap cacat etika. Sehingga sangat wajar dan masuk akal kalau kemudian hukuman di berikan kepada aktor penyebab adanya kecurangan itu dengan menghukumnya. Caranya adalah mendiskualifikasi kemenangannya yaitu dengan menggagalkan pelantikan Gibran Rakabuming Raka.
Memang ketika keputusan untuk mendiskualifikasi Gibran itu diambil oleh MK akan mempunyai konsekuensi hukum yang tidak sederhana. Karena faktanya tuntutan untuk mendiskualifiaksi Gibran tidak menjadi tuntutan paslon 01 dan 03. Lalu bagaimana solusinya ?. Sesuai ketentuan Pasal 53 ayat (2) Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2024 diatur, "Dalam hal dipandang perlu, Mahkamah dapat menambahkan amar selain yang ditentukan sebagaimana pada ayat (1). Norma tersebut, dapat dimaknai, Mahkamah membuka peluang ultra petita, bukan hanya di luar yang dimintakan para pihak, bahkan pun di luar ketentuan Peraturan MK atau bahkan UU MK.
Dasar amar demikian berlandaskan pada suatu fakta bahwa peradilan sengketa Pilpres bukan sengketa perdata, tetapi peradilan konstitusional tata negara, sehingga demi menjaga kehormatan konstitusi, bisa memutuskan di luar permintaan para pihak yang bersengketa. Hal mana sudah beberapa kali dilakukan oleh MK dalam memutus perkara yang ditanganinya.
Jika putusan MK menyebutkan Gibran terbukti melanggar konstitusi, maka pencalonan Gibran sebagai Cawapres gagal dan posisi Wakil Presiden (Wapres) akan kosong atau dianggap tidak ada. Dalam hal demikian maka berlaku Pasal 8 ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi, “(2) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden” yaitu Prabowo. Jadi, Prabowo sudah dilantik, punya waktu 60 hari, mengusulkan dua nama, dan dua nama itu dipilih oleh MPR.
Jika keputusan MK nantinya seperti digambarkan diatas maka akan membawa dampak positif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Bahwasanya kecurangan dalam pemilu bagaimanapun tidak boleh dibiarkan berlalu begitu saja. Ada sanksi yang diterapkan sehingga membuat pihak pihak yang akan melakukan pelanggaran serupa akan berpikir ulang untuk melakukannya
Banyak pihak yang berharap kepada hakim MK untuk bisa memberi putusan bersejarah dalam perkara perselisihan hasil pemilu (PHPU) Pilpres 2024. Untuk itu para hakim konstitusi sungguh-sungguh diharapkan bisa menunjukkan sikap kenegarawanannya sebagai upaya pemulihan etika dan moral yang saat ini sedang melanda elite Indonesia.
Tanpa sikap kenegarawanan itu, MK hanya menjadi jalan pembenaran bagi sengketa Pilpres yang orientasinya hanya pada hasil, tanpa melihat secara jernih bagaimana proses dan keseluruhan input dari prosesnya. Belajar dari putusan perkara Nomor 90 yang kontroversial, harusnya hakim konstitusi sadar dan insaf untuk tidak lagi mengulanginya. Tanpa landasan etika, moral, dan keteladanan pemimpin, manipulasi hukum menjadi semakin mudah dilakukan nantinya.
Kita sedang menunggu, apakah hakim MK itu nantinya akan mencatatkan diri sebagai kepanjangan tangan penguasa yang mentolerir adanya kecurangan atau berani membuat kejutan sejarah dengan keputusannya yang berpihak pada kekuatan moral dan etika demi masa depan perkembangan demokrasi di Indonesia ke depannya.
Komentar