Nawaitu Redaksi

Ironi Sikap Marah Elit PDIP yang Merasa Dihianati Jokowi

Sabtu, 20/04/2024 21:56 WIB
Presiden Joko Widodo bersama Megawati Soekarnoputri yang juga Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) beberapa waktu lalu di Rumpin, Bogor. (Biro Pers Sekretariat Presiden)

Presiden Joko Widodo bersama Megawati Soekarnoputri yang juga Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) beberapa waktu lalu di Rumpin, Bogor. (Biro Pers Sekretariat Presiden)

Jakarta, law-justice.co - Ditengah suasana Idul Fitri, ketika masyarakat umumnya saling bermaafan, publik disuguhi `drama perseteruan` antar elite politik terutama Megawati Soekarnoputri dan Presiden Jokowi. Perseteruan itu merupakan residu pilpres 2024 yang dimenangi pasangan Prabowo-Gibran, putra Jokowi.

Pimpinan PDIP, partai tempat Jokowi dan Gibran bernaung, merasa dikhianati oleh keduanya karena menyempal dari kesepakatan partai. Sebagaimana diketahui, PDIP secara resmi telah mengusung Ganjar-Mahfud pada pilpres yang baru saja usai. Sebagai partai yang membesarkan Jokowi, juga Gibran, PDIP merasa perlu mendapatkan rasa hormat yang tinggi.

Kini, setelah pilpres berakhir dan KPU menetapkan pasangan Prabowo-Gibran sebagai pemenang, perseteruan bukannya mereda, melainkan tampaknya kian menjadi jadi. Jokowi yang ingin ketemu Megawati untuk bersilaturahmi di lebaran kali ini nampaknya agak sulit terealisasi karena elite PDIP merasa masih sakit hati.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengingatkan bahwa Presiden Joko Widodo tak bisa begitu saja menemui Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.Pasalnya, Hasto menyebut bahwa anak ranting PDIP telah meminta agar Jokowi menemui mereka terlebih dahulu sebelum bisa bertemu Megawati.

Barangkali, saat inilah puncak buruknya hubungan antara Jokowi dengan Megawati setelah sekian puluh tahun hubungan keduanya nampak tidak ada kendala yang berarti. Fenomena ini tentu patut disesalkan ditengah masyarakat yang terbelah sewaktu pemilu saja sudah saling berangkulan dan bermaafan, tetapi elitenya terus gontok-gontokan sehingga tidak bisa diteladani.

Memang ada pasang surut hubungan antara Jokowi dan Megawati. Ada kebencian sekaligus kerinduan antara keduanya dimana Megawati sebagai pimpinan partai mempunyai kader partai yang duduk sebagai Presiden RI sekaligus petugas partai

Seperti apa bentuk kebencian dan kerinduan  PDIP terhadap Jokowi yang selama ini dilabeli sebagai si petugas partai ?. Mengapa sikap PDIP yang merasa dikhianati oleh Jokowi dikatakan sebagai sebuah ironi ?. Apa makna terselubung  dari relasi antara Megawati dan Jokowi yang seperti ini ?

Kebencian dan Kerinduan

Sejak kekalahan jagoannya di pilpres 2024, elite PDIP semakin gencar saja menyerang Jokowi dan keluarganya. Terbaru, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengaku partainya khilaf atas pencalonan Gibran Rakabuming Raka pada saat maju sebagai Wali Kota Solo. Sebab, alasan di balik partainya mengajukan Gibran lantaran kepemimpinan Presiden Jokowi yang dinilai membawa kemajuan bagi Indonesia. Namun, kemajuan tersebut berdampak pada tingginya utang negara.

Sikap partai di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri yang menyerang Presiden Jokowi karena memendam rasa marah dan kecewa. Pertama, marah dan kecewa karena Gibran membangkang dan melawan PDIP di pilpres yang nota bene partainya. Secara umum kecewanya ke Jokowi sebagai Bapaknya. 

Yang Kedua, marah dan kecewa karena Gibran yang semula tak cukup syarat tapi tiba-tiba maju karena putusan Mk. Ini yang menjelaskan kenapa PDIP sangat keras ke Gibran dan tidak ke Prabowo yang menjadi pasangannya. Seperti diketahui, Gibran yang merupakan kader PDIP akhirnya secara resmi menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto dan berhasil menjadi pemenang suara terbanyak berdasarkan rekapitulasi nasional dan ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2024-2029.

Kekecewaan dan kemarahan PDIP kepada petugas partainya sebenarnya sudah menyeruak cukup lama.  Politisi PDIP Adian Napitupulu pernah menuding Jokowi telah berkhianat kepada partainya. Hal itu disebabkan karena permintaan perpanjangan jabatan presiden ditolak oleh ibu Mega.

Adian mengatakan, persoalan pengkhianatan Presiden Jokowi dan keluarganya terhadap PDIP disebabkan karena hal sederhana. Yaitu, PDIP tidak mengabulkan permintaan Jokowi untuk memperpanjang masa jabatannya sebagai presiden menjadi tiga periode dan menambah masa jabatannya.

“Nah ketika kemudian ada permintaan tiga periode, kita menolaknya. Ini masalah konstitusi, ini masalah bangsa, ini masalah rakyat, yang harus kita tidak bisa setujui,” terang Wakil Ketua Tim Koordinasi Relawan Pemenangan Pilpres (TKRPP) PDIP itu dalam keterangan resminya, Rabu (25/10/23) seperti dikutip media.

Bukan hanya Adian,Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sempat berpidato berapi api sambil mengumbar kekecewaan dan kemarahannya. Pidato yang berlangsung di Kemayoran Jakarta pada 28 November 2023 menyentil Jokowi yang mirip dengan penguasa orde baru (Orba).

"Mestinya Ibu (menceritakan dirinya sendiri -red) nggak boleh ngomong gitu, tapi sudah jengkel. Tahu nggak, kenapa? Republik penuh dengan pengorbanan, tahu tidak? Kenapa sekarang kalian yang baru berkuasa itu mau bertindak seperti zaman Orde Baru?" kata Megawati seperti dikutip dari detikcom, Selasa (28/11/2023).

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengungkit soal kekuasaan dan orde baru dalam rapat koordinasi nasional (Rakornas) Relawan Ganjar - Mahfud di Jiexpo Kemayoran, Jakarta. Ucapan Megawati ini disambut riuh oleh para relawan paslon 03.  "Benar tidak? merdekaaa, merdeka, merdeka. Menang kita....? Ganjar-Mahfud satu putaran..?" kata Mega seperti dikutip media.

Megawati begitu emosi karena Mahkamah Konstitusi (MK) telah dipermainkan hingga secara moral runtuh karena memaksakan kehendak untuk meloloskan anak Jokowi, Gibran Rakabuming, maju Pilpres2024 sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto.

Dengan pernyataannya tersebut seolah olah Megawati ingin memberikan penegasan bahwa roda pemerintahan Jokowi sudah menabrak batas konstitusi negara. Pidato Mega itu semacam kode untuk bangsa Indonesia agar tetap bersuara secara lantang menentang kekuasaan yang sudah dijalankan ala Orba. Jadi cukup jelas terbaca kemarahan Mega itu meskipun tidak menyebutkan kemarahannya itu ditujukan kepada siapa tetapi publik paham bahwa secara semiotik kemarahan itu ditujukan kepada Jokowi beserta keluarganya.

Dibalik kekecewaan dan kemarahannya itu barangkali Megawati juga khawatir bahwa dalam konteks kepala pemerintahan, Jokowi bisa menggunakan kekuasaannya untuk memenangkan anaknya dengan berbagai cara. Sebab, akses dan kendali pada kekuasaan itu ada pada tangannya.Sehingga hal ini yang sangat dikhawatirkan oleh ibu Mega. Ditambah lagi, Mega ketar-ketir karena Jokowi dalam gelaran Pilpres tak berada di sisi PDIP pada hal anak sulungnya, Gibran justru menjadi cawapres dari kubu lawan PDIP yaitu paslon nomor urut 02.

Kemarahan PDIP terhadap Jokowi ternyata bukan hanya ditingkat elitnya saja tetapi sampai ke tataran akar rumput juga.Menurut pengakuan  Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto mengatakan partainya telah mendengar aspirasi dari akar rumput yang mendorong agar PDIP tak bergabung atau bersatu kembali dengan Presiden Joko Widodo setelah relasi hubungan keduanya retak pasca-pemilu 2024. "(Akar rumput PDIP) enggak mau bergabung dengan pak Jokowi,” kata Hasto di Jakarta, Kamis (18/4/24).

Dibalik kekecewaan dan kemarahannya, sebenarnya elite PDIP sangat merindukan Jokowi untuk “balik kendang” menjadi anak manis seperti sebelum sebelumnya terutama ketika Jokowi masih menjadi walikota Solo atau menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Saat itu Jokowi begitu diandalkan oleh partainya dan menjadi anak kesayangan Ibu Mega. Bahkan di medio tahun 2014 yang lalu, Jokowi yang sat itu masih menjadi Gubernur DKI Jakarta Jokowi kerap disebut terlalu patuh dengan Ketua Umum-nya.

Seperti peristiwa Rabu 12 Maret 2014 ketika Jokowi diajak Megawati ke Blitar, Jawa Timur, untuk ziarah ke makam Bung Karno. Sebagai wakil juga rekan politik, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengungkapkan penilaiannya terhadap hubungan politik Jokowi dan Mega.

"Beliau itu kalau saya lihat... Beliau merasa Ibu Mega itu bukan cuma anak biologis Bung Karno, tapi juga anak ideologisnya. Pak Jokowi kan sangat Marhaen. Orang boleh menjelek-jelekkan Bu Mega, tapi bagi Pak Jokowi, Bu Mega adalah Marhaen asli," ujar Ahok di Balaikota DKI Jakarta, Kamis (13/3/2014).

Betapa saat itu Jokowi begitu menurut kepada kemauan elite partainya tergambar juga ketika terjadi peristiwa eksekusi gembong narkoba duo Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran asal Australia. Saat itu media Australia secara mengejutkan melansir laporan yang mengusik sosok Presiden Indonesia. Media Australia, Sydney Morning Herald (SMH), menyebut Jokowi presiden yang tunduk pada Megawati Soekarnoputri. “Indonesian President Widodo under corrupt thumb of Megawati,” demikian judul media Australia tanggal (28/4/2015).

Kepatuhan Jokowi kepada Megawati saat itu bahkan sempat mendapatkan perhatian dari para pengamat politik yang mengkhawatirkan Jokowi hanya akan menjadi “boneka” Ibu Mega. Pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Agung Suprio, mengatakan, ada kekhawatiran bakal calon presiden Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Joko Widodo alias Jokowi akan menjadi "boneka" tunggal Mega.

Kekhawatirannya tersebut muncul  karena Jokowi dianggapnya sangat patuh kepada Ketua Umum DPP PDI-P itu seolah olah ia tidak punya kuasa.  "Kesan atau kekhawatiran (saya) bahwa Jokowi hanya akan menjadi `boneka` dari Megawati tercipta karena Jokowi memiliki kepatuhan yang luar biasa kepada Megawati. Tidak seperti kader Mega yang lain, seperti Rustriningsih ataupun Risma," kata Agung melalui pesan singkat, Senin (17/3/2014) seperti dikutip media.

Buah kepatuhan Jokowi pada Ketua umumnya memang membawa efek yang luar biasa pada partainya. Tercatat PDI-P memecahkan rekor kemenangan pada pemilu legislatif pasca-reformasi dengan menang dua kali berturut-turut yaitu tahun 2014  dan tahun 2019 dengan perolehan suara yang luar biasa.

Menurut para pengamat saat itu,  PDIP turut mendapatkan keuntungan besar dari efek ekor jas atau coat-tail effect atas pencalonan Joko Widodo sebagai presiden Indonesia. Sebab, PDIP sendiri merupakan partai utama pengusung sekaligus partai tempat Jokowi meniti karier politiknya.

Fenomena Jokowi yang begitu patuh pada titah Ibu Mega menyusul efek positifnya yang membawa dampak pada elektoral partainya tentu sangat dirindukan oleh jajaran elite PDIP, simpatisan dan para pendukungnya.

Tetapi kerinduan itu kini telah berubah menjadi kekecewaan dan kepedihan karena sang petugas partai ternyata telah “mbalelo” tidak lagi tunduk patuh pada induk semangnya. Jokowi setelah menjadi orang pertama di Indonesia merasa mempunyai kekuasaan sehingga telah berubah sikapnya. Ia ibarat seperti kacang lupa pada kulitnya. Ia kini telah berani “melawan” partai yang telah membesarkannya.

Ironi Pengkhianatan

Meskipun PDIP merasa telah dikhianati oleh petugas partainya. Tetapi reaksi yang diperlihatkan telah menimbulkan ironi yang luar biasa. Respon yang membuat banyak orang bertanya tanya ada apa dibalik sikap PDIP yang terkesan mendua.

Pertama, Jokowi dan Anaknya Gibran Masih Tetap Menjadi Kader PDIP.  Pada hal keduanya sudah jelas jelas melanggar garis kebijakan partai yakni berada di kubu Prabowo pada hal PDIP secara resmi mengusung pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD . PDIP tidak memecat  Jokowi dan Gibran yang telah langgar konsitusi partai, seperti halnya yang dilakukannya kepada Budiman Sujatmiko dan kader PDIP lainnya yang langsung di pecat karena tidak loyal pada partainya.

Kedua, Menteri Menteri PDIP yang ada di Kabinet Jokowi masih menduduki jabatannya. Seharusnya dengan panasnya hubungan antara Jokowi dan Megawati, maka Megawati perlu segera menarik kadernya yang berada di kabinet pemerintahan yang sekarang berkuasa.  Tujuh menteri PDIP yang sekarang masih berada di pemerintahan adalah Mensekab Pamono Anung, Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly, Mensos Tri Risma Harini, Menkop UMKM Teten Masduki, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Menpan RB Abdullah Azwar Anas, dan Menteri PPPA Bintang Puspayoga. Nyatanya ketujuh Menteri itu masih dibiarkan pada posisinya seolah olah memang tidak sedang terjadi masalah antara Megawati dengan petugas partainya.

Ketiga, Isu Pemakzulan Tidak Jalan. Sempat ada gagasan untuk adanya pemakzulan terhadap Jokowi yang disuarakan oleh Masinton Pasaribu kader PDIP di DPR. Tetapi gagasan pemakzulan itu rupanya hanya berhenti sampai gagasan belaka tidak ada tindaklanjutnya. Padahal kalau Jokowi benar benar bermusuhan dengan Megawati  maka seharusnya upaya pemakzulan itu menjadi agenda utama mereka. Sebab walaupun syarat pemakzulan itu tidak mudah, namun tetap bisa dilakukan. Menurut kalkulasi politik, kekuatan pro pemakzulan di DPR cukup meyakinkan untuk menggoyang Jokowi lengser dari kursi kekuasaannya.

Ke empat, Hak Angket Pemilu Curang Mandek Ditengah Jalan. Wacana hak angket di DPR untuk menyelidiki kecurangan Pemilu 2024 mencuat setelah dicetuskan oleh capres nomor urut 3 sekaligus kader PDIP Ganjar Pranowo.Ide Ganjar langsung disambut positif tiga partai pengusung Anies Baswedan yakni NasDem, PKB dan PKS. Partai-partai Koalisi Perubahan bahkan menyatakan menunggu sikap lanjutan dari PDIP selaku inisiator hak angket.

Namun, hingga kini  sambutan positif tiga parpol pendukung Anies, PDIP belum mengambil langkah politik lanjutan yang terbuka. Wacana angket memang masih mengemuka. Meski demikian dukungannya baru disuarakan segelintir tokoh seperti Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat dan politikus PDIP Adian Napitupulu.

Para petinggi strategis PDIP seperti Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Ketua DPP PDIP sekaligus Ketua DPR Puan Maharani hingga Ketua Fraksi PDIP di DPR Utut Adianto tidak terlalu meresponsnya. Sikap elite PDIP ini menjadi tanda tanya, ada apa ?.

Ke-lima, Hampir Semua Kebijakan Kontroversial Jokowi di setujui oleh Partainya.  Ketika PDIP dan elitenya begitu benci pada pemerintah yang dipimpin oleh kader partainya, seyogyanya mereka bersuara kritis untuk menyikapi kebijakan kebijakan pemerintahan yang dipimpin oleh petugas partainya. Tetapi alih alih mengoreksi , yang terjadi PDIP justru melegitimasinya. Melalui duta duta partainya di Senayan PDIP menyetujui hampir semua kebijakan kontroversial yang di ambil oleh pemerintah yang sekarang berkuasa seperti pembangunan IKN (Ibukota Negara), kereta cepat Bandung -Jakarta, pembuatan UU Omnibuslaw Cipta Kerja, UU Minerba, UU Corona dan lain lainnya.

Selain kelima hal diatas kiranya masih banyak lagi sikap dan kebijakan kebijakan dari PDIP yang terasa janggal dalam menyikapi pengkhianatan yang telah dilakukan oleh kader partainya. Barangkali ada hitungan hitungan politik tertentu yang membuat PDIP gamang mengambil sikap berseberangan dengan kader partai yang telah mengkhianatinya.

Makna Terselubung

Sikap PDIP yang terkesan ambigu dalam merespons tingkah Jokowi yang menjadi petugas partainya itu akhirnya menimbulkan tanda tanya. Lalu ada yang menilai kedua duanya sama sama berperan merusak tatanan bernegara dengan sajian aneka sandiwara.

Meminjam sindiran keras Habib Rizieq, kedua politisi tersebut tak ubahnya dua ekor buaya yang saling berganti memangsa. Rakyat menjadi korban dari setiap kebijakan yang mereka buat bersama. Di permukaan seolah ribut, tapi mereka sebenarnya mempunyai agenda yang sama yaitu orientasi untuk tetap berkuasa.

Fenomena ini memposisikan PDIP tak ubahnya panggung lawakan politik belaka. Seolah olah kritis pada kekuasaan tetapi sebenarnya hanya sekadar cara untuk menarik simpati public belaka. Faktanya ia tidak mau melepaskan kenyamanannya sebagai bagian dari penguasa. Pada hal partai ini mau tulus berkorban untuk rakyat, seharusnya berani mengambil resiko dengan keluar dari zona nyaman sebagai bagian dari penguasa. Tapi yang terjadi, PDIP rajin mengkritik hanya saja tetap berada di lingkar kekuasaan tidak mau meninggalkan kursi kekuasaannya. Kalau sudah begini apa namanya ?

Akhirnya rakyat akan membaca bahwa pertentangan antara Megawati dan Jokowi itu sesunggunya hanya pertentangan  soal memperebutkan  jatah, tahta dan bagi-bagi kepentingan politik semata. Omong kosong saja bicara soal kepentingan rakyat atau demi bangsa dan negara.Nyatanya mereka tidak konsisten dengan sikap politiknya karena keengganannya meninggalkan kenyamanan yang selama ini didapatnya.

Kalau sudah begitu kenyataannya, kembali rakyat harus mengelus dada. Rasa rasanya semakin sulit untuk mencari tambatan politik yang bisa di percaya. Mereka yang koar koar dan bersikap kritis karena belum kebagian jatah saja. Kalau kekuasaan sudah ada ditangan, mereka akan sama saja bahkan lebih buas dari yang dikritisinya. Sampai kapankah kiranya ?

 

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar