Megawati : Pilpres 2024 Dikategorikan Kecurangan TSM

Selasa, 16/04/2024 16:16 WIB
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputeri. (Fajar)

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputeri. (Fajar)

Jakarta, law-justice.co - Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengajukan diri sebagai amicus curiae atau sahabat pengadilan dalam sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam pendapat yang dikirimkannya ke Hakim MK, Megawati menyinggung soal Pilpres 2024 yang dinilai merupakan puncak kecurangan terstruktur, sistematis dan masif (TSM).

Hal itu ditulis Megawati dalam suratnya kepada MK yang diserahkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto seperti dilihat, Selasa (16/4/2024). Megawati awalnya mengungkit soal kompleksitas Pemilu di Indonesia yang disebutnya dimulai pada Pemilu 1971.

Dia mengatakan saat itu aparat negara digunakan sebagai alat elektoral dan alat represif. Dia kemudian mengungkit soal kepentingan geopolitik global terhadap Pemilu di Indonesia pada 1999, 2004 dan semakin menguat pada 2024.

"Politik bantuan sosial diterapkan secara masif pada tahun 2009 seiring dengan meningkatkan populisme," tulis Megawati dalam suratnya ke MK.

Dia juga menyebut penggunaan aparat penegak hukum dipraktikkan pada Pemilu 2009 dan 2019. Dia lalu menyebut ada evolusi kecurangan yang terjadi.

"Mengapa evolusi kecurangan terjadi, bahkan semakin bersifat akumulatif? Sebab belum pernah tercipta efek jera sebagaimana di Amerika Serikat dengan skandal Watergate yang memaksa Presiden Richard Nixon mengundurkan diri," jelasnya.

Megawati lalu menyebut Pilpres 2024 merupakan puncak evolusi kecurangan. Dia juga menyebut hal itu ditambah dengan motif nepotisme.

"Pilpres 2024 merupakan puncak evolusi hingga bisa dikategorikan sebagai kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM)," kata Megawati.

"Ditambah motif nepotisme yang mendorong penyalahgunaan kekuasaan Presiden. Nepotisme ini berbeda dengan zaman Presiden Soeharto sekalipun karena dilaksanakan melalui sistem pemilihan umum ketika Presiden masih menjabat dan ada kepentingan subyektif bagi kerabatnya," beber Megawati.

Megawati mengatakan kesalahan yang terjadi di bukan karena sistem hukum. Melainkan, katanya, seorang pemimpin yang mestinya bisa bertanggung jawab.

"Lalu, pertanyaan kritis kita: apa dan siapa yang salah? Dengan tegas saya menjawab sendiri, bukan sistem hukum Indonesia yang salah. Pelaksanaan hukum yang menjadi tanggung jawab pemimpin itulah yang salah," ujar Megawati dilansir Detik.

"Kondisi ini terjadi akibat etika dan moral dijauhkan dari praktik hukum. Tanpa landasan etika, moral, dan keteladanan pemimpin, manipulasi hukum menjadi semakin mudah dilakukan," sambungnya.***

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar