Suroto, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)

Utang dan Ideologi Negara Kesejahteraan di Indonesia

Jum'at, 12/04/2024 19:31 WIB
Aktivitas warga miskin di Perkampungan Nelayan Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara. Pada era Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan angka kemiskinan kian meningkat berdasarkan laporan Badan Pusat Statsistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta, persentase penduduk miskin cenderung meningkat. Pada masa awal kepemimpinannya, persentase penduduk miskin tercatat sebesar 3,77% dari total penduduk pada 2017. Robinsar Nainggolan

Aktivitas warga miskin di Perkampungan Nelayan Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara. Pada era Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan angka kemiskinan kian meningkat berdasarkan laporan Badan Pusat Statsistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta, persentase penduduk miskin cenderung meningkat. Pada masa awal kepemimpinannya, persentase penduduk miskin tercatat sebesar 3,77% dari total penduduk pada 2017. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Istilah Negara Kesejahteraan (welfare state) belakangan ini sering kita dengar, karena kerap dijadikan bahan kampanye beberapa partai untuk memenangi pemilihan umum (Pemilu). Istilah itu terdengar makin merdu karena turut dipromosikan oleh beberapa aktivis sosial, ekonom, dan akademisi.  

Negara Kesejahteraan seakan dapat menjadi jawaban bagi persoalan kemiskinan, kesenjangan, serta ketidakadilan sosial-ekonomi akibat gagalnya praktik sistem fundamentalisme pasar atau neo-liberalisme di republik ini. Padahal, bila ditelusuri lebih jauh, Negara Kesejahteraan itu sebenarnya adalah ujung dari sistem kapitalisme atau bentuk dari neo-kapitalisme itu sendiri.

Sistem Negara Kesejahteraan muncul sebagai bentuk kompromi korporasi-korporasi kapitalis, karena mereka tetap dapat bebas mengeruk keuntungan dan mengakumulasi kapital pribadi dalam sistem persaingan bebas dengan beban pajak yang lebih tinggi untuk mereduksi persoalan sosial yang muncul. Wajahnya berubah, tetapi wadag (tubuh)-nya panggah.

Korporat-kapitalis besar tetap dibiarkan bebas mengeruk keuntungan dan mengakumulasi kapital serta bersembunyi di belakang wajah arif negara dalam menangani kerusakan, krisis, kerugian, konflik, pembodohan, kemiskinan dan pengangguran yang diakibatkan oleh keserakahan mereka.

Meminjam istilah Profesor Dawam Rahardjo, peralihan dari sistem kapitalisme liberal menuju sistem negara kesejahteraan itu hanya mengalihprofesikan negara dari penjaga malam menjadi penjaga toilet untuk membersihkan berak kapitalisme dalam praktik negara kesejahteraan.

Pendiri bangsa ini, sebagaimana tertuang dalam konstitusi, menginginkan sebuah perubahan fundamental dari sistem kapitalis liberal menuju sistem demokrasi ekonomi; bukan model kapitalisme negara (state-led capitalism), kapitalisme pasar (market-led capitalism), negara aparatus (state apparatuses) ataupun negara kesejahteraan serta variannya.

Konsep Negara Kesejahteraan awalnya dipromosikan oleh Otto von Bismarck dan kemudian oleh Paus Leo XIII dengan surat terbuka yang terkenal Rerum Novarum (15 Mei 1891). Inti ensiklik itu adalah mendorong negara untuk berperan aktif melakukan promosi sosial kepada warganya agar terbebas dari penderitaan akibat perangai sistem kapitalisme di masa revolusi industri. Ensiklik yang diedarkan kepada semua uskup di dunia itu utamanya menaruh fokus keprihatinan pada kondisi para pekerja.

Esping Anderson (1990) menyebut Negara Kesejahteraan sebagai konsep yang mengacu pada peran negara yang aktif mengelola dan mengorganisasi perekonomian mencakup tanggung jawab menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan tingkat tertentu untuk semua warganya. Intinya, konsep Negara Kesejahteraan mengajukan peran negara sebagai instrumen kontrol sosial dan promotor kesejahteraan umum yang diterjemahkan dalam berbagai program, seperti jaminan sosial, pendidikan murah/gratis, penurunan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja, dan lain lain.

Secara sosio-historis, konsep Negara Kesejahteraan cocok untuk Eropa, khususnya negara-negara Eropa Barat. Sebagaimana diketahui, Eropa masa itu memang sedang mengalami revolusi industri dan liberalisme yang kemudian menghasilkan residu kemanusiaan dan konflik domestik antara buruh atau kaum proletar dan kaum borjuasi pemilik pabrik. Lantas ditawarkan konsep Negara Kesejahteraan sebagai solusi.

Dalam konteks Indonesia tentu berbeda dan kita tidak dapat mengadopsinya begitu saja. Kita mewarisi kesenjangan struktural akibat warisan kolonialisasi negara-negara Eropa. Kesenjangan struktural saat Indonesia dijajah Belanda masih sama hingga hari ini. Bahkan, kondisi saat ini ditambah dengan merebaknya kerusakan lingkungan secara masif. Pembabatan hutan/deforestasi di Indonesia selama tiga dekade terakhir, misalnya, tercatat sebagai yang tercepat di dunia.

Dari segi sosial-ekonomi, kondisi dualisme ekonomi yang diungkap oleh ekonom JH Booke juga masih sama. Struktur sosial-ekonomi kita terdiri dari deret kemakmuran yang dinikmati segelintir elite di atas dengan jumlah rakyat miskin dan rentan miskin jauh lebih banyak. Penguasaan kekayaan dan bisnis oleh sekelompok elite masih tetap langgeng. Pada 2021, misalnya, Oxfam menerbitkan laporan yang cukup dramatis: kekayaan 4 anggota keluarga konglomerat di Indonesia sama dengan kekayaan 100 juta rakyat Indonesia yang termiskin.

Kita membutuhkan transformasi struktural melalui jalan demokratisasi ekonomi. Bukan mengadopsi sistem negara kesejahteraan, sebab masalah utamanya adalah karena adanya konsentrasi kepemilikan dan monopoli kekayaan kelompok elite kaya dan politisi serta distribusi pendapatan yang tidak berkeadilan. Hal tersebut tidak dapat diselesaikan dengan manajemen pajak progresif dan alokasi fiskal semata, apalagi sumber fiskal Indonesia selama ini ditopang oleh utang.

Posisi utang kita sudah cukup parah karena kemampuan membayar utang yang rendah dan memberatkan fiskal. Posisi utang Indonesia saat ini, menurut ekonom Awalil Rizky (2022), ibarat gali lobang buat jurang karena pinjaman pokok dan bunganya harus dibayar dengan utang baru. Ketika disimulasikan, dengan kondisi fiskal saat ini diperkirakan Pemerintah Indonesia hingga tahun 2024 akan mewariskan utang kurang lebih sebesar 10.000 triliun rupiah.

Kondisi tersebut tentu tidak hanya menjebak generasi mendatang dengan ruang fiskal yang semakin sempit untuk mengalokasikan dana pembangunan, melainkan juga kita akan benar-benar masuk dalam jebakan besar negara-negara global utara. Kita akan disandera dan menjadi bulan-bulanan mereka serta bangsa bayang-bayang untuk selamanya.

Soal pengelolaan utang, pemerintah sering kali mengeluarkan narasi yang menyesatkan masyarakat. Masyarakat disesatkan dengan membandingkan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB). Bahkan, rasio utang Indonesia terhadap PDB kerap diperbandingkan dengan Jepang dan Amerika Serikat; utang kita dianggap masih lebih kecil dan lebih baik. Padahal, posisi utang justru sebaiknya dihitung dengan kemampuan bayar dan tentu disertai daya dukung indikator ekonomi makro lainnya, seperti rasio terhadap ekspor, rasio utang jangka pendek, rasio bagian utang luar negeri, termasuk rasio utang yang dikonsesikan.

Jika dibandingkan dengan Jepang, misalnya, kualitas dan kinerja kita sudah pasti sangat jauh di bawah mereka. Kemampuan bayar dan indikator daya dukung stabilitas ekonomi makro Jepang jauh lebih kuat daripada Indonesia. Sementara itu, juga tidak sepadan jika Indonesia dibandingkan dengan Amerika Serikat yang “mencetak” dolar dan mampu menguasai peredaran mata uang se-dunia.

Negara-negara Global Utara sebagai promotor Negara Kesejahteraan juga sangat paham bahwa sumber fiskal untuk membiayai semua program dan promosi sosial negara kesejahteraan berasal dari dua sumber utama: pajak dan utang. Jika pajak tidak tercapai, seluruh pembiayaan itu akan dibebankan kepada utang.

Negara-negara Global Utara sebagai pemberi utang melalui penguasaan terhadap organisasi multilateral International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB), memiliki maksud kuat untuk tetap dapat mengendalikan negara-negara Global Selatan. Mereka segera menyuntikkan “bantuan” di saat negara pengutang dilanda krisis ekonomi atau memberi utang haram dengan komitmen atau keharusan membangun infrastruktur yang sebenarnya adalah faktor pendukung (endorsement) bagi kepentingan investasi mereka, terutama di sektor ekstraktif seperti tambang, perkebunan monokultur, dan sektor tersier keuangan.

Jika ekonomi yang ditopang oleh utang mengalami gagal bayar, seluruh pengeluaran pemerintah yang semula diharapkan menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi habis difokuskan untuk membayar utang. Pengeluaran rutin pemerintah dan pembangunan akan mandek. Akibatnya, ekonomi masyarakat ikut stagnan. Pengangguran meningkat, daya beli masyarakat turun dan kemiskinan akan meningkat. Akhirnya, bencana kelaparan akan menanti di depan mata.

Sektor riil ekonomi masyarakat akan turut melambat, pemasukan dari pajak untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan juga menurun, bahkan cadangan devisa akan terkuras habis dan kemungkinan besar hanya difokuskan untuk pembiayaan bagi pemenuhan importasi pangan saja. Jika tak dapat dilakukan penjadwalan utang kepada pemberi utang maka negara bersangkutan akan berantakan. Apalagi, jika utang tersebut lebih banyak ditopang oleh obligasi negara yang sudah jatuh tempo yang tentu akan sulit sekali untuk dinegosiasikan.

Negara negara maju itu tahu persis bahwa utang itu sekecil apapun adalah instrumen atau pintu masuk ke satu negara untuk mencengkeram kepentingan ekonomi dan politik negara lain. Setelah sukses menerapkan sistem liberalisme pasar sejak tahun 1970an, mereka kemudian menawarkan konsep Negara Kesejahteraan sebagai satu-satunya ideologi dunia yang baru.

Pada tahun 1980-an, di tangan besi Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher dan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan, muncul sebuah slogan “There Is No Alternative” (TINA); hanya ada satu aturan di dunia ini, yaitu satu sistem liberalisme pasar. Mereka mendesakkan slogan itu ke berbagai negara disertai dengan tiga mantra sakti Konsensus Washington : liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi.

Ketika kesenjangan dan kemiskinan kian merajalela, mereka kemudian menyodorkan konsep Negara Kesejahteraan. Kita masuk dalam jebakan mereka. Negara diminta membersihkan seluruh residu kemanusiaan, kerusakan lingkungan, kemiskinan, pengangguran dari sistem liberalisme pasar dengan sumber fiskal kita sendiri, melalui resep Negara Kesejahteraan.

Kita dapat mempelajari penerapan konsep Negara Kesejahteraan dari Srilanka. Negara ini menerapkan konsep Negara Kesejahteraan dengan alokasi fiskal penuh untuk pendidikan gratis hingga ke perguruan tinggi, kesehatan gratis dan dana pensiun untuk setiap warga negaranya. Saat ini, konsep Negara Kesejahteraan yang diadopsi Srilanka justru membuat ekonomi dan politik negeri ini porak-poranda. Negeri dengan tingkat pendapatan per kapita kurang lebih sama dengan Indonesia itu remuk. Kebanyakan rakyat hanya bisa makan satu kali sehari. Kemarahan merebak di berbagai wilayah. Rakyat merangsek masuk istana presiden. Sementara itu, negara pemberi utang, terutama Cina dan Jepang, tidak bersedia menjadwalkan utang Srilanka.

Sistem Negara Kesejahteraan sukses diterapkan di Eropa, namun menjadi ancaman beban fiskal dan kegagalan negara-negara Global Selatan. Sebagian besar negara di Eropa berhasil membangun kekuatan fiskal masing-masing melalui sumber pajak yang kemudian dialokasikan untuk membiayai program dan promosi sosial. Berbeda halnya dengan Indonesia dan negara berkembang lainya, beban fiskal berupa utang yang melampaui kekuatan ekonomi justru membuat mereka setiap saat akan jatuh dalam keterpurukan.

Dalam konteks penerapan sistem ekonomi, faktor sejarah, latar sosial-ekonomi dan kultural suatu negara sangat penting untuk dijadikan dasar pertimbangan. Sistem ekonomi yang berjalan baik di satu negara tidak dapat serta-merta dikembangkan atau diadopsi begitu saja di negara lain. Tidak ada sebuah resep sistem ekonomi yang cocok bagi semua negara.

Kita tidak butuh negara kesejahteraan dan kita sudah punya sistem yang diamanahkan oleh UUD 1945, yaitu sistem demokrasi ekonomi. Konsep demokrasi ekonomi adalah konsep yang anti terhadap kapitalisme dan juga varian barunya, neo-kapitalisme seperti Negara Kesejahteraan. Konstitusi kita dan juga para pendiri republik ini menginginkan adanya pembebasan terhadap sistem neo-kapitalisme yang menindas dan ekploitatif.

Mereka menempatkan cita-cita demokrasi ekonomi itu dalam konstitusi, sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Di sana jelas disebutkan bahwa peranan negara adalah benar untuk menciptakan kesejahteraan, namun tidak dengan konsep negara kesejahteraan. Menciptakan kesejahteraan adalah dengan konsep demokrasi ekonomi yang berarti menyerahkan sepenuhnya soal ekonomi pada peran masyarakat banyak sebagai pelaku utama dan negara berfungsi serta berpihak pada kepentingan usaha sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Disebutkan secara tegas bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.” Perekonomian juga tidak boleh jatuh ke tampuk orang perseorangan. Karena itu, ekonomi harus dikelola dari, oleh, dan untuk masyarakat. Kemudian dijelaskan juga bahwa koperasi adalah bangun perusahaan yang sesuai dengan demokrasi ekonomi.

Beberapa agenda penting untuk melakukan transformasi menuju demokrasi ekonomi seperti itu adalah alokasi pendapatan minimum warga negara (universal basic income), kepemilikan saham untuk buruh (Employee Share Ownership Plan-ESOP), pembatasan rasio gaji tertinggi dan terendah, demokratisasi BUMN dan BUMD, pengembangan kelembagaan koperasi di berbagai sektor strategis ekonomi rakyat, penerapan model substitusi impor dengan mendorong kekuatan ekonomi domestik (misalnya, pangan dan energi), mengubah kebijakan model paket input dengan memperkuat kelembagaan sosial-ekonomi warga, mengendalikan sistem kontrol devisa dengan lebih ketat, mengelola utang secara prudent, reforma agraria, menerapkan sistem tata kelola, dan lain lain.

Negara Kesejahteraan itu sama sebangun dengan neo-kapitalisme. Itu bukan keinginan para pendiri republik ini dan juga bukan perintah konstitusi. Bila ada yang menyatakan bahwa Negara Kesejahteraan adalah amanah konstitusi dan kehendak para pendiri republik, interpretasi seperti itu dilakukan oleh mereka yang tuna aksara dan tuna makna konstitusi.

Bagi negara negara miskin dan berkembang, Negara Kesejahteraan ibarat buaian mimpi yang sengaja dihembuskan oleh negara-negara Global Utara untuk dua tujuan utama: kita dibujuk untuk naik ke atap mencapai kemajuan sosial-ekonomi seperti yang telah mereka raih, namun pada saat bersamaan mereka menarik dan menendang tangga yang sedang kita injak.

Sekali lagi, welfare state atanegara kesejahteraan itu adalah jebakan baru negara-negara Global Utara. Selain tidak sesuai dengan isi konstitusi kita, yang pasti kita tidak ingin mencontoh kegagalan Srilanka.***

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar