Nawaitu Redaksi

Potensi Pecah Kongsi Prabowo-Jokowi, Seperti Marcos Jr-Duterte

Sabtu, 30/03/2024 15:49 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyematkan pangkat jenderal kehormatan ke Menteri Pertahanan Prabowo Subianto saat Rapat Pimpinan TNI-Polri di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (28/2/2024). (Tim Media Prabowo via Kompas)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyematkan pangkat jenderal kehormatan ke Menteri Pertahanan Prabowo Subianto saat Rapat Pimpinan TNI-Polri di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (28/2/2024). (Tim Media Prabowo via Kompas)

Jakarta, law-justice.co - Dalam sebuah kesempatan berbicara di media, Politikus PDIP Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengaku dirinya pernah mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait pencalonan anaknya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto.  Ahok saat itu mengaku takut Jokowi tertipu nantinya. "Saya khawatir Bapak tertipu, takut saya," kata Ahok menirukan ucapannya kepada Jokowi saat itu.

Dia bahkan menyebut bisa saja Prabowo tak akan mendengarkan Jokowi setelah terpilih menjadi presiden nantinya. Sekalipun ada Gibran di sana sebagai wakilnya."Kalau Pak Prabowo jadi presiden memangnya dia mau dengerin Pak Jokowi," ujar Ahok di sela-sela dialog kebangsaan di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (7/2/24).

Namun seperti biasanya, isu retaknya hubungan antara Jokowi dengan Prabowo itu serta merta dibantah oleh orang orang dekatnya diantaranya oleh Gibran Rakabuming Raka sendiri. Gibran membantah isu tersebut. Ia menyatakan dirinya serta Jokowi dan Prabowo hubungannya makin dekat saja.  "Siapa yang renggang? Enggak ada yang renggang (Jokowi dan Prabowo), kita makin dekat," kata Gibran seperti dikutip dari YouTube Kompas TV, Jumat (22/3/2024).

Meskipun dibantah tetapi potensi retaknya hubungan antara Prabowo dengan Jokowi melalui anaknya potensial terjadi apalagi setelah pemilu selesai pelaksanaannya. Potensi terjadinya keretaan hubungan antara Jokowi dan Prabowo ini bisa mirip dengan peristiwa yang terjadi di Philipina antara kubu Presiden Marcos Jr dengan  Sara Duterte Carpio, anak dari Rodrigo Roa Duterte yang menjadi wakilnya.

Lalu apa persamaan antara pasangan Prabowo -Gibran dengan Marcos Jr-Duterte di Philipina ?, Mungkinkah aliansi Prabowo-Gibran yang didukung Jokowi pada akhirnya akan pecah juga seperti halnya mereka ? Sejauhmana kemungkinannya ?.

Persamaan Mereka

Mungkin memang sebuah kebetulan kalau pasangan capres -cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka punya banyak kesamaan dengan pasangan Capres -cawapres dari Philipina yaitu Marcos Jr atau Bongbong  yang menggandeng Sara Duterte, putri Rodrigo Duterte mantan Presiden Philipina.

Seperti diketahui, Ferdinand Marcos pernah lama berkuasa di Philipina dimana pada saat yang sama waktu itu di Indonesia sedang berkuasa pemerintahan Soeharto yaitu pada zaman orde baru (Orba). Kedua pemimpin ini pada masa berkuasa dikenal sama sama pemimpin diktator, korup dan sewenang wenang pada rakyatnya.

Soeharto sempat berkuasa selama 32 tahun lamanya sebelum akhirnya didemo besar besaran oleh mahasiswa lewat gerakan reformasi 1998 yang membuat ia kehilangan kursi kekuasaannya. Demikian pula halnya dengan Ferdinan Marcos, yang berkuasa di Filipina selama 21 tahun sebelum digulingkan rakyat dari kursi kekuasaannya.

Pemerintahan Ferdinand Marcos dikenal represif, korup, dan pelanggar HAM (hak azasi manusia). Selama masa kepimimpinannya justru dianggap banyak membawa mudarat, ketimbang manfaat bagi rakyatnya.

Marcos mengontrol segalanya, antara lain media massa, meneror rakyat, dan membunuh mereka yang tak sejalan dengan pemerintahannya. Fakta itu membuat Marcos jadi musuh bersama rakyat Filipina sehingga kecaman datang dari mana-mana.

Rakyat Filipina kemudian bergerak untuk melengserkannya. Diktator Marcos akhirnya memilih kabur ke Hawaii setelah untuk sekian lama menjadi bulan bulanan rakyat Filipina. Kepergian itu membawa kebahagiaan sekaligus kesedihan bagi rakyatnya.

Rakyat Filipina bahagia karena rezim diktator itu akhirnya minggat dari negaranya. Sedih juga karena kepergian Marcos membawa serta kekayaan negara berupa uang tunai, perhiasan, emas hingga saham yang tidak sedikit jumlahnya. Tetapi kebencian rakyat Filipina nyatanya tak bertahan lama.

Pada tahun 1991, Keluarga Marcos pada akhirnya kembali diterima rakyat Filipina setelah Ferdinand Marcos meninggal dunia. Keluarga Marcos kembali masuk politik tanpa halangan suatu apa. Bongbong Marcos, misalnya. Sang anak diktator itu karier politiknya melejit dalam waktu yang tidak terlalu lama. Ia pernah merasakan hangatnya kursi Gubernur Ilocos Utara era 1990-an. Ia juga pernah menjadi senator dan Menteri Pertanian Filipina.

Kondisi itu membuat Bongbong merasa percaya diri untuk menjadi orang pertama di Philipina. Ia kian berani mematok mimpi jadi Presiden Filipina seperti ayahnya. Dia kemudian mengumumkan pencalonannya bersama pasangannya Sara Duterte, putri presiden Rodrigo Duterte yang saat itu berkuasa di Philipina. Ia juga kemudian menemukan formula yang tepat: yaitu berkampanye melalui sosial media. Kampanye itu digunakannya untuk melaju dalam Pilpres Filipina 2022.

Dalam kampanyenya ia menggunakan media sosial seperti Facebook, Youtube, hingga TikTok dan sebagainya. Mimpinya yang ingin mengembalikan kejayaan keluarga Marcos menjadi semakin nyata. Semuanya karena Bongbong mampu menciptakan disinformasi dan mengemas citra gemoy dalam kampanyenya.

Gemoy di sini berasal dari plesetan kata gemas atau menggemaskan. Disinformasi kemudian diciptakan Bongbong dengan merujuk kepada ajian memutar balikkan fakta. Dosa-dosa masa lalu ayahnya mulai direduksi sedemikian rupa. Ia meletakkan narasi ayahnya seorang pahlawan, ketimbang diktator atau koruptor yang menjadi musuh bersama rakyat Philipina.

Mesin media sosial yang berisi influencer dari berbagai platform digerakkan untuk mengubah citra dirinya dan juga masa pemerintahan yang dipegang ayahnya. Hasilnya sungguh luar biasa karena Bongbong  mampu memengaruhi cara pandang pemilih muda kepada rezim Marcos yang awalnya sangat buruk menjadi sebaliknya. Apalagi target suara yang disasarnya kebanyakan anak muda yang notabene tak merasakan hidup di bawah kuasa ayahnya.

Lewat kampanye massif yang dilakukannya,Bongbong pun mulai mengunci kemenangannya dengan kampanye gemoy-nya. Ia dan cawapresnya, Sara Duterte --yang notabene anak Presiden juga-- mulai membuat video tarian bak anak muda. Tarian itu diunggah secara masih dengan narasi tarian BBM-Sara dan merebut hati jutaan anak muda Filipina.

Tarian gemoy itu jadi diikuti banyak pesohor media sosial di Philipina. Mereka yang awalnya tak mendukung Bongbong akhirnya ikut menyebarkan bahkan ikut menari BBM-Sara. Tarian gemoy itu memenuhi sosial media. Ramuan kampanye gemoy dan disinformasi dijadikan ajian ampuh merebut suara dalam Pemilu 2022.

Pada akhirnya Bongbong  menang mudah dalam Pilpres Filipina. Bongbong jadi Presiden Filipina dan dilantik menggantikan Rodrigo Duterte melalui sebuah upacara di Manila, pada Kamis (30/6/22). Kondisi itu membuat rakyat Filipina bak melupakan dosa-dosa kepemimpinan ayahnya.

Fenomena munculnya pasangan Bongbong dan Sara Duterte seperti menginspirasi untuk lahirnya pasangan duet Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka di Indonesia. Prabowo adalah mantu Presiden Soeharto penguasa Orba sementara Gibran adalah adalah presiden Indonesia yang sekarang berkuasa.

Bukan cuma sama sama anak maupun mantu mantan presiden diktator yang pernah berkuasa di negaranya masing masing, kedua pasangan juga sama sama menggandeng anak presiden yang berkuasa. Bedanya untuk Indonesia yang digaet Prabowo adalah anak presiden aktif (yang masih berkuasa) sementara di Philipina adalah mantan presiden yang susah selesai menduduki jabatannya.

Selain itu kedua pasangan presiden dan wakil presiden melakukan gaya kampanye yang tidak jauh berbeda.Seperti halnya yang dilakukan oleh Bongbong, Tim Prabowo juga mulai kampanye masif dengan mengubah citra melalui media sosial dan menarget anak muda.

Prabowo dan timnya memanfaatkan media sosial (dalam hal ini TikTok) untuk membuat citra ‘gemoy’ yang belakangan memang viral dan melekat di hati para Milenial dan Generasi Z, segmen pemilih yang paling diperebutkan para kontestan pemilu untuk menggaet suara mereka.

Seperti halnya yang dilakukan oleh tim pemenangan Bongbong, mesin media sosial yang berisi influencer dari berbagai platform juga digerakkan oleh Tim Prabowo untuk mengubah citra Prabowo yang awalnya dikenal lekat dengan pemerintahan orde baru yang dikenal korup dan otoriter, dan juga citra dirinya yang sering dilabeli sebagai pelanggar HAM (Hak Azasi Manusia).

Berkat kampanye massifnya, generasi muda Indonesia menjadin amnesia terhadap pemerintahan Orba yang dulu ditumbangkan rakyat pada tahun 1998 karena dosa dosanya. Lewat kampanye dan joged gemoy, “dosa dosa” Prabowo yang lekat dengan penguasa Orba mulai dilupakannya. Sama halnya dengan kampanye gemoy di Philipina yang berhasil melupakan anak anak muda disana terhadap sejarah kelam yang diukir oleh Ferdinan Marcos ayah Bongbong yang pernah berkuasa disana.

Kalau di Philipina, massa pemilih Bongbong sendiri sebagian besar tidak memiliki memori ihwal people power tahun 1986 yang membuat sang diktator Ferdinan Marcos dilengserkan dari kursi kekuasaannya. Begitu pula halnya dengan pemilih generasi muda Indonesia sekarang yang memiliki kondisi serupa dengan tidak terlibat atau tidak tahu secara langsung soal peristiwa 1998 di Indonesia.

Sehingga borok borok yang terjadi pada masa Orba maupun rekam jejak Prabowo yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM dianggap sebagai masa lalu yang tidak penting untuk dipersoalkan lagi menurut pandangan generasi muda. Mereka lebih tertarik pada apa yang dilihat sekarang ketimbang mengenang masa lalu yang dianggapnya hanya menjadi catatan sejarah belaka.

Pecah Kongsi

Kemenangan pasangan Capres-cawapres Marcos Jr dan Sara Duterte awalnya memang diharapkan akan membawa perubaha perbaikan bagi negara Philipina. Bersatunya dua keluar besar yaitu keluar Marcos dan Duterte diharapkan akan membawa persatuan yang menjadi modal dasar bagi pembangunan untuk kemajuan negara Philipina.

Tapi apa mau dikata, kurang dari dua tahun setelah Presiden Filipina Marcos Jr berkuasa bersama Sara Duterte, kehancuran membayangi mereka. Perpecahan mulai membayangi kongsi keduanya. Tuduhan penyalahgunaan narkoba, ancaman perpecahan negara, dan rumor rencana kudeta telah menghancurkan persatuan antara keluarga Marcos dan Duterte, yang sebelumnya bersatu untuk Pemilu 2022.

Klan Marcos dan Duterte sebelumnya memang diperkirakan akan pecah  pada akhirnya ketika mereka mulai memperkuat basis dukungan masing masing untuk mengamankan posisi-posisi penting menjelang pemilu sela pada tahun 2025 dan pemilu presiden pada tahun 2028.Namun hanya sedikit pengamat yang memperkirakan hal ini akan terjadi begitu cepat diluar dugaan mereka.

Ketika menghadapi unjuk rasa pendukung di kota kelahirannya Davao pada 28 Januari, Duterte menuduh Marcos Jr sebagai pemalas dan "pecandu narkoba", sehingga putra bungsunya Sebastian Duterte mengatakan Marcos harus mengundurkan diri dari jabatannya. Marcos Jr membalas keesokan harinya, dengan mengklaim bahwa penggunaan opioid fentanil yang kuat dalam jangka panjang oleh Duterte telah berdampak buruk pada kesehatannya. Atas segala tuduhan itu, tak satu pun dari mereka memberikan bukti dugaan penggunaan narkoba oleh satu sama lainnya.

Tuduhan tersebut tampaknya dipicu oleh dukungan Marcos Jr terhadap kampanye perubahan konstitusi negara – yang diperkenalkan setelah ayahnya digulingkan dari kekuasaan pada 1986 oleh pemberontakan yang didukung militer – yang ditentang oleh Duterte.

Marcos Jr mengatakan ia terbuka untuk menyesuaikan ketentuan-ketentuan ekonomi dalam konstitusi untuk memungkinkan lebih banyak investasi asing, tetapi para kritikus memperingatkan bahwa langkah tersebut dapat membuka jalan baginya untuk memperpanjang masa kekuasaannya.

Rodrigo Duterte dalam sebuah acara forum kepemimpinan di Filipina menyatakan bahwa Presiden Marcos saat ini membawa bahaya bagi Filipina dengan mengizinkan akses ke pangkalan militer untuk pasukan Amerika.

Seperti diketahui, pada 2023, pemerintahan Presiden AS Joe Biden dan pemerintahan Marcos menyelesaikan perjanjian untuk mengizinkan militer AS mengakses empat pangkalan militer Filipina tambahan di bawah Persetujuan Kerja Sama Pertahanan yang Ditingkatkan (EDCA).

Selain itu, para analis mengatakan Duterte juga khawatir putrinya akan dikesampingkan oleh pemerintah dan bahwa Marcos Jr akan mengizinkan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) masuk ke Filipina untuk menyelidiki perang narkoba yang  dilakukan oleh pemerintah Duterte sebelumnya dan telah menyebabkan ribuan orang meninggal dunia.

Keretakan hubungan antara Marcos Jr-dengan Duterte mulai muncul pada awal masa jabatan Marcos Jr setelah dia menolak permintaan Sara Duterte untuk menduduki posisi Menteri Pertahanan dan malah memberinya jabatan menter Pendidikan saja.

Yang juga membuat keluarga Duterte kesal adalah karena Marcos Jr berupaya memperbaiki hubungan dengan sekutu tradisional Filipina, Washington, setelah hubungan keduanya retak di bawah pemerintahan Duterte, yang bersikap ramah terhadap China.

Pemain kunci lainnya dalam melodrama keluarga yang sedang berlangsung ini adalah sepupu Marcos Jr, Martin Romualdez, yang memegang posisi kuat sebagai ketua DPR disana. Dia diperkirakan akan mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2028, yang berpotensi mempertemukan dia dengan Sara Duterte yang lebih populer.

Romualdez telah memicu kemarahan Duterte dengan mempelopori upaya untuk mencabut dana rahasia khusus senilai jutaan dolar dari wakil presiden dan departemen pendidikan pada tahun lalu.

Dan DPR, di mana Marcos mendapat dukungan mayoritas, telah mendorong agar stasiun radio dan televisi pro-Duterte dicabut izinnya setelah salah satu pembawa acara melontarkan tuduhan terhadap Romualdez mengenai anggaran perjalanannya

“Perang dingin” yang terjadi antara kubu Marcos Jr dan Duterte saat ini memang masih tengah berlangsung di Philipina dalam kondisi pemerintahan yang baru berjalan belum dua tahun lamanya. Lalu apakah kondisi serupa akan menular ke Indonesia ?

Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad menilai hubungan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Presiden terpilih Prabowo Subianto bisa merenggang pasca-Pilpres 2024."Bisa saja hubungan antara Jokowi dan Prabowo berubah pasca penetapan KPU. Jokowi adalah presiden yang sedang berjalan, namun sudah ada presiden terpilih, yakni Prabowo," ujar Saidiman seperti dikutip media Selasa (26/3/2024).

Menurutnya, potensi renggangnya hubungan kedua tokoh tersebut sangat wajar, mengingat Prabowo pada Jokowi tak lagi sebesar sebelum  pemilihan umum. "Prabowo tidak lagi punya alasan politik yang mendekatkan diri pada Jokowi. Apalagi Jokowi bukan figur partai politik yang bisa menentukan, komposisi dukungan pada pemerintah mendatang," kata dia.

Selain itu, terkait komposisi kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran, Saidiman justru menilai Jokowi tak akan memiliki pengaruh besar dalam menentukan nama menteri."Kabinet ke depan akan sangat ditentukan oleh Prabowo sebagai pemenang pilpres dan elite-elite partai pendukungnya. Saya menduga, Jokowi tidak akan punya peran besar dalam penentuan kabinet mendatang," tandasnya.

Potensi terjadi konflik antara kubu Jokowi dan Prabowo kemungkinan besar memang bisa saja terjadi karena adanya perbedaaan kepentingan antara keduanya. Tetapi ketika Prabowo nanti benar benar dilantik jadi Presiden, kita berharap dia akan bisa tampil meneguhkan dirinya sebagai seorang patriot sejati yang berkomitmen untuk membangun Indonesia dengan prinsip-prinsip keadilan, kesejahteraan, dan moralitas yang tinggi, maka dia sendirilah yang menentukannya.

Hal ini penting guna “mencuci” pandangan publik selama ini yang meragukan komitmennya untuk menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan sejahtera. Sebuah kecurigaan yang masuk akal karena proses pencalonannya yang banyak mengandung nuansa kontroversial karena dugaan keterlibatan “pak lurah” selama proses pencalonannya. Menyusul keputusan Prabowo untuk menggandeng Gibran Rakabuming Raka yang dianggap sebagai anak haram konstitusi.

Kita tentu berharap Prabowo mampu membuktikan bahwa ia bukanlah sekadar alat kendali dari kekuatan sebelumnya. Prabowo harus membuktikan dirinya dengan tindakan konkret untuk memastikan bahwa kepentingan rakyat dan bangsa diutamakan di atas segalanya, bukan melayani kepentingan dan ambisi pribadi Jokowi membangun dinastynya.

Konflik dengan wakilnya bisa saja terjadi tapi kalau Prabowo tegak lurus membela kepentingan bangsa dan negara maka dukungan rakyat akan berada dipihaknya meskipun nanti dinilai tidak sejalan dengan wakilnya.

Jika Prabowo mampu menunjukkan kepemimpinan yang berkualitas dan mengutamakan kepentingan rakyat, bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan, ia berpotensi untuk diingat sebagai seorang patriot sejati yang mampu membawa perubahan positif bagi bangsa Indonesia meskipun dibayang bayangi oleh konflik yan terjadi dengan wakilnya karena faktor ayahnya yang masih ingin terus berkuasa.

 

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar