Pakar Sebut Kubu AMIN Minta Pemilu Ulang Tanpa Gibran Ialah Masuk Akal

Selasa, 26/03/2024 09:09 WIB
Pasangan Capres dan Cawapres nomor urut 01, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar secara resmi melepas Tim Hukum Nasional AMIN untuk mendaftarkan gugatan Pilpres 2024 ke Mahkamah Konstitusi di Markas Pemenangan Timnas Amin, Jalan Diponegoro 10, Jakarta Pusat, Kamis(21/3/2024). Robinsar Nainggolan

Pasangan Capres dan Cawapres nomor urut 01, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar secara resmi melepas Tim Hukum Nasional AMIN untuk mendaftarkan gugatan Pilpres 2024 ke Mahkamah Konstitusi di Markas Pemenangan Timnas Amin, Jalan Diponegoro 10, Jakarta Pusat, Kamis(21/3/2024). Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Kubu Pasangan Calon (Paslon) nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar secara resmi telah mengajukan gugatan sengketa Pilpres ke Mahkamah Konstitusi atau MK.

Dalam gugatan itu, mereka meminta dilakukan Pemilu ulang tanpa cawapres nomor urut dua Gibran Rakabuming Raka. 

Terkait hal itu, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah Castro, mengatakan tuntutan Kubu Anies-Muhaimin pasti dianggap tidak realistis bagi orang-orang yang melihat Pemilu sebagai angka-angka normatif.

"Tapi bagi yang memandang Pemilu sebagai sebuah prinsip, tuntutan pembatalan pasangan prabowo-gibran itu make sense (masuk akal)," katanya seperti melansir tempo.co, Senin 25 Maret 2024.

Dia menjelaskan pada Pemilu 2019 lalu, Ma`ruf Amin juga masuk ke dalam dalil permohonan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, Ma`ruf masih menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawas di sejumlah bank syariah.

Tapi, permohonan tersebut ditolak oleh MK. Sedangkan alam kasus Gibran, kata dia, situasinya berbeda karena ada pelanggaran etik berat yang membuat legitimasi Pemilu dipertaruhkan.

Seperti diketahui, MK mengeluarkan putusan dari perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. Sehingga seseorang bisa mencalonkan diri sebagai cawapres, asalkan berpengalaman sebagai kepala daerah.

Adapun paman Gibran, Anwar Usman, kala itu menjabat sebagai Ketua MK. Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK lantas memutuskan Anwar Usman melanggar kode etik dalam memutuskan Perkara 90.

"Jadi, hal yang wajar dan realistis kalau pembatalan masuk dalam tuntutan," ucapnya.

Dia menegaskan, peluang tuntutan ini lebih besar ketimbang permohonan pada Pemilu 2019. Tapi, ini juga tergantung MK.

"Tidak bisa MK hanya berpatokan pada angka-angka, tapi harus mengedepankan prinsip dan keadialan Pemilu," ujarnya.

Disisi lain, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, juga mengatakan bahwa tuntutan kubu Anies-Muhaimin adalah hal yang wajar.

"Bagi saya, mengubah undang-undang melalui putusan MK adalah bagian dari sandiwara kecurangan proses penyelenggaraan Pemilu," ucapnya.

Dia menuturkan, tidak lumrah sebuah aturan main diubah ketika Pemilu akan berlangsung. Oleh sebab itu, dia menduga ada nuansa kolusi dan nepotisme.

"Paman meloloskan keponakan demi tujuan elektoral-elektoral tertentu," jelasnya.

Dia menegaskan, hal tersebut adalah upaya mencurangi proses Pemilu. Sehingga, menurut Feri, wajar saja pihak-pihak yang merasa dirugikan untuk mengajukan permohonan ke MK.

Sebelumnya diberitakan, Tim Hukum Anies-Muhaimin alias AMIN melaporkan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum atau PHPU ke MK. Lewat permohonan ini, kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar menuntut agar diadakan pemungutan suara ulang.

"Kami mengharapkan diadakan pemungutan suara ulang tanpa diikuti oleh calon wakil presiden nomor 02 (Gibran Rakabuming Raka) saat ini," kata Ari Yusuf di Gedung MK, Jakarta Pusat pada Kamis, 21 Maret 2024.

Dia menuturkan, Gibran bisa digantikan oleh siapa saja. Ari Yusuf menjelaskan, permintaan ini adalah imbas dari permasalahan pencalonan Gibran yang sudah bermasalah sejak awal.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar