Abdul Ghofur, Pelopor Sustainability Report Lembaga Zakat Nasional

Menakar Prinsip Keadilan dalam Pemotongan Zakat ASN Hingga TNI-Polri

Jum'at, 22/03/2024 18:03 WIB
Ilustrasi zakat fitrah berupa beras. (Sumber: zakat.or.id)

Ilustrasi zakat fitrah berupa beras. (Sumber: zakat.or.id)

Jakarta, law-justice.co - Wacana mendorong penerbitan penerbitan presiden (perpres) pemotongan zakat penghasilan dari aparatur sipil negara (ASN), pegawai badan usaha milik negara (BUMN), prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) terus menguat. Presiden Joko Widodo disebut merespons baik ide tersebut.

Ide regulasi pemotongan zakat dari ASN, pegawai BUMN, prajurit TNI, dan anggota Polri lewat perpres sejatinya sudah dimulai sejak 2008 pada era Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. 

Wacana tersebut kembali menguat dengan semangat mengecilkan gap atau jarak antara realisasi zakat dengan potensi zakat nasional yang sedemikian besar.

Pemotongan zakat diperuntukkan bagi ASN, pegawai BUMN, prajurit TNI, dan anggota Polri yang sudah memenuhi nishab zakat penghasilan. Perhitungan nishabnya setara dengan 85 gram emas dalam setahun. 

Jika dihitung harga emas hari ini, maka nishab penghasilan yang wajib zakat adalah Rp 78,5 juta setahun atau pendapatan per bulan kurang lebih Rp 6,5 juta. Zakat yang wajib dikeluarkan 2,5% dari penghasilan bulanan yang memenuhi nishab.

Semangat mendorong realisasi potensi zakat nasional adalah hal baik. Zakat adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Negara yang hadir untuk memberikan fasilitas kepada warganya menunaikan ajaran agama adalah bentuk implementasi dari pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945.

Pasal 29 UUD 1945 menyatakan "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".

Pelaksanaan ajaran agama yang diatur dalam konstitusi juga bentuk pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM). Secara kaidah dan prinsip bernegara, kewajiban zakat yang diatur dalam regulasi pemerintah adalah langkah yang harus didukung semua kalangan.

Yang menjadi pekerjaan rumah ke depan adalah penerapan aturan teknis. Sebagai produk hukum, amat penting melihat peraturan dalam konteks riil dan mempertimbangkan semua aspek teknis. Jangan sampai munculnya persoalan teknik impak dari sebuah regulasi, dimaknai sebagai persoalan ekses dari diaturnya norma agama dalam peraturan hukum positif.

Prinsip peraturan harus memenuhi kaidah keadilan, kemudahan, dan kepastian. Pada kaidah keadilan, terwakili dengan hanya ASN, pegawai BUMN, prajurit TNI, dan anggota Polri yang memenuhi syarat yang akan dipotong zakat. Selain memenuhi nishab, peraturan ini hanya berlaku bagi pegawai Muslim.

Selain itu, regulasi UU Pengelolaan Zakat mengatur jika pembayaran zakat bisa dilakukan ke beberapa tempat, yakni Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Sehingga pembayaran zakat oleh ASN, Pegawai BUMN, prajurit TNI, dan anggota Polri juga bisa mengacu pada pembayaran zakat ke BAZ dan LAZ.

Hal itu juga menyangkut prinsip kemudahan. Adanya pilihan dalam berzakat ke lembaga yang sudah diatur seperti BAZ dan LAZ akan membuat semangat menunaikan zakat akan lebih maksimal.

Sebelum ada prinsip kepastian, ASN, Pegawai BUMN, prajurit TNI, dan anggota Polri harus ditanya dan diberikan pilihan ke mana akan menyalurkan zakat. 

Setelahnya, baru diterapkan pemotongan zakat secara otomatis dengan sistem payroll bagi muzakki dari kalangan ASN, pegawai BUMN, prajurit TNI, dan anggota Polri.

Sosialisasi Zakat Insentif Pajak

Wacana penerbitan perpres untuk pemotongan pajak bagi ASN, Pegawai BUMN, prajurit TNI, dan anggota Polri juga harus dibarengi dengan sosialisasi masif zakat sebagai pengurang pajak.

Dalam konteks kekinian, tentu beban para ASN, Pegawai BUMN, prajurit TNI, dan anggota Polri semakin tinggi di era pandemi Covid-19. Kekhawatiran bertambahnya potongan di antara potongan wajib yang lain harus dijawab dengan berlakukan zakat sebagai pengurang pajak.

Peraturan ini termaktub dalam UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat pada pasal 22 dan Pasal 23 ayat 1-2. Perinciannya adalah sebagai berikut:

Pasal 22: Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak.

Pasal 23: BAZ atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki (pemberi zakat), dan bukti tersebut digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak.

Kemudian, hal itu juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, pasal 4 ayat (3) huruf a 1 dan Pasal 9 ayat (1) huruf G yang menetapkan zakat ke BAZ atau LAZ yang disahkan oleh pemerintah bisa menjadi insentif pajak.

Semangat munculnya insentif pajak ini adalah meringankan masyarakat yang ingin membayar pajak dan zakat. Aturan itu berlaku bagi seluruh penduduk Indonesia bukan hanya mereka yang berprofesi sebagai ASN, Pegawai BUMN, prajurit TNI, dan anggota Polri.

Semangat dalam peraturan ini mesti kembali digaungkan. Sebab, ada kemudahan dalam menunaikan kewajiban kita sebagai individu Muslim dan sebagai warga negara.

Seperti halnya pajak, zakat sudah terbukti membantu pembangunan nasional. Banyak kebaikan yang telah dihadirkan lewat penyaluran dana zakat. Sehingga pengaturan dana zakat dalam regulasi pemerintah menjadi tepat.

Tidak relevan lagi paham pemisahan kewajiban agama dengan peraturan hukum pemerintah. Sebab, zakat sebagai kewajiban dalam Islam telah memberikan manfaat luas ke bangsa Indonesia dengan berbagai model program penyaluran zakat baik di BAZ maupun LAZ.

Kita berharap manfaat zakat bisa jauh lebih besar dirasakan masyarakat dan semangat berbagi sebagai naluri alami bangsa ini bisa terus terpatri. 

Tambahannya adalah hadirnya warga yang semakin mendapatkan ketenangan batin dan spiritual lantaran sudah menunaikan salah satu perintah dari Allah SWT. Tenangnya batin individu secara komunal berarti tenangnya kita sebagai bangsa.***

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar