MK Putus Pasal Pencemaran Nama Baik di KUHP Inkonstitusional Bersyarat

Kamis, 21/03/2024 14:22 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi.

Gedung Mahkamah Konstitusi.

Jakarta, law-justice.co - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi sejumlah pasal yang diajukan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti terkait pencemaran nama baik dan berita bohong.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan di Ruang Sidang Pleno Gedung MK RI, Jakarta, Kamis 21 Maret 2024.

Sebelumnya Haris, Fatia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melakukan uji materi terhadap Pasal 27 (3) dan 45 (3) UU 19/2016 (UU ITE), Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 310 ayat 1 KUHP.

Dalam putusan tersebut, MK mengabulkan sebagian untuk uji materi Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/946 dan Pasal 310 ayat (1) KUHP. Sementara Pasal 310 KUHP dinyatakan inkonstitusional bersyarat.

Untuk permohonan dua pasal lain dalam UU ITE, MK memutuskan uji materinya ditolak, karena sudah `kehilangan objek` setelah pemerintah dan DPR mengesahkan dan mengundangkan perubahan UU ITE yang baru yakni UU 1/2024. 

Oleh karena itu, sebagian materi norma dalam UU 11/2008 dan UU 19/2016 telah mengalami perubahan dan sebagian norma dinyatakan tidak berlaku lagi, termasuk perubahan terhadap pasal-pasal yang dimohonkan pengujian oleh para pemohon.

Lalu Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dikabulkan sebagian dengan pertimbangan tidak memiliki parameter sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan membatasi kebebasan berekspresi

Pertimbangan dan pendapat mahkamah

Dalam amar putusannya, MK menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Berikut adalah bunyi Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1946:

Pasal 14

(1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja

menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.

(2) Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat

menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.

Pasal 15

Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian

akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.

Pada bagian pertimbangan mahkamah yang dibacakan hakim konstitusi Enny Nurbaningsih, MK berpandangan demikian karena menilai, "Rumusan norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1945 yang luas dan tidak jelas sehingga dapat diartikan tidak terbatas dan beragam, telah menyebabkan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945."

Dua rumusan pasal itu dinilai tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi setiap warga negara.

"Dengan demikian, dalil para pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 adalah beralasan menurut hukum," jelas Enny dilansir dari CNN Indonesia.

Sementara untuk amar putusan pada uji materi Pasal 310 ayat 1 KUHP, MK menyatakan pasal itu inkonstitusional bersyarat.

"Menyatakan Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan, `Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah`, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, `Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal dengan cara lisan, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah`," tutur Suhartoyo membacakan putusan untuk Pasal 310 ayat 1 KUHP.

Dalam pertimbangannya, MK menilai rumusan Pasal 310 ayat (1) KUHP sebetulnya telah diakomodasi dalam Pasal 433 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 ( KUHP baru). 

Namun, MK menilai ada perbedaan ketentuan norma dalam Pasal 310 ayat 1 KUHP dengan Pasal 433 KUHP baru yakni penegasan pelaku melakukan perbuatan pencemaran mencakup perbuatan `dengan lisan`. MK menilai unsur tersebut tidak diatur dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP.

"Oleh karena itu, tanpa Mahkamah bermaksud menilai konstitusionalitas Pasal 433 UU 1/2023 yang baru mempunyai kekuatan mengikat setelah tiga tahun sejak diundangkan, yaitu tanggal 2 Januari 2026, maka penegasan berkenaan dengan unsur perbuatan "dengan lisan" yang terdapat dalam Pasal 433 UU 1/2023 bisa diadopsi atau diakomodir guna kepastian hukum dalam penerapan ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP," ujar Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam persidangan.

"Dengan demikian, norma Pasal 310 ayat (1) KUHP dimaksud dapat memberikan kepastian hukum dan mempunyai jangkauan kesetaraan yang dapat mengurangi potensi adanya perbedaan perlakuan atau diskriminasi terhadap addresat norm atas ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP, sehingga dalam penerapannya tidak menimbulkan ambiguitas," sambung Enny.

Sebelumnya, Haris, Fatia, dkk menggugat pasal pencemaran nama baik dalam KUHP dan UU ITE ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam berkas permohonannya, Haris dkk meminta MK menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 UU KUHP, Pasal 310 ayat (1) KUHP; dan Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) UU ITE bertentangan dengan sejumlah pasal.

Haris dan Fatia pernah diadili di PN Jakarta Timur dalam kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan.

Adapun dalam perkara itu, Haris dan Fatia divonis bebas karena dinilai tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan jaksa dalam Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 3 Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Pasal 14 ayat 2 jo Pasal 15 UU 1/1946, dan Pasal 310 KUHP. Setiap pasal tersebut disertai dengan Pasal 55 ayat 1 KUHP.

Majelis hakim juga meminta harkat dan martabat kedua terdakwa dipulihkan seperti semula. Kendati demikian, JPU justru mengajukan upaya hukum kasasi.***

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar