Jokowi Dituding Kembalikan Dwifungsi ABRI

Sabtu, 16/03/2024 19:26 WIB
Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto menyaksikan apel gelar kekuatan personel dan material pengamanan Pemilu 2024 secara langsung dan virtual di Taxy Way Echo Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (1/2/2024). Apel gelar pengamanan pemilu 2024 di wilayah Echo Halim Perdanakusuma ini  dipimpin oleh Pangdam Jaya Mayor Jenderal TNI Mohamad Hasan. (Foto: Puspen TNI)

Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto menyaksikan apel gelar kekuatan personel dan material pengamanan Pemilu 2024 secara langsung dan virtual di Taxy Way Echo Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (1/2/2024). Apel gelar pengamanan pemilu 2024 di wilayah Echo Halim Perdanakusuma ini dipimpin oleh Pangdam Jaya Mayor Jenderal TNI Mohamad Hasan. (Foto: Puspen TNI)

Jakarta, law-justice.co - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dituding bakal mengembalikan dwifungsi ABRI melalui pengesahan peraturan pemerintah (PP) tentang manajemen ASN. Adapun beleid hukum tersebut salah satunya memuat klausul bahwa jabatan ASN bisa diisi oleh aparat TNI maupun Polri. Jika pengaturan teknis tentang penempatan TNI dan Polri aktif benar diakomodir dalam PP tersebut, maka dianggap jelas akan mengancam demokrasi karena melegalisasi kembalinya praktik Dwi fungsi ABRI seperti pada masa otoritarian Orde Baru.

Direktur Imparsial, Gufron Mabruri menekankan TNI merupakan alat pertahanan negara yang bertugas menghadapi ancaman perang. Sedangkan Polri bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) dan penegakan hukum. Sehingga kedua lembaga itu sepatutnya dan seharusnya tidak terlibat dalam kegiatan politik dan menduduki jabatan-jabatan sipil karena itu bukan fungsi dan kompetensinya. Dengan demikian, katanya, penempatan TNI dan Polri di jabatan sipil merupakan sesuatu yang menyalahi jati diri mereka.

“Kami memandang salah satu amanat Reformasi adalah mencabut peran TNI dan Polri dalam urusan politik, dan mengembalikan fungsi mereka menjadi militer dan aparat penegak hukum yang profesional. Dengan rencana penyusunan PP itu maka hal tersebut semakin membuktikan bahwa kebijakan pemerintah saat ini sudah melenceng jauh dan telah bertolak belakang dengan semangat Reformasi,” kata Gufron dalam keterangannya, dikutip Sabtu (16/3/2024).

“Penting untuk dicatat, kehidupan demokrasi yang dicapai dan dinikmati hari ini adalah buah dari perjuangan politik berbagai kelompok pro demokrasi pada tahun 1998,” ia menambahkan.

Dia juga mengingatkan penghapusan Dwi fungsi ABRI (TNI dan Polri) merupakan bagian dari agenda demokratisasi tahun 1998. Penghapusan tersebut tidak hanya sebagai bentuk koreksi terhadap penyimpangan fungsi dan peran ABRI yang lebih sebagai alat kekuasaan di masa otoritarian, tapi juga untuk mendorong terwujudnya TNI yang profesional dan secara lebih luas lagi merupakan bagian dari agenda pembangunan demokrasi di Indonesia.

“Kami menilai bahwa dalam upaya menjaga dan mendorong pemajuan sistem dan praktik demokrasi di Indonesia, peran sosial-politik ABRI (TNI dan Polri) yang telah dihapuskan pada tahun-tahun transisi politik 1998 menjadi penting untuk dijaga dan dipertahankan,” kata dia.

Sehingga, katanya, penting bagi elit politik untuk tidak membuka ruang dihidupkannya kembali praktik politik era otoritarian ala Orde Baru, karena sekali ruang tersebut dibuka dan apalagi dilegalisasi melalui UU maka sama saja membalikan kembali peran TNI-Polri seperti di masa otoritarianisme rezim Suharto.

Dia juga meragukan narasi pembangungan internal organisasi di balik wacana perwira militer dan kepolisian aktif dapat menduduki jabatan-jabatan sipil di kementerian dan lembaga. Sebab, jika masalahnya adalah adanya penumpukan perwira non-job di kedua institusi tersebut, upaya lain untuk menyelesaikan hal tersebut dapat dilakukan dengan cara lain, seperti melalui perbaikan proses rekrutmen anggota, pendidikan, kenaikan karir dan kepangkatan.

“Wacana penempatan TNI-Polri dalam jabatan sipil adalah siasat untuk melegalisasi kebijakan yang selama ini keliru yaitu banyaknya anggota TNI-Polri aktif yang saat ini menduduki jabatan-jabatan sipil seperti di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan bahkan di Badan Usaha Milik Negara.

Dalam catatan Imparsial, terdapat 1.592 prajurit TNI menjabat jabatan sipil dan 29 diantaranya ilegal karena diluar dari yang dibolehkan oleh UU TNI. Jumlah itu masih belum ditambah catatan Ombudsman RI yang mencatat setidaknya terdapat 27 anggota TNI aktif menjabat di BUMN. Bahkan, belakangan ini sudah ada perwira TNI aktif yang menduduki jabatan kepala daerah seperti di Kabupaten Seram Bagian Barat.

Adapun rencana penyusunan PP tentang manajemen ASN disampaikan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Abdullah Azwar Anas. Dia menekankan pelibatan aparat dalam birokrasi sipil ditujukan untuk perbaikan tata kelola negara. "Aturan ini juga membahas jabatan ASN yang bisa diisi oleh prajurit TNI dan personel Polri, serta sebaliknya," ujar Anas dilansir siaran pers dari laman resmi Kemenpan RB, Selasa (12/3).

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar