Respons Gus Miftah Disebut Asbun soal Speaker Masjid oleh Kemenag

Selasa, 12/03/2024 12:06 WIB
Pendakwah Gus Miftah (Okezone)

Pendakwah Gus Miftah (Okezone)

Jakarta, law-justice.co - Pendakwah Muda NU, Miftah Maulana Habiburrahman atau yang akrab disapa Gus Miftah menilai Kementerian Agama (Kemenag) RI terlalu terbawa perasaan (baper) setelah menyebutnya asbun dan gagal paham soal penggunaan pengeras suara atau speaker masjid saat Ramadan.

Gus Miftah berpendapat demikian lantaran dia merasa tak pernah sekalipun menyinggung surat edaran Kemenag RI menyangkut pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala.

"Kemenag RI makanya jangan baper, suruh saja lihat pidato Abah [red: sapaan Gus Miftah], ada enggak ditujukan kepada Kemenag, kan enggak ada? Kenapa jadi baper dengan mengatakan Abah asbun?" ungkap Gus Miftah dalam keterangan tertulisnya, Selasa (12/3).

Gus Miftah secara tegas menyatakan bahwa tidak ada sama sekali niat dari dirinya berceramah dengan menyinggung surat edaran Kemenag RI.

"Jadi sekali lagi saya tegaskan, Gus Miftah tidak pernah menyebut surat edaran Kemenag RI terkait dengan pengeras suara, karena yang menyarankan soal pembatasan speaker tersebut bukan hanya menteri agama," kata Pengasuh Ponpes Ora Aji itu.

Gus Miftah justru menyarankan, demi syiar ramadan penggunaan speaker harus tetap dilakukan demi mengembalikan suasana Ramadan seperti zaman dahulu. Tapi, dia tetap menggarisbawahi soal batasan-batasan pemakaiannya.

"Ya tapi tetap semua harus ada batasnya dalam penggunaan speaker, katakanlah sampai jam 10 malam pakai speaker luar. Kemeriahan Ramadan itu harus dikembalikan seperti masa kecil orang tua kita dulu, jadi nuansa Ramadan itu terasa," tutur Gus Miftah.

Kemenag sebelumnya menyatakan Gus Miftah gagal paham soal larangan menggunakan speaker saat tadarus Al-Quran di bulan Ramadan.

Pernyataan Kemenag ini merespons ceramah Gus Miftah di Bangsri, Sukodono, Sidoarjo, Jawa Timur, beberapa hari lalu. Gus Miftah saat itu membandingkan penggunaan speaker itu dengan dangdutan yang disebutnya tidak dilarang bahkan hingga jam 1 pagi.

"Gus Miftah tampak asbun dan gagal paham terhadap surat edaran tentang pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala. Karena asbun dan tidak paham, apa yang disampaikan juga serampangan, tidak tepat," kata Juru Bicara Kementerian Agama Anna Hasbie dalam keterangannya, Senin (11/3).

Anna menyampaikan, sebagai seorang penceramah Gus Miftah semestinya harus lebih dulu memahami maksud dari edaran tersebut agar tak terkesan provokatif membandingkannya dengan dangdutan.

Anna menerangkan pada 18 Februari 2022, Kemenag telah menerbitkan Surat Edaran Nomor SE. 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Edaran itu bertujuan mewujudkan ketenteraman, ketertiban, dan kenyamanan bersama dalam syiar di tengah masyarakat yang beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya.

Dalam edaran tersebut mengatur tentang penggunaan pengeras suara dalam dan pengeras suara luar. Salah satu poin edaran tersebut mengatur agar penggunaan pengeras suara di bulan Ramadan, baik dalam pelaksanaan Salat Tarawih, ceramah/kajian Ramadan, dan tadarrus Al-Qur`an menggunakan Pengeras Suara Dalam.

"Edaran ini tidak melarang menggunakan pengeras suara. Silakan Tadarrus Al-Qur`an menggunakan pengeras suara untuk jalannya syiar. Untuk kenyamanan bersama, pengeras suara yang digunakan cukup menggunakan speaker dalam," ucap Anna.

"Ini juga bukan edaran baru, sudah ada sejak 1978 dalam bentuk Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978. Di situ juga diatur bahwa saat Ramadan, siang dan malam hari, bacaan Al-Qur`an menggunakan pengeras suara ke dalam," lanjutnya.

Anna turut menyebut edaran itu bukan dimaksudkan untuk membatasi syiar Ramadan. Menurutnya, kegiatan tadarrus, tarawih, dan qiyamul-lail selama Ramadan sangat dianjurkan. Kendati, lanjut Anna, penggunaan pengeras suaranya saja yang diatur, justru agar suasana Ramadan menjadi lebih syahdu.

"Kalau suaranya terlalu keras, apalagi antar masjid saling berdekatan, suaranya justru saling bertabrakan dan menjadi kurang syahdu. Kalau diatur, insya Allah menjadi lebih syahdu, lebih enak didengar, dan jika sifatnya ceramah atau kajian juga lebih mudah dipahami," tuturnya.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar