Di Sekitar Dugaan Penggelembungan Suara PSI

Minggu, 10/03/2024 19:52 WIB
lustrasi: Billboard kampanye PSI selama masa kampanye Pemilu 2024. (JPNN)

lustrasi: Billboard kampanye PSI selama masa kampanye Pemilu 2024. (JPNN)

Jakarta, law-justice.co - Dugaan penggelembungan suara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam Pemilu 2024 menyeruak seiring kenaikan cukup drastis yang terjadi dalam waktu yang begitu cepat. Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis menekankan kenaikan suara PSI yang tembus 3 persen lebih merupakan suatu hal yang tidak wajar.

Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, yang juga bagian dari koalisi mengatakan bahwa dinamika data tidak akan berubah secara signifikan ketika penghitungan data sudah memasuki persentase 70 persen. Sedangkan, perolehan suara PSI berdasarkan real count KPU saat data masuk sudah 60 persen lebih berada di angka 2,68 persen pada 26 Februari pagi. Suara PSI lalu merangkak ke angka 2,7 persen hingga menembus 3,13 persen pada awal Maret ini.

Kenaikan suara PSI, kata Halili, juga semacam anomali lantaran di saat yang sama kenaikan drastis perolehan elektoral tidak terjadi di partai lain. Dia menekankan, jika memang ada dinamika dalam tren kenaikan suara, maka bakal terjadi juga di partai lain.

“Maka ketika terjadi perubahan dan lonjakannya drastis, pasti ada permasalahan penggelembungan. (Karena) begitu angka persentase sudah 60 menuju 70 persen itu ada semacam sudah ketahuan arah hasilnya, (karena) densitas data itu sudah bisa dipastikan bahwa trennya tidak akan banyak berubah.” kata Halili kepada Law-justice, Kamis (7/3/2023).

Dari hasil pantauannya, Hallili mewanti-wanti tren kenaikan suara PSI selalu menyentuh angka 70 persen lebih di sejumlah PTS di banyak provinsi. Dengan kata lain, mayoritas suara masuk ke partai besutan putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep itu. Menurutnya, hal tersebut begitu janggal.

“Kan enggak mungkin 70 persen diraih oleh PSI, kemudian sisanya direbutkan belasan partai lain. Tapi begitu polanya di banyak TPS,” kata Halili.

Ihwal darimana suara PSI, Halili menekankan berasal dari dua sumber. Pertama, diperoleh dari suara tidak sah yang ada di setiap TPS, yang biasanya surat suara yang rusak. Atau surat suara yang berasal dari pemilih yang golput dengan merusak atau mencoblos tidak sesuai ketentuan. Kedua, katanya, bersumber dari akumulasi partai peserta pemilu yang tidak hanya berstatus partai baru atau partai yang langganan tidak lolos ambang batas parlemen.

“Di beberapa tempat ada suara tidak sah dan dijadikan suara PSI. Sementara suara caleg tidak bertambah. Juga ada PPP yang berkurang suaranya, sepanjang PSI naik,” kata dia.

Bicara soal suara PPP, sebelumnya suara partai bercorak nasionalis-islam ini sempat di bawah angka 4 persen, meski kini sudah terkerek naik kembali di atas ambang batas parlemen. Ketika suara PPP anjlok, Ketua Majelis Pertimbangan PPP M. Romahurmuziy (Romy) secara terang-terangan menduga adanya penggelembungan suara PSI yang menggerus suara dari partai lain dan mengambil suara dari suara tidak sah. Romy menyebut dugaan penggelembungan suara ini sebagai ‘operasi sayang anak’, yang merujuk relasi Jokowi dan Kaesang.

Dia merujuk pada unggahan di media sosial ihwal penggelembungan suara untuk PSI. Adapun beberapa warga mengunggah temuan mereka soal ketidaksesuaian yang ekstrem. Semisal, di TPS 4 Bulakan, Cibeber, Cilegon, Jawa Barat, yang mana PSI hanya mendapat 1 suara. Akan tetapi, saat perhitungan suara, PSI justru mendapat 69 suara.

Hal sama terjadi di TPS 20 Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta. Dalam dokumen C1 yang difoto, PSI hanya mendapat 5 suara. Namun pada hasil hitung suara di laman resmi KPU, PSI dipublikasi meraih 31 suara.

Romy juga mengumpulkan beberapa data mulai dari unggahan di platform X dan laporan beberapa kadernya di sejumlah daerah. Di akun X @kopidid, misalnya, yang melaporkan penggelembungan suara PSI sebesar 6.900% yang terjadi di Desa Kroyo, Gebang, Purworejo, Jawa Tengah. Unggahan menjelaskan PSI tidak mendapat suara namun pada SIREKAP merekam 69 suara.

Kader PPP di TPS 024, Banjaran Wetan, Bandung, pun melaporkan PSI seharusnya mendapat 1 suara. Akan tetapi, hitungan di situs SiRekap KPU mencatat partai itu memperoleh 21 suara. Juga terdapat Pergeseran suara tidak sah menjadi suara PSI di dua TPS, yakni 004 Cibeber, Cilegon, Jawa Barat dan 009 Bendoharjo, Grobogan, Jawa Tengah. Dari data Sirekap, suara PSI di Cibeber tertulis 69 suara, sedangkan suara tidak sah 1. Namun, dilihat lagi dari foto C.Hasil yang diunggah di Sirekap kondisi berbeda terlihat. Dalam foto C.Hasil suara PSI tertulis 1 suara, sedangkan suara tidak sah 69.

Menurut Halili, keputusan KPU yang sempat menghentikan rekapitulasi suara secara manual di tingkat Kecamatan serta penghentian SIREKAP patut diduga sebagai indikasi adanya pengkondisian pengerekan suara untuk PSI. Padahal, katanya, KPU tidak punya dasar untuk melakukan hal itu karena sejatinya SIREKAP dan rekapiutasi manual ini adalah dua instrumen yang menguatkan dalam pembuktian transparansi penghitungan. Dia menekankan, SIREKAP bagian dari kontrol publik, sedangkan rekapitulasi manual itu tahapan secara legal untuk diacuh soal raihan suara sesungguhnya peserta pemilu.

Dugaan pengkondisian, katanya, kentara lagi terlihat ketika KPU menyetop menampilkan grafik atau diagram persentase raihan suara peserta pemilu dalam laman resmi KPU. Sebelumnya, tanda-tanda kejanggalan itu bisa juga tampak saat suara PSI yang seolah tidak melonjak ketika muncul kecurigaan publik. Dia lantas mempertanyakan soal independensi KPU dalam penyelenggaran Pemilu kali ini.

“KPU mengambil keputusan untuk tidak menampulkan grafik suara, itu soal serius yang artinya ada kekacauan dalam konteks penayangan data di SIREKAP. (Sehingga) agak sulit kalau tidak mengatakan bahwa ini tidak by design,” ujarnya.

Ketua Pusat Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani yang juga bagian koalisi sipil menekankan dugaan penggelembungan suara PSI tidak terlepas dari lanjutan cawe-cawe politik Jokowi dalam Pemilu 2024. Dia sedari awal memprediksi bakal terjadi kebocoran suara yang dialihkan untuk kepentingan elektoral partai tertentu yang terafiliasi dengan Jokowi.

“Akan ada leak dalam sistem KPU karena dari awal KPU jadi komprador Jokow bersama seperti parpol pendukung. Nah leak-nya itu paling besar dimainkan ada di sirekap. Jangan sampai sirekap ini ditunggangi kepentingan Jokowi karena itu satu-satunya cara untuk melegitimasi apa yang dia coba rekayasa di pemilu,” kata Julius kepada Law-justice, Kamis.

“Nah salah satunya PSI. Kenapa diduga kuat penggelembungan suara PSI, sekarang kita lihat ada polanya enggak. Kan jelas ada polanya. Satu, semua mainnya di Sirekap[ yang platformnya cuma KPU yang bisa akses. Kedua, dia (PSI) mengambil dari suara tidak sah. Ketiga, rekayasa dimulai di level kecamatan (terkait penyetopan rekapitulasi manual),” Julius melanjutkan.

Senada dengan Halili, pola penggelembungan suara PSI tampak serupa, yakni menggunakan suara tidak sah. Dari temuannya, kejanggalan suara terjadi di Dapil 3 Provnisi Banten, Rawa Buntu, Serpong, tepatnya di TPS 09. Dimana 152 dinyatakan suara sah, 46 suara tidak sah dengan total 198 saura. Akan tetapi, katanya, ketika dimasukkan ke aplikasi SIREKAP, PSI terekam mendapat 43 suara yang diduga kuat berasal dari suara tidak sah tersebut. “Kita lihat di lapangan, itu konsisten. Pola seperti itu sama di banyak wilayah,” ujar Julius.

Julius mengatakan klaim KPU soal adanya ketidakuratan dalam pemindaian data di SIREKAP merupakan hal yang tidak masuk akal. Sebab, yang terjadi adanya anomali suara untuk PSI. ‘Kalau ketidaksempurnaan pemindaian (contohnya) angka 3 menjadi 8, tapi kalau pemindaian suara dari sumber yang sama yakni suara tidak sah, lalu konsisten jumlahnya dikurangkan dan ditambahkan dan terjadi di banyak wilayah, itu namanya operasi, jadi bukan soal ketidakakuratan,” tutur Julius.  

“Kalau bukan satu pelaku yang mengendalikan sirekap, maka ada orang yang bisa membobol sirekap dengan cara konsisten, slot yang sama, modus yang sama, artinya ada yang mengubah hasil sirekap,” kata Julius lagi.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari mengungkapkan dugaan penggelembungan suara PSI merupakan bagian dari orkestrasi politik yang dibangun Jokowi sejak lama. Penggunaan instrumen kepemiluan termasuk penyelenggara negara bisa saja terjadi jika melihat sikap politik Jokowi dalam dinamika politik Pemilu.

“Coba bayangkan dalam hitungan hari, ada suara yang naik melonjak luar biasa. Dari 2,5 persen menjadi 3,1. Dan semua memperlihatkan satu partai yang berubah signifikan (PSI). Jadi bagi saya kalau tidak ada kekuasaan yang penting mengubah alur permainan ini, tidak akan mungkin ini terjadi,” kata Feri kepada Law-justice, Kamis. 

“Bayangkan, PSI mesti mengejar dari 2,5 persen ke 4 persen harus mendapatkan tambahan 1,8 juta suara. Suatu angka yang mustahil untuk dikejar. Kecuali, terjadi keajaiban,” ia menambahkan.

Feri mewanti-wanti kenaikan suara PSI secara drastis tidak sejalan dengan eksistensi partai di tengah publik. Menurutnya, PSI tak lebih dari partai baru yang tidak punya preferensi dengan kinerja-kinerja politik. “Lalu apa yang menyebabkan suatu partai tiba-tiba bisa melonjak luar biasa kalau bukan ada permainan. Meskipun anak presiden jadi ketum PSI, harus ada background story, partai ini betul-betul diminati, tapi kan faktanya tidak ada,” kata dia.

Lebih lanjut, kata Feri, politik efek ekor jas juga tak didapat dari PSI karena mendukung Prabowo-Gibran dalam Pilpres. Sebab, PSI kadung tidak diasosiakan dengan Prabowo. Sehingga menjadi tanda tanya besar efek politik dari aktor politik mana yang mempengaruhi suara PSI.

“Saya tidak ada tendensi kepada PSI. Tapi saya tidak melihat indikator PSI akan diminati secara gradual dalam proses penyelenggaraan pemilu. Sebab, apa orang suka PSI, Apa indikatornya, kalau indikatornya Kaesang, ya tidak benar juga. Pemilih kita cukup cerdas. Kaesang yang jadi ketua umum secara cepat yang menurut saya tidak akan membuat PSI tidak akan melesat,” kata Feri.

Belum moncernya reputasi PSI ini, menurut Feri, yang membuat elektabilitas PSI sebenarnya rendah berdasar beberapa lembaga survei. Sehingga diprediksikan tidak akan bisa lolos parlemen.

“Kalau quick qount mengatakan PSI di angka 3,8 dan kini menjadi 4 persen pada real count, itu masuk akal dan bisa diterima. Dalam batas penalaran wajar untuk suara PSI yang dari 2,5 persen ke angka 4 persen itu tidak wajar. Kalau PSI tembus 4 persen maka kiamat lah proses demokrasi kepememiluan kita,” tutur Feri.

Juru bicara PSI, Sigit Widodo menekankan bahwa tidak ada yang tidak wajar dari kenaikan suara PSI di Sirekap. Dia mempertanyakan balik kepada pihak yang menduga adanya penggelembungan suara dan intervensi kekuasaan di balik kenaikan suara partainya. “Sebaiknya ditanyakan lebih lanjut kepada yang menyampaikan narasi tersebut. Buat kami tidak ada yang tidak wajar dan tidak ada penggelembungan suara,” kata Sigit kepada Law-justice, Kamis.

Dia tidak menafikan adanya sengkarut dalam Sirekap KPU yang mengakibatkan kesalahan pembacaan data, namun hal itu tidak bisa menjustifikasi bahwa adanya pengkondisian untuk mengerek naik suara PSI. Menurutnya, soal permasalahan sistem penghitungan suara sudah disoroti oleh Bawaslu dan KPU sendiri, sehingga semestinya publik bisa berpegang pada kinerja penyelenggara dan pengawas pemilu tersebut, alih-alih menyoalkan independensi dan menuding intervensi dari kekuasaan.

“Saya kira perlu ditanyakan lagi bentuk intervensinya seperti apa karena Pemilu di Indonesia dilaksanakan oleh komisi yang mandiri dan independen dan diawasi oleh badan yang juga mandiri dan independen, bukan oleh lembaga di bawah eksekutif,” kata Sigit.

“PSI selalu percaya pada netralitas KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara Pemilu, sehingga menurut kami tidak mungkin dua lembaga ini bisa diintervensi oleh kekuasaan,” ia menambahkan.

Sigit bilang bahwa kenaikan suara PSI di Pemilu 2024 memang terjadi karena `Kaesang Effect`. Ditambah, katanya, ada efek elektoral dari sosok Jokowi sebagai presiden dengan tingkat kepuasan yang cukup tinggi. “Pengaruhnya ke elektoral partai sangat kuat sehingga kami optimis akan masuk ke Senayan karena suara kami di atas ambang batas parlemen,” ujar Sigit.

 

Catatan redaksi: Tulisan ini merupakan bagian dari tulisan bertajuk "Bongkar Dugaan Begal Suara Demi Lolosnya `Partai Putra Jokowi`. Tulisan dimuat terpisah untuk penekanan pada narasumber dan konteks tertentu.

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar