Donald Trump Divonis Denda Rp5,5 Triliun Soal Kasus Penipuan Kekayaan

Sabtu, 17/02/2024 13:43 WIB
Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump (Foto: Istimewa)

Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump (Foto: Istimewa)

Jakarta, law-justice.co - Pengadilan New York menjatuhkan denda sebesar US$355 juta (setara Rp5,5 triliun) ke eks presiden Amerika Serikat Donald Trump, atas tuduhan penipuan.

Trump juga dilarang menjalankan perusahaan di negara bagian New York selama tiga tahun ke depan.

Melansir AFP, Donald Trump dinyatakan bersalah telah menggelembungkan kekayaan secara tidak sah dan memanipulasi nilai properti, untuk mendapatkan pinjaman bank atau persyaratan asuransi demi mendapatkan keuntungan pribadi.

Anak Trump, Eric dan Donald Trump Jr. juga dinyatakan bertanggung jawab dalam kasus ini, dan diperintahkan untuk membayar denda masing-masing lebih dari US$4 juta (setara Rp62 miliar).

Dalam kesaksian di persidangan, ahli menyebut Trump menilai klub eksklusifnya di Florida, Mar-a-Lago, dengan menggunakan "harga yang diminta", bukan harga jual sebenarnya.

"Dari tahun 2011-2015, para terdakwa menambahkan premi sebesar 30 persen karena properti tersebut adalah fasilitas komersil yang telah selesai," jelas Jaksa Penuntut.

Namun pengacara Trump, Chris Kise, mengatakan tidak ada bukti jelas yang membuktikan niat Trump. Kise mengakui mungkin ada kesalahan dalam laporan keuangan perusahaan Trump, namun tidak ada yang mengarah pada kesimpulan soal penipuan.

Lantaran kasus ini bersifat perdata dan bukan pidana, maka tidak ada ancaman penjara bagi Trump.

Namun jelang keputusan tersebut dibacakan, Trump mengatakan larangan melakukan bisnis di negara bagian New York serupa dengan "hukuman mati bagi perusahaan".

Sebagai pengusaha dan pengembang properti di New York, Trump membangun profil publik sebagai "batu loncatan" menuju industri hiburan, dan pada akhirnya terpilih sebagai presiden.

Trump disebut-sebut hampir pasti kembali maju sebagai presiden AS pada pemilu yang bakal digelar pada November 2024.

Dia berulang kali telah menyebut Presiden Joe Biden yang dengan sengaja mendorong kasus ini sebagai senjata politik menjelang pemilu.***

(Tim Liputan News\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar