Keabsahan dan Cara Adopsi Anak dalam Hukum Adat

Jum'at, 16/02/2024 15:32 WIB
Ilustrasi adopsi anak (Dok.https://parentalk.id)

Ilustrasi adopsi anak (Dok.https://parentalk.id)

Jakarta, law-justice.co - Apabila adopsi dilakukan secara tidak formal atau berdasarkan hukum adat, lantas, apakah pengangkatan anak secara adat sah menurut hukum nasional?

Istilah adopsi dalam hukum adat memiliki arti yang luas daripada pengertian adopsi menurut sistem hukum barat. Dalam hukum adat, adopsi diartikan sebagai perbuatan hukum untuk memberikan status hukum tertentu pada seorang anak yang sebelumnya tidak dimiliki oleh anak tersebut.

Terdapat berbagai ragam istilah yang digunakan terkait adopsi ini, seperti ”ngukup anak” (suku Dayak Maayang-Siung), “mupu anak” (Cirebon), “ngukut anak” (Sunda), “nyentanayang” (Bali), “mulangjurai” (Rejang Bengkulu), dan “dianak” (Tanah Toraja).

Sementara itu, Bushar Muhammad mendefinisikan adopsi adalah suatu perbuatan hukum dalam rangka hukum adat keturunan, bilamana seseorang diangkat atau didudukkan dan diterima dalam suatu posisi, baik biologis maupun sosial, yang semula tidak ada padanya.

Ter Haar mendefinisikan adopsi sebagai perbuatan mengangkat anak dari luar lingkungan keluarga ke dalam lingkungan suatu klan atau kerabat tertentu. Mengangkat anak (adopsi) merupakan perbuatan hukum yang membawa dua akibat hukum yaitu sebagai anak, sebagai anggota keluarga melanjutkan keturunan sebagai ahli waris dan sebagai anggota masyarakat (sosial).

Berkaitan dengan itu, seseorang yang diangkat sebagai anak mempunyai hak-hak yuridis dalam rangka hukum waris, yaitu menerima hak-hak dan kewajiban sebagai ahli waris baik materiel (rumah, sawah, kebun, dan benda-benda lain) maupun yang imateriel (gelar adat, kedudukan adat dan martabat keturunan). Di samping itu, seorang anak angkat juga diangkat sebagai anggota masyarakat, mendapat hak-hak sosial, seperti menghadiri upacara adat, cara berpakaian tertentu pada tempat-tempat tertentu diselipi penghormatan (di Batak disebut Kahanggi Pulut).

Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum Adat
Lalu, bagaimana kedudukan anak angkat menurut hukum adat? Kedudukan anak angkat dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni kedudukan anak angkat sebagai penerus keturunan orang tua angkatnya sehingga hal tersebut mengakibatkan putusnya hubungan anak tersebut dengan orang tua kandungnya; dan kedudukan anak angkat tidak sebagai penerus keturunan orang tua angkatnya sehingga hubungan anak tersebut dengan orang tua kandungnya tidak putus.

Cara Adopsi Anak dalam Hukum Adat
Motif atau alasan dilakukannya adopsi diantaranya adalah untuk melanjutkan keturunan atau pancingan bagi hadirnya seorang anak kandung. Pengangkatan anak dilaksanakan dengan upacara-upacara atau rites de passage di hadapan orang sedusun, dengan bantuan penghulu atau pemuka rakyat. Tujuannya agar perbuatan itu terang dan dalam rangka ketertiban hukum masyarakat, sebagaimana terjadi di Nias, Gayo, Lampung, dan Kalimantan.

Secara garis besar, cara adopsi dalam hukum adat itu dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu adopsi langsung dan adopsi tidak langsung.Berikut ini akan kami jelaskan mengenai pengertian dan contoh adopsi dalam hukum adat melalui adopsi langsung dan tidak langsung.

Adopsi langsung adalah seorang anak langsung diangkat menjadi anak. Contohnya adalah adat nyentanayang di Bali dimana pengangkatan anak merupakan perbuatan hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya.

Apabila ada keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki, maka akan melakukan pengangkatan anak-anak dari luar lingkungan keluarga. Apabila tidak terdapat anak laki-laki maka dapat juga seorang anak perempuan diangkat menjadi anak angkat (santana).

Tujuan adopsi ini adalah adanya laki-laki sebagai penerus keturunan (sentana). Di Bali, daerah dengan sistem kekerabatan patrilineal maka hanya anak laki-laki saja yang dapat menerima harta peninggalan dan yang melanjutkan kedudukan bapaknya sebagai kepala keluarga. Apabila tidak ada anak laki-laki, maka dapat mengangkat anak perempuan sebagai penerus keturunan bapaknya. Implikasinya, anak perempuan yang menjadi sentana hanya dapat kawin secara ”kawin ambil anak”, sehingga suaminya disebut ”sentana tarikan”. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbuatan pengangkatan anak merupakan kewajiban menurut hukum karena hanya anak laki-laki yang dapat menggantikan sang bapak di dalam berbagai kedudukan hukum.

Selain itu, contoh adopsi lainnya yaitu ”ngranan anak” atau ”mengara anak”, yang dalam Bahasa Indonesia disebut ”mengaku anak”, terdapat di Minahasa. Perbuatan ngranan anak atau mengara anak ini, tidak termasuk perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga melainkan bersifat perjanjian, yakni satu pihak berjanji kepada pihak lain untuk mengaku anak.

Ketika orang yang mengara anak sudah tua dan meninggal, maka anak yang anak ngranan ini bertanggung jawab atas pemakamannya dan pengurusan harta benda peninggalan orang yang ngranan anak. Sebagai imbalan terhadap si anak ialah bahwa ia mendapat sebagian dari harta peninggalan pihak yang mengara anak. Namun demikian, dalam hukum keluarga tidak mengubah hubungan anak ngranan dengan orang tua kandungnya. Hubungan anak ngranan dengan orang tua kandungnya tidak putus dan ia tidak mewaris dari orang tua ngranan, tetapi tetap mewaris harta orang tua kandungnya.

Adat ”ngranan anak” di adat Bali disebut dengan makahidangraga yakni perjanjian pemeliharaan, dimana seseorang menyerahkan diri bersama segala harta bendanya kepada orang lain dan yang menerima penyerahan demikian wajib untuk menyelenggarakan pemakamannya, membakar mayatnya, membayar utang-utangnya dan untuk semuanya itu dan si pemelihara berhak atas harta peninggalannya.

Di suku Semendo, suku Dayak Landak, dan suku Dayak Tayan di Kalimantan Barat, terdapat adat mengangkat anak perempuan, dengan tujuan agar mempunyai seorang anak perempuan yang akan dapat mengurus kekayaannya, karena di daerah tersebut, anak perempuan mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada anak laki-laki.

Sementara itu, di Jawa dan Sulawesi, baik keluarga yang mempunyai anak maupun tidak mempunyai anak melakukan adopsi ”tidak terang”, yakni adopsi tanpa sepengetahuan kepala adat. Tujuan adopsi adalah untuk mendapatkan keturunan, atau untuk mendapatkan tenaga kerja atau karena belas kasihan semata. Di Jawa, adopsi kemenakan lebih banyak dilakukan dibanding pengangkatan anak dari luar kerabat karena dapat memperkokoh kekerabatan.

Anak angkat tersebut seperti anak sendiri, hanya saja dalam hal urusan warisan, ia tidak berhak atas harta pusaka orang tua angkat tetapi mendapat bagian tertentu dari harta pencaharian. Ia adalah tetap anak dari orang tua kandung, karena itu menjadi ahli waris dari orang tua kandung. Di Sulawesi, anak angkat seringkali mendapat warisan melalui hibah.

Adapun, yang dimaksud dengan adopsi tidak langsung adalah adopsi yang terjadi bilamana seseorang kawin atau mengawinkan, dan setelah itu ia mengangkat seseorang anak atau anak tirinya atau anak menantunya sebagai anak sendiri yang akan melanjutkan keturunannya, bahkan terkadang juga sebagai ahli waris sepenuhnya.

Hal ini di Rejang-Bengkulu disebut mulang jurai yakni peraturan ambil anak oleh seorang suami yang mengadopsi anak tirinya (anak bawaan istri dari perkawinan yang terdahulu). Perbuatan ini hanya mungkin jika ayah si anak masih hidup dan memperkenankan.

Di suku Dayak Maanyang Siung, terdapat adopsi yang disebut ”ngukup anak”. Adopsi tak langsung ini terjadi bila seorang bapak ibu mengawinkan anak perempuannya dengan seorang anak laki-laki yang kemudian diangkat menjadi anak meneruskan keturunan atau sekaligus menjadi ahli waris penuh. Kawin tegak tegi dan kawin tambiq anak di Lampung.

Ada lagi kawin semendo ngungkit di Muara Sipongi, yakni memasukkan atau mengangkat seorang gadis ke dalam kerabat suaminya dengan maksud supaya bersama suaminya memiliki harta peninggalan.Terakhir, ada lagi perbuatan hukum yang mengubah kedudukan hukum seorang anak atau beberapa orang anak oleh bapaknya sendiri. Dari suku ibunya yang telah menempuh kawin ambil anak/kawin semendo, pindah ke suku bapaknya sendiri dengan jalan pembayaran adat yang disebut pedaut, baik ditetapkan sewaktu melangsungkan perkawinan maupun sesudahnya, asal dilakukan dengan tunai.

Adopsi Dilakukan dengan Terang dan Tunai
Menurut tata cara adat, perbuatan adopsi itu dilakukan dengan terang dan tunai. Yang dimaksud “terang” adalah suatu prinsip legalitas, yang berarti perbuatan itu dilakukan di hadapan dan diumumkan di depan orang banyak, resmi, formal, agar semua orang mengetahuinya.

Prinsip terang atau legalitas ini diakomodasi dalam Putusan Mahkamah Agung No. 210/K/Sip/1973 dan Putusan Mahkamah Agung No. 912/K/Sip/1975 yang menyatakan bahwa keabsahan seorang anak angkat itu didasarkan pada adanya upacara adat dan tanpa upacara adat maka tidak sah pengangkatan seorang anak. Namun dalam perkembangannya, keabsahan anak tidak hanya didasarkan pada sisi legalitas atau formalitas saja, Mahkamah Agung menambahkan sisi faktual juga, yakni anak tersebut sejak bayi diurus, dipelihara, disekolahkan hingga dikawinkan oleh orang tua angkatnya, sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung No. 53 K/Pdt/1995.

Sedangkan kata “tunai” bermakna perbuatan itu akan selesai seketika itu juga, tak mungkin ditarik kembali (einmalig dan irrevocable). Anak yang diangkat, dilepaskan dari lingkungan kerabat lama dan serentak diberikan imbalan sebagai penggantinya, berupa benda magis. Setelah penggantian dan penukaran itu berlangsung, anak yang diangkat itu masuk ke dalam lingkungan kerabat yang mengangkatnya sebagai anak. Perbuatan mengangkat anak ini merupakan perbuatan tunai.

Apakah Pengangkatan Anak Secara Adat Sah Menurut Hukum Nasional?
Jika merujuk ketentuan dalam Pasal 39 ayat (1) UU 35/2014, pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Adapun, dalam Pasal 1 angka 9 UU 35/2014 diterangkan bahwa anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

Lebih lanjut diterangkan di dalam Pasal 9 PP 54/2007 bahwa pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat yaitu pengangkatan anak yang dilakukan dalam satu komunitas yang nyata-nyata masih melakukan adat dan kebiasaan dalam kehidupan masyarakat, yang dapat dimohonkan penetapan pengadilan.

Pengangkatan anak secara adat kebiasaan tersebut dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan.

Dengan demikian, pada dasarnya adopsi atau pengangkatan anak menurut hukum adat sah menurut hukum nasional serta dapat dimohonkan penetapan pengadilan.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar