Dukung Prabowo, Aktifis HAM Sebut Jokowi Plintat-plintut

Sabtu, 03/02/2024 22:35 WIB
Aktifis HAM Usman Hamid.

Aktifis HAM Usman Hamid.

law-justice.co - Intervensi Presiden Joko Widodo dalam Pilpres yang cenderung mendukung paslon 02 Prabowo-Gibran RR dinilai oleh aktifis HAM Usman Hamid sebagai sikap plintat-plintut presiden. Di satu sisi pernah menjanjikan penuntasan kasus pelanggaran HAM Berat, termasuk penculikan aktifis. Namun, memberikan karpet kepada Prabowo, yang diduga terlibat kasus pelanggaran HAM Berat masa lalu penghilangan paksa aktifis, menjadi Capres berpasangan dengan anaknya.

Usman menilai ini merupakan salah satu bentuk pemutihan politik bagi Prabowo. “Januari tahun lalu Presiden memberikan pernyataan publik mengakui telah terjadi pelanggaran HAM Berat di masa lalu. Ada 12 peristiwa pelanggar HAM Berat salah satunya adalah peristiwa penghilangan orang secara paksa,” tuturnya. Dia menambahkan, kalau kita lihat pemeriksaan Komnas HAM pada tahun-tahun awal reformasi atau pemeriksaan berbagai lembaga lainnya seperti tim gabungan pencari fakta (TGPF) atau lembaga nonpemerintah seperti KONTRAS mengindikasikan bahwa salah satu orang yang bertanggung jawab adalah Prabowo.

Bahkan, menurut Usman, Dewan Kehormatan Perwira Tinggi ABRI yang ketika itu dibentuk untuk menelusuri ada tidak adanya keterlibatan perwira tinggi justru menyimpulkan Prabowo juga terlibat dan dia mengakui melakukan itu karena salah menafsirkan perintah. “Ia diberhentikan karena keterlibatannya di dalam peristiwa penculikan aktivis dan penghilangan paksa,” kata Koordinator Amnesti Internasional Indonesia ini.

Nah sekarang, meskipun setahun lalu Jokowi memberikan pernyataan pengakuan atas Pelanggaran HAM Berat masa lalu periswa penculikan dan penghilangan paksa adalah peristiwa Pelanggaran HAM Berat dan karena itu menurut saya tidak bisa diputihkan. “Justru orang yang seharusnya dihadapkan ke proses pengadilan justru diberikan dukungan bahkan dimungkinkan untuk menjadi calon presiden Indonesia di masa datang,” ujarnya.

“Saya kira itu sikap Jokowi yang inkonsisten kalau dalam bahasa aktivis tahun 60-an, plintatplintut,” kata mantan koordinator Kontras ini.

Selain masalah penculikan, Usman menilai  penanganan HAM ini di era Jokowi tidak serius. Kalau dilihat dari penanganan pelanggaran HAM Berat masa lalu belum serius diselesaikan. Banyak sekali pelanggaran HAM Berat yang membutuhkan penyelesaian termasuk atau terutama secara Yudisial tapi juga tidak selesai. “Bahkan kasus Papua yang terjadi di Paniai sempat diajukan ke pengadilan HAM tapi berujung dengan putusan bebas,” ujarnya.

Perlu diingat, imbuhnya, itu adalah pengadilan yang digelar 8 tahun setelah peristiwa dan sedari awal dakwaannya pun kelihatan lemah. Hal serupa juga pernah terjadi pada Peristiwa Tanjung Priuk dan Timor Timur, ketika dibawa ke pengadilan HAM, dakwaannya dibuat lemah sehingga berujung dengan pembebasan.

Sementara perkara-perkara lainnya tidak juga ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung, bahkan ditolak terus dikembalikan ke KOmnas HAM dan pemerintah sendiri seperti memilih hanya jalan non Yudisial yaitu melalui pemberian bantuan sosial atau pengakuan. “Ya, itu penting tetapi saya kira jauh dari cukup. Sekarang kita menghadapi Pemilu dan kelihatan sekali bahwa upaya non Yudisial pun ternyata tidak bisa dituntaskan,” ujarnya.

 

 

(Bandot DM\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar