Janggal Impor Pangan: Oligopoli hingga Sarat Penyelewengan

Sabtu, 27/01/2024 19:40 WIB
Stok bawang putih impor di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur (Foto:Denni Hardimansyah/Law-Justice)

Stok bawang putih impor di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur (Foto:Denni Hardimansyah/Law-Justice)

Jakarta, law-justice.co - Diduga ada penyelewengan dalam impor bawang putih yang digarap Kementerian Pertanian (Kementan) seiring Ombudsman dalam investigasi teranyarnya menemukan maladministrasi terkait Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) yang terjadi pada 2023 lalu. Maladministrasi itu mulai dari dugaan melampaui wewenang dalam pelayanan RIPH, pengabaian kewajiban hukum atau tidak memberikan pelayanan, dugaan penundaan berlarut, dugaan tidak kompeten, hingga kebijakan wajib tanam bawang putih yang menyimpang.

Untuk maladministrasi yang disebut pertama, Ombudsman menemukan adanya pungutan liar dalam penerbitan RIPH bawang putih. Temuan itu berdasar keterangan pelapor dan ditambah keterangan seorang importir pada saat pemantauan lapangan di Kecamatan Kledung Kabupaten Temanggung. Pelaku usaha yang melapor itu mengaku dimintai sejumlah uang oleh oknum dari Kementan berkisar antara Rp200/kg hingga Rp250/kg demi melancarkan penerbitan RIPH bawang putih yang sedang diurus.

Kemudian, temuan Ombudsman terkait kebijakan wajib tanam bawang putih yang menyimpang berkutat pada permainan importir yang tidak mau memenuhi kewajiban wajib tanam. Padahal, wajib tanam bawang putih merupakan salah satu bentuk kewajiban importir sesuai aturan Kementan untuk melakukan pengembangan komoditas bawang putih dalam negeri pasca terbitnya RIPH. Aturan ini terbit saat masa Menteri Amran Sulaiman di periode pertama dengan angan-angan Indonesia bisa swasembada pangan. Sebagai ilustrasi, jika suatu perusahaan melakukan wajib tanam 100 hektar dengan target produksi semisal 200 ton bawang putih, maka perusahaan itu berhak mendapatkan jatah impor sebesar 4.000 ton dalam setahun.

Namun, berdasar temuan di Kecamatan Kledung Kabupaten Temanggung pula didapati ada seorang calo yang mengelola wajib tanam bawang putih untuk 16 perusahaan importir bawang putih. Keberadaan calo ini dikhawatirkan mengurangi proporsi biaya tanam yang diterima petani dari perusahaan, sehingga budidaya bawang putih melalui kebijakan wajib tanam tidak berjalan optimal.

Adapun konsekuensi tidak dilakoninya wajib tanam, maka perusahaan yang sudah mendapat RIPH bisa masuk daftar hitam yang otomatis ditolak pengajuan impor di tahun berikutnya. Akan tetapi, Ombudsman menemukan akal-akalan perusahaan untuk tetap bisa mendapat jatah impor, meski kedapatan ogah menjalani kewajiban tanam. Modusnya adalah perusahaan yang telah masuk daftar hitam itu membuat perusahaan baru agar bisa pengajuan persetujuan impor bawang putih tahun berikutnya.

Sistem RIPH juga bermasalah, importir melaporkan adanya kendala dalam Sistem Akses RIPH yang sering tidak bisa diakses pada jam kerja. Ditambah, proses permohonan RIPH yang selesai melebihi standar waktu layanan selama 8 hari kerja sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 39 Tahun 2019 tentang RIPH. Ombudsman menganggapnya ini sarat maladministrasi lantaran Kementan mengulur waktu tanpa alasan jelas dalam penerbitan RIPH.

Masih bicara soal RIPH, rupanya pula penerbitan RIPH bawang putih melebihi rencana impor bawang putih yang ditetapkan pemerintah pada 2023. Sebelumnya, dalam Rakortas Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian telah ditentukan rencana impor sebesar 561.926 ton. Tetapi, Kementan justru telah menerbitkan sekitar 1,2 juta ton RIPH.

Terkait soal kuota, importir bernama PT Adib Global Food Supplies milik pengusaha Budi Mulyono mengaku tidak mendapat jatah impor sesuai RIPH yang sebanyak 6.000 ton. Sebab, Surat Persetujuan Impor (SPI) yang disetujui Kementerian Perdagangan hanya 1.800 ton saja. Perlu diketahui, pemangku kepentingan dalam impor bawang putih ini ada pula Kemendag. Importir yang telah mengantongi RIPH mesti mendapat SPI sebelum akhirnya bisa transaksi impor.  

Budi mengatakan perusahaannya baru pertama kali mengajukan kuota impor, tetapi di luar ekspektasi bisa mendapat profit sesuai yang dibayangkan. “Baru sekali ikut minta kuota, sudah tertaih-tatih,” tutur Budi saat ditemui Law-justice.co di kantornya yang berlokasi di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (25/1/2024).

Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, mengatakan bahwa impor bawang putih bersifat oligopoli. Diduga ada relasi antara kementerian dengan segelintir perusahaan yang itu-itu saja dijatah impor berlebih. “Ada sejumlah importir yang kuasai sebagian besar pasokan bawang putih,” kata Yeka saat ditemui Law-justice, Kamis.

Dugaan adanya oligopoli merujuk pada sejumlah laporan importir yang tergabung dalam Perkumpulan Pengusaha Bawang dan Sayuran Umbi Indonesia (Pusbarindo). Yeka mengatakan perusaahan yang jadi importir dalam Pusbarindo adalah pemain lama, tetapi belakangan tak mendapat jatah impor dari Kemendag, kendati sudah mengantongi RIPH.

Merujuk Data Sistem Neraca Komoditas hingga akhir 2023, sedikitnya ada 230 perusahaan yang mengantongi RIPH. Akan tetapi, hanya 102 perusahaan atau 44 persen yang mendapat SPI dari Kemendag. Yeka bilang sebagian besar mengerucut ke tiga pengusaha. Perusahaan yang masuk kelompok pengusaha itu selalu mendapat kuota penuh atau sesuai pengajuan. Mereka adalah Tjie Kok Soestrisno, Bang Bang Santoso, dan Lim Hidayat. Untuk nama yang pertama, dia memiliki dua perusahaan yang mendapat SPI, yakni atas nama PT Kolin Makmur Jaya dan PT Seluas Lautan Indonesia. Perusahaan itu mendapat jatah impor sebanyak 11.977 ton.

Adapun Lim Hidayat melalui korporasinya bernama PT Setia Maju Sejahtera Abadi memperoleh jatah impor sebanyak 4.872 ton. Sedangkan yang terbanyak adalah perusahaan milik Bang Bang Santoso lewat tiga perusahaan: PT Haniori, PT Haniori Maju Bersama dan PT Bawang Putri Nusantara. Ketiga perusahaan Santoso itu diganjar jatah impor mencapai 16.327 juta ton.

Yeka menekankan Kemendag juga menjadi subjek investigasi selain Kementan dalam dugaan maladminsitrasi impor bawang. Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag diduga tidak menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan. Importir yang melapor, kata Yeka, juga dipermainkan oleh oknum tertentu di Kemendag, sehingga pelaksanaannya tidak sesuai dengan prosedur, melainkan diatur oleh oknum. Bahkan ditemukan pula dugaan pungli yang diminta pejabat Kemendag kepada importir sebagai pelicin penerbitan SPI. Pungli yang dipatok beriksar Rp4.500/kg hingga Rp5.000/kg.

“Potensi maladministrasinya adalah pengabaian kewajiban hukum oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri,” kata Yeka.

Adapun secara garis besar, terdapat 15 importir bawang putih terbesar yang mendapat jatah pada 2023 lalu. Detailnya terdapat 11 importir yang memperoleh kuota impor sebanyak 6.989 ton. Mereka adalah: Gemilang Langgeng Berseri; Haniori, Andalan Gemilang Makmur; Kolin Makmur Jaya; Setinggi Gunung Masindo; Adisa Bersama Bahagia; Berkah Ewako Investama; Semanggi Berdaun Empat; Gunung Mas Indo; Gangsar Berkah Bersama; dan Boga Sentosa Cerah. Sisanya mendapat jatah dengan nilai variatif, semisal Hijrah Produktif Indonesia dan Trading Sakti Asia yang mendapat jatah 6.960 ton, Jaya Lestari Tani (6.931 ton) dan Pandawa Tani Mandiri (6.902 ton).

Pakar pertanian dari IPB, Dwi Andreas mewanti-wanti ada yang janggal dari kebijakan impor bawang putih. Sebab, jika yang jadi target pemerintah adalah swasembada pangan seperti bawang, maka seharusnya yang digenjot kebijakan progresif bagi petani sebagai ujung tombak. Namun, yang terjadi sebaliknya. “Petani bawang mati (sulit bertani dan menjual), itu kenapa? Penyebab utamanya karena membuka keran impor besar-besaran,” kata Andreas kepada Law-justice, Kamis.

Andreas menganalisa bahwa kebijakan impor bawang putih merupakan cara instan pemerintah untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Pemerintah juga dinilai berpikir ekonomis lantaran harga bawang putih impor jauh lebih rendah dibanding biaya produksi. Akan tetapi, cara ini mematikan hidup petani. “Mati lah petani bawang putih sehingga sekarang 100 persen bawang putih terpenuhi dari impor. (Pernah) di 2007, (ada gagasan) swasembada bawang putih, tapi yang ada gagal total, malah impornya naik. Dari 500 ribu ton jadi 600 ribu ton,” ujarnya.

Menurutnya, penetapan kuota impor sah-sah saja dalam hal untuk melindungi produk pangan tertentu. Semisal bawang putih yang impornya dipatok 70 persen saja, sisanya diproduksi dalam negeri. Namun, pemerintah tidak mencoba cara produksi secara nasional dengan memberdayakan petani dan intervensi soal infrastruktur hingga lahan.

Sementara gagasan swasembada bawang putih dipinggirkan, para korporasi meraup cuan yang sebenarnya bisa didapat pemerintah dan petani. Andreas mengatakan terdapat selisih margin yang cukup besar dari harga bawang putih impor. “Bawang putih masuk ke pelabuhan Indonesia itu hanya 8 ribu, dijual berapa di pasar, kan 30-40 ribu. Meski ada ongkos transportasi, (tapi) keuntungan (importir) yang didapat luar biasa. Akibatnya, harga bawang putih bergejolak (karena impor),” tuturnya. 

Selain komoditas bawang putih, Indonesia juga sedang menggarap impor beras. Badan Pangan Nasional (Bapanas) menargetkan realisasi 2,5 juta ton beras sebelum bulan Mei 2024, atau sebelum masa panen raya. Bapanas mengklaim impor perlu dilakukan lantaran adanya defisit beras yang diperkirakan mencapai 2,8 juta ton pada Januari-Februari 2024.

Andreas berkata dalih pemerintah ambil opsi impor lantaran adanya krisis iklim (efek badai el nino) yang berdampak pada pergesaran musim tanam dan masa panen. Namun, terlepas dari masalah iklim, pemerintah dinilai bersikap pasrah tanpa kebijakan inovasi yang menekan produksi dalam negeri demi menghindari opsi impor.

“Di 3 tahun terakhir, di tahun 2020 sampai 2022, itu kan La Nina iklimnya--kemarau basah. Biasanya terjadi peningkatan produksi yang relatif tajam untuk beras. Tapi kenyataannya pada 2020 hanya 0,09 persen, 2021 minus 2,24 persen, 2022 naik 0,6 persen. Padahal sepanjang sejarah produksi padi 20 tahun terakhir, kalau ada la nina pasti terjadi kenaikan produksi yang tajam. Itu paling rendah di tahun 2007, peningkatan produksinya 4,7 persen,” kata Andreas.

Menurutnya, stok beras impor sudah lebih dari cukup menekan defisit. Sebab, jumlah impor beras sebanyak 1,6 juta ton pada Oktober 2023. Belum lagi, ada  kuota impor tahun 2022 yang masuk di pengujung 2023 sebanyak 300 ribu ton. Sehingga, menjadi tanda tanya besar kenapa impor terus digenjot. “Persoalannya nanti harga beras meningkat. Karena terus terang namanya impor ini untungnya besar, jadi rebutan. Untung bagi pengimpor yang bisa dibagi ke siapa saja,” katanya.  

Sama dengan komoditas bawang putih, nasib petani padi pun sengsara akibat gempuran impor. Pangkal masalahnya, kata Andreas, berkutat pada HPP gabah dan beras yang terlalu rendah. “Untuk gabah, beberapa tahun belakangan kan Rp4,200.Ssedangkan usaha tani sudah 4,567 saat 2019. Lalu di September 2022, biaya produksi gabah kering panen Rp5,567, sementara HPP masih Rp4,200,” katanya.

“Sehingga petani terus mengalami kerugian selama ini. Ketika iklim sangat baik, produksi padi sama sekali tidak meningkat, padahal biasanya produksi tetap baik. Itu penyebabnya karena realitas petani kita semakin rugi menanam padi. Biaya usaha tanam padi sudah jauh lebih tinggi dibanding HPP pemerintah,” ia menambahkan.

 

Catatan redaksi: Tulisan ini merupakan bagian dari artikel bertajuk "Mafia Cuan Impor Pangan, Siapa Saja Yang Menikmati?". Tulisan dimuat terpisah untuk penekanan pada konteks dan narasumber tertentu.

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar