Menyoal Tambang Ilegal Timah Bangka, Kongkalikong Swasta hingga BUMN

Minggu, 14/01/2024 17:30 WIB
Bappeda, Potensi Bijih Timah di Belitung Timur, Capai Rp100 Triliun (foto: bisnis.com)

Bappeda, Potensi Bijih Timah di Belitung Timur, Capai Rp100 Triliun (foto: bisnis.com)

Jakarta, law-justice.co - Kejaksaan Agung (Kejagung) memulai penyidikan kasus dugaan korupsi di BUMN PT Timah Tbk sejak 12 Oktober 2023 lalu. Sejak saat itu, dilakukan sejumlah penggeledahan di beberapa tempat untuk mencari barang bukti kasus yang menurut taksiran awal Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) merugikan keuangan negara Rp2,5 triliun per tahunnya. Praktik lancung ini terkait penambangan ilegal sejumlah korporasi swasta di lahan konsesi milik PT Timah yang berada di Provinsi Bangka Belitung. Diduga korporasi pelat merah tersebut sengaja memberi akses menambang dan hal semacam ini telah terjadi dalam kurun waktu 2015-2022

Penyidik Kejagung mengawali penggeledahan di beberapa rumah yang berlokasi di Kabupaten Bangka Selatan. Sejumlah rumah itu diduga milik pimpinan perusahaan swasta penambang ilegal. Hasilnya, ditemukan barang bukti elektornik dan beberapa dokumen yang dianggap cukup memperkuat pidana korupsi dalam kasus ini.

Berselang dua bulan kemudian, tepatnya awal Desember 2023, penyidik kembali menyita barang bukti dari hasil penggeledahan di banyak korporasi yang terlibat. Mulai dari 65 keping emas logam mulia dengan total berat 1.062 gram, uang tunai senilai Rp76,4 miliar, uang sebanyak US$ 1,5 juta lebih dan 400 ribu lebih dollar Singapura. Barbuk sebanyak itu didapat dari kantor berinisial PT SB, CV VIP, PT SIP, PT TIN, CV BS, dan CV MAL. Penyidik juga menggeledah sebanyak tiga rumah saksi dalam kasus ini atas inisal A dan TW.

Dalam penggeledahan teranyar pada 20-22 Desember 2023 lalu, penyidik menyisir barang bukti di sejumlah perusahaan, salah satunya berinisial PT RBT. Jika bicara tambang timah di Bangka Belitung, inisial korporasi itu merujuk pada Refined Bangka Tin yang dulu milik Tomy Winata. Melalui holding perusahaannya Artha Graha Network, PT RBT telah memiliki IUP selepas tahun 2007 dengan cakupan 2.000 ton timah tiap bulannya. Perusahaan tersebut sempat tutup setelah Tomy Winata melepas entitas binis RBT pada 2016, sebelum akhirnya aktif kembali dengan kepemilikan pihak lain dan kini mengantongi IUP hingga 2023 di lahan seluas 150 hektare.  

Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana mengatakan kasus ini semacam kasus tambang nikel ilegal yang melibatkan BUMN Antam dan swasta di Blok Mandiodo, Sulawesi Tenggara. Sebab, selain membiarkan penambangan ilegal di konsesi lahan milik negara, hasil tambang ilegal itu pun masuk ke PT Timah. “Hasil dari tambang timah yang dibeli kembali secara ilegal oleh PT Timah yang itu menimbulkan kerugian negara. Ada kongkalikong antara keduanya (PT Timah dan swasta),” kata Ketut saat ditemui, Selasa (9/1/2024).

Kendati sudah ditemukan adanya indikasi kongkalikong, akan tetapi hingga kini Kejagung belum menetapkan tersangka walau sedikitnya sudah puluhan saksi dipanggil penyidik—mulai dari jajaran PT Timah dan sejumlah korporasi swasta. Teranyar pada Kamis (11/1), ada 4 saksi yang diperiksa, salah satunya manager di PT Menara Cipta Mulia. “Biarkan penyidik bekerja, kami akan segera rilis (kalau ada tersangka),” kata Ketut.

Merujuk riset Babel Resources Institute (BRiNST), Menara Cipta Mulia menjadi satu dari sembilan perusahaan yang diberi akses penambangan dan kuota ekspor di lahan PT Timah. Adapun delapan perusahaan lain adalah; Mitra Stania Prima-Aega Prima; Mitra Sukses Globalindo; BBTS; Bangka Serumpun; Rajawali Rimba Perkasa; Sinar Mutiara Sejahtera Synergy Maju Bersama; dan Venus Inti Perkasa. Untuk nama terakhir yang disebut tercatat sudah lebih dari sekali dimintai keterangan oleh penyidik.

Dari data yang diolah BRiNST dari kementerian, IUP yang dimiliki PT Timah mencapai 472 ribu hektare, sedangkan yang diberikan ke swasta sekira 20 ribuan hektare. Dari ribuan hektare itu, Menara Cipta Mulia mendapat paling banyak hingga 2,6 ribu hektare. Meski IUP terbilang lebih kecil, tetapi volume ekspor sembilan perusahaan tersebut melebihi perusahaan negara. PT Timah selaku pemilik konsesi terbesar di Indonesia hanya mengekspor 8.307 MT timah. Terpaut sangat jauh dari kapasitas smelter swasta yang mengekspor 23.570 MT pada semester pertama 2023.

Direktur BRiNST, Teddy Marbinanda, menduga Kementerian ESDM juga terlibat dalam pemberian IUP kepada swasta. Sehingga tercatat dalam data kementerian bahwa sembilan perusahaan itu menambang seolah secara legal. Oleh karena itu, secara otomatis Kementerian ESDM pun terlibat dalam persetujuan RKAB yang diajukan perusahaan, termasuk merestui besaran volume ekspor. Teddy bilang bahwa dari sekian luas IUP yang diberikan ke swasta, rupanya tidak terkandung banyak deposit timah. Sehingga ada dugaan manipulasi dalam isi RKAB yang disetujui kementerian.

“Jadi terjadi up (ketidaksesuaian) terhadap potensi atau data eksplorasi yang sebenarnya dari pusat harus dilakukan verifikasi,” kata Teddy dalam sebuah webinar pada Oktober 2023.

Teddy lantas merasa ada kejanggalan soal sumber timah yang dihasilkan sembilan perusahaan itu lantaran dapat memproduksi timah dan mengeskpornya secara masif dengan jumlah konsesi yang sedikit dan minim deposit. Semisal Venus Inti Perkasa yang punya IUP 400 hektare, tapi mampu mengekspor 3.168 MT.

Dia menduga IUP yang dijatahkan hanya sekadar formalitas demi legalitas, sementara target eksploitasi penambangan berada di lahan lain. Sehingga meragukan adanya aktivitas tambang yang dilakukan swasta. Hal ini merujuk pada penelusuran bahwa tidak ada aktivitas tambang yang berarti, baik aktivitas tambang melalui kapal isap produksi atau Cutter Suction Dredge di lahan konsesi sembilan perusahaan

“Kalau pun on shore atau penambangan di darat, itu skalanya juga sedikit 1-2 ton. Diduga mendapat bijih timah di luar IUP yang mereka miliki yang kemudian berakibat pada penjarahan terhadap IUP PT Timah,” ujar Teddy.

Dia mewanti-wanti datangnya pasokan bijih timah juga bisa berasal dari pengepul atau kolektor yang statusnya di luar PT Timah maupun pihak swasta. Dugaan semacam ini beralasan karena sejak dulu ada relasi kuat antara smelter dan pengepul yang didominasi pertambangan rakyat maupun kolektor—yang statusnya juga penambang ilegal. Relasi hitam seperti ini yang menurut Teddy sengaja dibiarkan. Jika di waktu dulu korporasi menambang ilegal tanpa tedeng aling-aling, kini mereka memiliki tameng berupa RKAB yang manipulatif.

Teddy menekankan penambangan ilegal yang dibekali RKAB masif terjadi karena segelintir pihak merasa untung dengan efek ekonominya. “Karena pada dasarnya sering ada anggapan selama sudah bayar royalti. Padahal tidak terhadap IUP yang dijarah, ini kan ada PNBP dan iuran tambang (yang semestinya masuk ke negara, tapi tidak),” ujar dia.

Mendengar adanya IUP yang dimiliki swasta di lahan konsesi PT Timah, Muh. Jamil menegaskan itu jelas melanggar hukum. Karena, menurut Kepala Divisi Hukum Jatam ini tidak mungkin secara aturan membolehkan munculnya IUP di atas IUP dalam satu lahan yang sama. “Itu sudah korupsi kewenangan,” kata Jamil kepada Law-justice, Kamis (11/1).

Senada dengan Teddy, Jamil menekankan keluarnya IUP sebagai cara untuk mengaburkan aktivitas tambang ilegal. Dari situ seolah legal karena korporasi bisa dipunguti PNBP hingga royalti. “Di situ permainannya, biasanya sumber daya tambang ini dicuci dari surat keterangan asal pertambangan yang seolah menambang dari lahan yang berizin,” tutur Jamil.

Lagi-lagi yang mesti disoroti adalah peranan Kementerian ESDM, dalam hal ini menterinya. Kata Jamil, RKAB yang memuat IUP dan volume ekspor menjadi kewenangan dari seorang menteri sebagai penentu akhir keputusan. Isi RKAB yang seharusnya disetujui berdasarkan sejumlah kelayakan semisal ketaatan dalam mementingkan lingkungan—itu dapat direkayasa. “Cara-cara bermain bisa lewat cara transaksional yang sarat korupsi, suap dan sebagainya,” ujar Jamil.

Menyoroti peranan PT Timah, Jamil sepakat dengan dugaan Kejagung terkait hasil tambang ilegal mengalir ke perusahaan negara. Sejauh ini, PT Timah dinilai sulit tidak terlibat dalam pusaran kasus sebagai pelaku lantaran ada kepentingan materi yang diincar. “Jangan-jangan ada hitungan bisnisnya. Mereka membiarkan ada penambangan ilegal dan setelah diolah mereka membeli dengan harga murah. Setelah itu mereka jual dengan harga yang mahal,” kata Jamil.

“Itu kan kejahatannya (PT Timah) double. Pertama membiarkan terjadinya tindak pidana di konsesi mereka, enggak dilaporkan. Kedua, terlibat dalam mufakat jahat yang berfungsi sebagai penadah dari hasil tindak pidana kejahatan tambang ilegal,” imbuhnya.

Yang perlu difokuskan Kejagung, kata dia, menelusuri apakah dugaan PT Timah menampung hasil tambang ilegal sebagai keputusan korporasi atau murni permainan segelintir internal perusahaan. “(Tapi) PT Timah enggak mungkin enggak tau ada penambangan ilegal di lahan konsesinya,” ucap Jamil.

Belakangan, Kejagung memperkirakan kerugian negara dari kasus korupsi SDA ini melebihi dari kasus korupsi Asabri yang ‘hanya’ puluhan triliun. Sebab, kerugian negara berpotensi mencapai ratusan triliun yang berasal tidak hanya dari kerugian akibat pencurian SDA timah, tetapi juga menghitung kerugian negara dari kerusakan lingkungan. “Bisa ratusan (triliun). Lagi dihitung oleh BPKP kerugiannya,” ujar Ketut.

Dikonfirmasi, Jubir BPKP, Gumawan Wibisono mengamini diberi tugas untuk mengaudit kerugian negara akibat tambang ilegal ini. “Tim teknis saat ini masih dalam proses penghitungan,” kata Gumawan. Meski begitu, dia enggan menjawab parameter hitungan kerugian negara akibat kerusakan lingkungan.

Jamil bilang kerugian negara akibat tambang ilegal cukup besar karena nantinya negara yang bertugas memulihkan lingkungan. Bicara soal kerusakan lingkungan akibat tambang timah terbagi dalam dua lingkup, yakni kerusakan di darat dan laut. Kerusakan di daratan masih bisa diakali semisal meminimalisir potensi daratan menjadi lautan karena lubang tambang. Tetapi, kata Jamil, kerusakan sebenarnya dari aktivitas tambang terjadi di laut. “Misal biota laut yang sudah tercemar bisa saja ke tempat lain atau ditangkap nelayan dan dijual lalu dimakan, itu kan banyak logam beratnya (membahayakan kesahatan),” kata dia.

Adapun bicara soal tersangka, Teddy saat dihubungi Law-justice sempat bilang akan ada penetapan tersangka dalam 1-2 minggu ke depan. Hal itu yang menjadi alasan dirinya enggan berkomentar lebih lanjut soal kasus. Dia menyarankan untuk mengutip kajian dan webinar BRiNST yang telah dirilis beberapa waktu lalu. Perlu diketahui, pengusutan Kejagung soal korupsi di PT Timah ini mulai dilakukan setelah ramainya riset dari BRiNST. Teddy sempat bilang, riset lembaganya mendahului pengusutan yang dilakukan penyidik Kejagung. Kami sudah menanyakan ke Kejagung soal kabar adanya penetapan tersangka, tetapi hingga kini belum mendapat balasan.

 

Catatan redaksi: Tulisan ini merupakan bagian dari artikel bertajuk "Gangsir Timah, Modus Lawas Rampok Kekayaan Negara". Tulisan dimuat terpisah untuk penekanan konteks dan narasumber tertentu.

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar