Sobirin Malian, Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan

Praktik Ketidakadilan Tata Hukum Internasional Sampai Kapan?

Sabtu, 13/01/2024 13:18 WIB
Aksi Bela Palestina dari Koalisi Indonesia Bela Baitul Maqdis (KIBBM) di lapangan Masjid Al-Azhar, Jakarta, Ahad (15/10/2023).

Aksi Bela Palestina dari Koalisi Indonesia Bela Baitul Maqdis (KIBBM) di lapangan Masjid Al-Azhar, Jakarta, Ahad (15/10/2023).

Jakarta, law-justice.co - Perang Gaza, di Palestina, makin mengerikan dan miris. Jumlah korban tewas warga sipil telah mencapai 21.110 jiwa. Dalam update terbaru Al-Jazeera (per 5 Januari 2024), sebanyak 55.243 orang dilaporkan terluka.

Sementara warga hilang sebanyak 7.000 orang. Sementara itu, Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (OHCHR) memverifikasi total 9.614 kematian warga sipil selama invasi Rusia ke Ukraina pada September 2023. Ada 17.535 orang dilaporkan terluka.

Namun, OHCHR menetapkan bahwa angka sebenarnya mungkin lebih tinggi. Yang menjadi pertanyaan mengapa hukum internasional tak mampu mencegah peperangan itu. Mengapa PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) seperti tidak punya taring terhadap Israel ?

Philip C. Jessup, seorang yuris asal Amerika Serikat yang dikenal akan kiprahnya sebagai hakim pada Mahkamah Internasional dan aktif sejak tahun 1961 dan pensiun tahun 1970, pernah menyatakan, “Law is indeed a human neccesity”.

Mengapa dia menyatakan hukum sangat penting, karena hukum sebagai suatu sistem pengendalian sosial yang implementasinya dapat dipaksakan secara teratur, memungkinkan penggunaan potensi-potensi manusia dapat diarahkan secara kreatif bagi kesejahteraan manusia itu sendiri. Tanpa hukum, sebagai sistem pengendali sosial yang efektif, potensi-potensi itu dapat mengarah kepada perilaku destruktif yang akan menghancurkan manusia.

Bahkan dengan narasi yang sangat memprihatinkan, Jessup, mengatakan, “is the only species that chooses its own kind as its preferred prey”...bahwa manusia dengan nafsunya bisa saling mangsa, saling menghancurkan (Anatomy of The Law, 1972, hlm.9).

Atas dasar itulah maka, seharusnya manusia (pemimpin dunia khususnya) dalam suasana perang memiliki nurani untuk mencegah kehancuran itu melalui penyelesaian hukum. Seperti dikatakan Lon Fuller_seorang yuris dari Harvard University”, memang hanya dalam suasana tertib saja manusia dapat menjalani kehidupannya secara wajar.

Untuk itu, kata Lon Fuller, diperlukan tata hukum sebagai suatu sistem pengendali sosial yang mampu menjamin terwujudnya ketertiban yang adil. Jadi, hukum itu bukan hanya dibutuhkan tetapi sekaligus menguasai hidup manusia. Akan tetapi jujur dikatakan Jessup bahwa, “No system of law springs into existence full-panoplied” (tidak ada hukum yang hadir benar-benar secara utuh).

Hukum itu tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat (Peter L.Berger,1963:6). Kendatipun hukum itu dibutuhkan oleh manusia, tidak jarang terhadap tata hukum yang berlaku dalam kenyataan sering timbul ketidakpuasan. Hukum sering bersifat hegemoni, hanya dikuasai oleh negara (orang) kuat yang memiliki sumber daya politik dan ekonomi yang kemudian menyimpangi hukum itu.

Fenomena itu kini terjadi dalam konteks perang Rusia-Ukrania dan Israel-Palestina. PBB sebagai lembagai tertinggi dunia seolah mandul tak berdaya, karena tata hukumnya dikuasai dan dikendalikan oleh Amerika Serikat yang nota bene pendukung utama Israel. Kendatipun ada Resolusi PBB yang mendukung segera dilakukan gencatan senjata, semua itu tak berguna.

Melansir Al Jazeera, hasil pemungutan suara menunjukkan sebanyak 153 dari 193 negara peserta sidang menyatakan setuju dengan adanya gencatan senjata di Gaza, Palestina. Angka ini meningkat dari voting Oktober 2023 lalu yang sebanyak 120 negara, resolusi tinggal resolusi tak mampu mencegah penghentian perang. Tata hukum seperti keprihatinan Jessup, akhirnya hanya mendukung kepentingan golongan (negara) tertentu saja, dalam hal ini Israel, Amerika dan sekutunya.

Naifnya, hukum humaniter paling brutal yang dilanggar oleh Israel, padahal HAM internasional modern mencakup juga hukum humaniter, yang berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap manusia baik dalam keadaan damai maupun perang.

Atas ketidakadilan tata hukum internasional itu, selayaknya kini, tata hukum internasional dibenahi kembali agar lebih setara, lebih adil dan menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh umat.

Persoalannya dari mana penataan itu harus dimulai? Tampaknya, semua organisasi negara seperti ASEAN, organisasi negara Afrika (African Union), Liga Arab, Negara-negara Amerika Latin (AOS) harus mengambil inisiatif penyelesaian secara menyeluruh. Seluruh organisasi negara di dunia harus duduk bersama menyamakan visi dan misi kembali guna mewujudkan tata hukum yang lebih berkeadilan.

Tentu hal mendesak yang harus diprioritas adalah penyelesaian perang Israel-Palestina dan Rusia-Ukraina guna mencegah eskalasi yang lebih luas dan memakan korban yang lebih banyak. Hukum internasional sejauh ini memang tidak memiliki institusi penegak hukum sebagaimana yang dimiliki oleh hukum nasional sebuah negara.

Oleh karenanya, penegakan atas pelanggaran hukum diserahkan kepada negara-negara dalam bentuk reaksi atau respons secara mandiri maupun kolektif melalui organisasi regional atau PBB. Tuntutan Afrika Selatan Terbaru, Afrika Selatan menuntut Israel untuk diadili di Mahkamah Internasional dengan tuntutan bahwa Israel telah melakukan genocida terhapa penduduk Gaza khususnya dan negara Palestina umumnya.

Tuntutan Afrika Selatan itu segera direspon oleh ICJ. Mahkamah Internasional (ICJ) pada Kamis (11/1) mulai mendengarkan tuntutan yang diajukan oleh Afrika Selatan terhadap Israel yang melakukan genosida terhadap warga Palestina dalam perangnya di Gaza. Tentu keberanian dan inisiatif Afrika Selatan ini patut diapresiasi.

Afrika Selatan telah mengajukan kasus ini dengan dasar Konvensi Genosida 1948, dan mengklaim bahwa Israel telah membunuh secara genocida warga Palestina di Gaza.

Efek penyerangan Israel yang membabi buta (menyerang apa saja, rumah sakit, masjid, sekolah, ambulan, wartawan dll) telah menyebabkan mereka mengalami penderitaan fisik dan mental yang serius, dan memberikan “kondisi kehidupan yang diperkirakan akan mengakibatkan kehancuran fisik” pada mereka, maka Israel harus bertanggung jawab atas kasus genosida tersebut.

Dunia internasional tentunya menunggu keseriusan ICJ, apakah lembaga itu masih memiliki wibawa, kehormatan dan mampu menyelesaikan3 kasus tersebut di tengah ketidakadilan tata hukum dibawah PBB saat ini.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar