Nawaitu Redaksi

Benang Merah Pelemahan KPK, Ternyata Aktornya Sang Penguasa

Sabtu, 09/12/2023 08:13 WIB
Penampakan Patung Jokowi di Karo Sumatera Utara. (Istimewa).

Penampakan Patung Jokowi di Karo Sumatera Utara. (Istimewa).

Jakarta, law-justice.co - Pengakuan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo soal Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta KPK untuk menghentikan kasus korupsi e-KTP yang menyeret nama mantan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov), masih menjadi perhatian media massa.

Pengakuan mantan Ketua KPK menjadi menarik karena disampaikan menjelang pemilu 2024 yang sebentar lagi akan tiba. Pernyataan itu juga menghebohkan karena langsung menusuk kredibilitas presiden yang sekarang berkuasa. Seolah olah pernyataan Agus Rahadjo itu mengkonfirmasi siapa penyebab terpuruknya KPK saat ini yang sudah mencapai titik nadirnya.

Mengapa pernyataan Agus Rahardjo itu kemudian memantik pro-kontra di tengah masyarakat kita ?.  Apa kaitan antara pernyataan Agus Rahardjo itu dengan opini publik yang selama ini memang menilai adanya upaya sistematis untuk melemahkan KPK ?, Bagaimana sebaiknya tindaklanjut dari dari pengakuan Agus Rahardjo itu agar jelas duduk perkaranya ?

Menimbulkan Pro- Kontra

Pengakuan Agus Rahardjo yang bikin heboh jagad penegakan hukum di Indonesia itu seperti biasa menimbulkan pro dan kontra. Ada yang mendukung pengakuannya, tapi ada juga yang mempertanyakannya.

Ternyata pengakuan Agus Rahardjo itu dibenarkan juga oleh koleganya Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Ya, Pak Agus pernah bercerita kejadian itu ke pimpinan,” ujar Alex seperti dikutip oleh media Jumat (1/12/2023).

Alex membenarkan bahwa Jokowi saat itu meminta pengusutan kasus e-KTP dihentikan segera. Tetapi, kata Alex, permintaan itu ditolak karena Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) sudah diteken pimpinan KPK.“Ditolak karena Sprindik sudah terbit dan KPK tidak bisa menghentikan penyidikan. KPK juga sudah mengumumkan tersangka,” begitu katanya.

Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Mantan Penyidik Senior KPK, Novel Baswedan yang mengaku pernah mendengar adanya kabar tersebut saat masih berdinas di KPK.“Iya saya memang pernah dengar cerita itu, saya saat itu ada di Singapura, sedang berobat,” kata Novel seperti dikutip media, Jumat (1/12/2023).

Keyakinan bahwa pengakuan Agus Rahadjo adalah benar adanya juga disampaikan oleh koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) yakni Agus Sunaryanto dalam sebuah pernyataannya. "Apa yang sudah di sampaikan oleh pak Agus Rahardjo, meskipun sudah di bantah oleh pemerintah, tapi hal itu mengagetkan sekali buat saya, kalo saya sih punya keyakinan itu bener terjadi," kata Agus Sunaryanto dikutip kilat.com dari YouTube KompasTV, Sabtu 2 Desember 2023.

Sementara itu, meskipun mengamini pengakuan Agus Rahardjo, namun Abraham Samad mantan ketua KPK , menyesalkan pengakuan Agus Rahadjo itu telat disampaikannya .Andai saja pengakuan Agus Rahadjo itu diungkap lebih awal, Abraham Samad yakin bisa berdampak pada revisi Undang Undang KPK.

“Jika Agus saat itu menyampaikan peristiwa tersebut (lebih awal), tentunya masyarakat akan dapat melihat adanya korelasi antara undang-undang baru dengan upaya melemahkan posisi KPK,” terang Abraham Samad seperti dikutip media Jumat 1 Desember 2023.

Berlandasakan pada pengakuan Agus Rahardjo itu pada akhirnya peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Saksi) Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah sampai pada kesimpulan bahwa pengakuan tersebut mengkonfirmasi adanya operasi pelemahan KPK lahir dari mereka yang kini berkuasa. "Presiden yang harusnya jadi panglima pemberantasan korupsi, justru paling depan membunuh KPK. Ini kan paradoks," cetusnya, Jumat (1/12/23) seperti dikutip media.

Banyak yang memberikan dukungan, tetapi pengakuan Agus Rahardjo itu banyak juga yang menyanggahnya.  Kepala Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) Golkar Nusron Wahid adalah salah satu diantaranya.

 “Begini, yang namanya pengakuan sepihak butuh bukti. Pak Agus Raharjo, kita sangat hormat sama beliau. Tapi namanya pengakuan itu nggak boleh sepihak. Makanya alat hukum itu baru bisa menjadi bukti konkrit kalau dua alat bukti. Kalau hanya sepihak enggak mungkin,” kata Nusron di sela Rakornas TPN PrabowoGibran di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Jumat (1/12/2023).

Sementara itu  Politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Cheryl Tanzil malah mengkritik pengakuan Agus Rahardjo terkait dirinya yang dimarahi Presiden Jokowi agar mau menghentikan kasus e-KTP yang menyeret eks ketua MPR, Setya Novanto.

Cheryl Tanzil mempertanyakan mengapa Agus Rahardjo baru membuka peristiwa tersebut sekarang yang bertepatan dengan momentum pemilu yang sebentar lagi akan tiba. Cheryl Tanzil pun menduga bahwa Agus Rahardjo sengaja mencari sensasi karena mantan ketua KPK itu hendak maju menjadi calon legislatif (caleg).Dalam akun Twitter pribadinya, Cheryl Tanzil menerangkan bahwa jika berita tersebut benar adanya maka Agus Rahardjo sebaiknya langsung terus terang saat dia masih menjabat ketua KPK.

Sementara itu, Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad meminta agar seluruh pihak berprasangka baik."Yang disampaikan beliau itu tidak ada yang mendengar dari pihak lain. kita berprasangka baik aja. Jangan sampai masyarakat mempercayai kalau ada statement orang lain kalau si A begini, saksinya kan enggak ada. kasihan masyarakat," kata Dasco kepada wartawan di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Jumat (1/12/23).

Bantahan secara resmi disampaikan oleh pihak istana melalui Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, yang menyebut momen pertemuan Jokowi dan Agus tidak masuk agenda presiden. "Setelah dicek, pertemuan yang diperbincangkan tersebut tidak ada dalam agenda Presiden," kata Ari dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Jumat (1/12/2023).

Namun kalau dikaitkan dengan pengakuan Agus Rahardjo, bantahan pihak istana ini terasa janggal dan terkesan formal prosedural jawabannya. Karena bukankah seperti pengakuan Agus sendiri bahwa ia dipanggil sendirian tanpa melibatkan 4 komisioner KPK lainnya ?. Dan kemudian dia dipanggilnya bukan lewat ruang wartawan tapi lewat masjid kecil,” tutur Agus dalam program Rosi, dikutip dari YouTube Kompas TV, Jumat (1/12/2023).

Proses pemanggilan yang tidak melibatkan 4 komisioner lainnya dan dipanggilnya lewat jalan yang tidak biasa, mengindikasikan bahwa pemanggilan itu dilakukan secara tidak resmi alias diam diam karena memang Agus Rahardjolah komisioner KPK yang mengeluarkan sprindik kasus e-KTP yang melibatkan petinggi negara. Sehingga wajar kalau kemudian pemanggilan itu tidak masuk agenda resmi istana.

Benang Merah

Pengakuan Agus Raharjo, meskipun dibantah oleh pihak istana namun sebenarnya pengakuan itu bisa dibaca sebagai bagian dari rentetan sistematis pelemahan dan penghancuran KPK yang  secara konsisten telah dilakukan oleh Jokowi selama berkuasa.

Masih ingatkah kita ketika baru setahun berkuasa, tepatnya di tahun 2015 yang lalu, telah terjadi kriminalisasi para pimpinan KPK (Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan puluhan penyidiknya) dan anehnya Presiden Jokowi waktu itu mendiamkan saja.

Dua tahun kemudian tepatnya tahun 2017, KPK yang sudah mulai limbung itu kembali di obok obok kinerjanya. Saat itu terjadi penyerangan terhadap Novel Baswedan penyidik senior KPK  dan munculnya Angket KPK oleh DPR yang sangat erat kaitannya dengan Kasus korupsi E-KTP yang diduga melibatkan beberapa elit bangsa.

Dua tahun kemudian tepatnya pada pada 2019, KPK kembali “dianiaya” dengan diangkatnya Panitia Seleksi Pimpinan KPK bermasalah yang sejak awal dikritik keras oleh masyarakat sipil dimana melalui Pansel ini pula akhirnya terpilih sosok Firli Bahuri, Lili Pintauli dan calon-calon Pimpinan KPK yang bermasalah lainnya.

Pada tahun 2019 itu pula Presiden Jokowi menyetujui Revisi UU KPK yang banyak di demo oleh ribuan massa. Pembahasan Revisi UU KPK yang sangat kilat hanya berlangsung 12 hari , bersifat tertutup, bahkan tidak melibatkan KPK sebagai pelaksana UU ini menimbulkan banyak tanda tanya. Pada akhirnya melalui Paripurna pada tanggal 17 September 2019, refisi UU KPK disahkan menggantikan UU KPK yang lama. Gelombang Aksi besar (#ReformasiDikorupsi) penolakan dari segenap elemen masyarakat sipil tidak digubres oleh penguasa.

Saat itu revisi UU KPK ditolak para pendemo antara lain karena  secara formil revisi UU KPK  dinilai tidak melalui proses perencanaan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2019 dan diragukan naskah akademiknya.

Revisi UU KPK juga dinilai melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan dimana sekurang kurangnya ada enam asas yang dilanggar, salah satunya revisi UU KPK menghasilkan kontradiksi pada pasal-pasalnya.

Pembahasan revisi UU KPK juga tidak partisipatif dan tertutup sifatnya. Sementara dalam proses pengesahanya dinilai sidang paripurna DPR tidak kuorum dalam pengambilan keputusan terkait UU KPK. Pada hal UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menyebut bahwa sidang parpurna DPR hanya dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorumnya.

Cacat cacat formil dalam pembahasan revisi UU KPK semakin lengkap dengan adanya cacat materiil yang mengarah pada upaya pelemahan KPK. Namun cacat cacat formil maupun materiil ini diabaikan semuanya dan revisi UU KPK tetap dijalankan sesuai kehendak penguasa. Bahkan orang orang KPK sendiri yang berusaha untuk melakukan pembelaan diserang oleh para buzzer penguasa dengan mengatakan bahwa KPK saat itu telah menjadi sarang Taliban dan sebagainya.

Selanjutnya sebagai tindaklanjut disahkannya revisi UU KPK yang baru, pada 2021 terjadi pemberhentian illegal 75 lebih Pegawai KPK berintegritas dengan dalih tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan  (TWK). Pada hal tes TWK itu disinyalir hanya untuk untuk menyingkirkan Para Pegawai yang Jujur, berani, dan berintegritas dalam menjalankan tugasnya.

Ditahun 2021 pula muncul skandal diantaranya terkait Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3) untuk Sjamsul dan Itjih Nursalim pada kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).Kemudian, terkait pencurian barang bukti berupa emas seberat 1,9 kilogram oleh pegawai KPK berinisial IGAS yang diungkap KPK secara lengkap pada Jumat (9/4/21).

Selanjutnya, mengenai gagalnya penggeledahan kasus suap pajak di Kalimantan Selatan yang dilakukan di hari yang sama. KPK melaporkan barang bukti sudah dibawa kabur menggunakan truk karena rencana penggeledahan diduga sudah bocor sebelum penyidik KPK datang ke lokasi tempat kejadian perkara (TPK). Dan yang terakhir, terkait penyuapan penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju sebesar Rp1,5 miliar dari Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial.

Pada tahun 2022,salah seorang komisioner KPK yaitu  Lili Pintauli dinilai telah melanggar etik dan menerima gratifikasi namun tidak dipecat dari posisinya. Setahun kemudian tepatnya pada tahun  2023 terjadi perpanjangan masa jabatan KPK yang dianggap menyalahi ketentuan yang ada. Di tahun 2023 ini pula terjadi peristiwa memilukan dimana Ketua KPK Firli Bahuri ditetapkan menjadi Tersangka. Maka lengkaplah sudah proses pelemahan KPK secara sistematis yang diduga dijalankan oleh mereka yang saat ini berkuasa.

Dengan demikian upaya pelemahan KPK selain sudah berlangsung lama juga telah dilakukan secara sistematis dari dalam maupun dari luar kelembagaan KPK. Dari luar, KPK dilemahkan dari tiga unsur kekuasaan, baik eksekutif, legislatif hingga yudikatif seperti pengurangan alokasi anggaran KPK yang dinilai minim, hingga pelucutan kewenangan KPK dengan pembentukan dewan pengawas melalui Undang-undang (UU) No. 19 Tahun 2019 tentang KPK dan sebagainya.

Sementara itu dari dalam KPK juga digerogoti melalui kinerja orang orangnya yang sudah banyak yang putus urat malunya. Sebagai contoh Ketua KPK sendiri Firli Bahuri yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Sebelumnya diantara pegawai yang ada dibawahnya juga bermasalah dalam menjalankan peran dan fungsinya. Hingga saat ini KPK terkesan  tidak sungguh-sungguh mengembalikan integritas mereka.

Dari rangkaian kejadian kejadian sebagaimana disebutkan diatas maka munculnya pengakuan dari Agus Rahardjo sebenarnya bisa dibaca sebagai bagian dari agenda sistematis untuk melemahkan KPK. Sebuah upaya pelemahan yang sengaja dilakukan oleh penguasa untuk mengamankan kekuasaannya.

Harus Bagaimana ?

Akibat upaya pelemahan yang dilakukan terus menerus itu, pada akhirnya di tahun 2022, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia terjun bebas ke tingkat yang bikin kita semua mengelus dada. IPK kita berada pada angka 34 menurut katadata, 2/2/23. ,Angka ini membuat Indonesia terpuruk no.6 di Asean, bahkan di bawah Vietnam (42) dan Timor Leste (42) atau Malaysia (47) dan Singapura (83).

Skor IPK 34 adalah merupakan rekor terendah Indonesia sejak tahun 2015. Diperkirakan skor itu akan turun lagi di tahun 2023 ini seiring dengan adanya berbagai kasus korupsi besar terjadi sepanjang tahun, seperti kasus pencucian uang Rp. 349 Triliun di Bea Cukai, kasus korupsi BTS Kominfo sebesar 80% dari anggarannya, atau Rp 8 Triliun, korupsi jalan Tol Pangeran MBZ  dan sebagainya.

Agar supaya nasib pemberantasan korupsi di Indonesia tidak semakin terpuruk maka harus ada upaya serius untuk menyelamatkannya.  Seperti diberitakan, kabarnya Komisi III DPR RI akan memanggil mantan Ketua KPK Agus Rahardjo ke Komisi III. "DPR sebaiknya panggil mantan Ketua KPK Agus Rahardjo atau Pak Agus datang ke DPR menerangkan lebih rinci pernyataannya ini," ujar anggota Komisi III DPR RI Benny Kabur Harman dalam keterangannya, Jumat (1/12/23).

Namun, pemanggilan terhadap eks Ketua KPK itu diharapkan tidak hanya menjadi gimik belaka. Setelah pemanggilan jangan sampai kemudian masalahnya malah menjadi kabur karena tidak jelas kemana arah penyelesaiannya.

Semestinya terhadap mereka yang diduga bersalah harus diproses hukum sesuai dengan perbuatannya.  Dengan adanya pengakuan dari Agus Rahardjo seyogyanya pengusutan kasus E-KTP maka semestinya segera ditindaklanjuti penyelesaiannya. Karena adanya temuan baru dimana diduga Jokowi dan gengnya ikut terlibat didalamnya.

Sekurangnya kurangnya dugaan Jokowi terlibat sebagai pelaku tindak pidana Obstruction Of Justice atau menghalang halangi penyelidikan dan penyidikan atas perkara yang ditangani oleh KPK. Sesuai buyi Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan bahwa obstruction of justice ialah tindakan setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap terangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.

Selanjutnya  kepada MPR/DPR semestinya segera menetapkan Presiden Jokowi sebagai pelaku perbuatan tercela karena sebagai seorang kepala negara dan pemerintahan, perbuatan tersebut dapat mengarah pada pelanggaran Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam pasal tersebut berbunyi “Melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”

Karena dinilai telah melakukan perbuatan tercela maka DPR/MPR bisa meminta keputusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai dengan ketentuan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memakzulkan Jokowi dari kursi kekuasaannya.

Pada sisi lain, harus diakui saat ini KPK sedang sakit sehingga harus disembuhkan segera. KPK yang semula independent kini dengan adanya revisi UU KPK telah berubah posisi menjadi berada dibawah ketiak penguasa. Oleh karena itu independensi KPK harus dikembalikan ke tempat semula. Karena penegakan hukum kasus korupsi harus bebas dari pengaruh politik untuk memastikan bahwa semua individu, tidak peduli posisi atau kekuasaan mereka, diperlakukan sama di mata hukum termasuk penguasa.

Pengakuan Agus Rahardjo harusnya dijadikan titik tolak untuk refleksi mendalam tentang kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia. Kita harus memahami bahwa upaya pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab lembaga seperti KPK, tetapi juga seluruh elemen masyarakat, termasuk pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil dan juga media.

Semua pihak harus bekerja sama dalam semangat transparansi dan akuntabilitas untuk menciptakan lingkungan yang bersih dari korupsi demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara.Kita harus terus berupaya memperkuat lembaga anti-korupsi, memperbaiki sistem peradilan, dan membangun budaya transparansi dan akuntabilitas di semua sektor yang ada. Karena pemberantasan korupsi adalah kunci untuk membangun negara yang adil dan sejahtera.

Dengan memperkuat lembaga seperti KPK dan memastikan bahwa mereka dapat beroperasi tanpa tekanan politik atau intervensi, kita dapat mengambil langkah besar menuju Indonesia yang lebih baik ke depannya.

Dalam kaitan ini peran seorang Presiden sesungguhnya sangat dibutuhkan komitmen dan political willnya untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Karena ibarat sungai yang kotor, membersihkannya harus dari hulu bukan dari muara.

Kalau hulunya bersih, maka yang dihilir atau yang di muara akan mengikutinya. Kalau Presiden punya tekad kuat memberantas korupsi maka aparatur yang dibawahnya akan mengikutinya dan rakyat akan mendukungnya. Tetapi kalau presidennya justru menjadi penghalang pemberantasan korupsi di Indonesia, silahkan menebak sendiri apa jadinya negara kita.

Yang jelas kalau kasus pengakuan Agus Rahardjo itu kemudian menguap atau berlalu begitu saja maka publik akan menyimpulkan bahwa pengakuan Agus itu benar adanya. Soalnya pengakuan Agus Rajardjo itu bisa bernilai  fitnah kalau ternyata tidak ada buktinya. Sudah tahu kalau itu fitnah tapi kemudian presiden mendiamkannya maka tahu sendiri kan apa maknanya ?. Tahu sendiri kan siapa biang keladi pelemahan KPK ?

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar