Sidang Gugatan Warga Wadas pada Pemerintah Jokowi Digelar di Sleman

Jum'at, 01/12/2023 10:13 WIB
Bentrok Aparat dan Warga Desa Wadas (Dok.Polres Purworejo)

Bentrok Aparat dan Warga Desa Wadas (Dok.Polres Purworejo)

Jakarta, law-justice.co - Beberapa waktu lalu, sejumlah masyarakat Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah melayangkan gugatan kepada pemerintah Joko Widodo  (Jokowi) atas tudingan perbuatan melawan hukum terkait aktivitas penambangan batu andesit di desa para penggugat.

Sidang perdana perkara perdata ini digelar di Pengadilan Negeri Sleman, DIY, Kamis (30/11).

Warga Wadas yang menggugat adalah Priyanggodo, Talabudin, Kadir, dan M. Nawaf Syarif. Dalam perkara ini, keempatnya didampingi oleh 12 pengacara yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBHAP), Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Mereka menempuh jalur hukum lantaran menilai pemerintah bersikukuh menetapkan lokasi tambang batu andesit di Desa Wadas yang menyebabkan para penggugat kehilangan tanah dan terancam bencana akibat proses penambangan itu.

Adapun pihak pemerintah yang digugat meliputi Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO), Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo, Presiden Republik Indonesia, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dan Gubernur Jawa Tengah.

"Gugatan PMH (perbuatan melawan hukum) ini ditujukan mulai dari yang diberikan kewenangan pengelolaan, kemudian Kementerian PU, presiden termasuk di dalam yang kami gugat," kata Ketua LBHAP PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo ditemui usai sidang yang dipimpin hakim ketua Asni Meriyenti seperti melansir cnnindonesia.com.

Trisno menuturkan warga Wadas meminta agar mereka tidak menjadi bagian dari proyek yang dilaksanakan di desa mereka. Kliennya menolak lingkungan mereka dirusak dengan mengatasnamakan kepentingan proyek strategis nasional (PSN).

Trisno menegaskan tambang bukanlah bagian dari PSN sehingga tidak bisa diberlakukan dengan menggunakan UU Pengadaan Tanah.

"Tuntutannya tentu mereka tetap tidak menginginkan dilaksanakannya suatu pengambilan batu andesit yang ada di sana untuk proyek bendungan (Bendungan Bener), mengingat proyek bendungan ini kan berbeda dengan tanah mereka. Karena tanah mereka ini kan bukan proyek strategis nasional, itu prinsip dasar yang kami ajukan dalam gugatan," paparnya.

Trisno berharap pihak pemerintah bisa memahami posisi warga sehingga materi gugatan bisa didiskusikan dalam agenda mediasi.

"Mediasi itu mungkin artinya apa yang kami minta tidak dilaksanakannya (penambangan) di tanah-tanah milik klien kami maka bisa saja mediasi," ucapnya.

"Tapi kalau tidak ya bisa saja mediasi tidak mencapai kata sepakat tapi secara prinsip di kasus perdata itu bisa dilakukan komunikasi, konsultasi yang ada dalam proses mediasi yang ada. Kalau itu memang sesuai dengan apa yang dituju klien kami itu, itu nggak ada persoalan. Bisa saja kita terima," sambungnya.

Tim LBHAP dalam materi gugatan menyatakan bahwa berdasarkan UU No.12/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi pembangunan untuk Kepentingan Umum, pengadaan tanah untuk tambang bukan termasuk kepentingan untuk umum.

Di samping itu masa penetapan lokasi tambang yang dikeluarkan Gubernur Jawa Tengah sejak 2018 dan sempat diperpanjang hingga tiga kali dianggap melanggar hukum. Ini mengacu UU No.12 tahun 2012, di mana perpanjangan hanya bisa dilakukan sekali saja.

"Dengan demikian para Tergugat telah terbukti melawan hukum," tulis tim LBHAP dalam gugatannya.

Tim pembela warga Wadas meminta majelis hakim agar menerima dan mengabulkan seluruh gugatan. Selain itu menyatakan perbuatan Kepala BBWSSO dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo dalam proses pengadaan tanah sebagai perbuatan melawan hukum, meminta kepada seluruh tergugat untuk menghentikan proses pengadaan tanah dan memindahkan lokasi tambang andesit dari Wadas.

Serta memberikan ganti rugi kepada para penggugat baik material dan im-material dengan total Rp53,8 miliar.

Kadir, salah satu penggugat mengatakan bahwa aktivitas penambangan di desanya telah memicu kerusakan lingkungan dan menyebabkan bencana seperti banjir, tanah longsor.

Dia membeberkan, akses pembukaan jalan ke lokasi tambang di Wadas sudah menyebabkan beberapa kali banjir dan air menjadi keruh. Belum lagi konflik sosial yang tercipta karenanya.

Kadir membeberkan, harmoni sosial di Wadas sudah rusak karena warga terbelah antara yang pro dan kontra tambang.

"Kondisi ini menyebabkan warga Wadas tidak bisa hidup sejahtera lahir dan batin di desanya," ujar Kadir.

Priyan Susyie, seorang perempuan dari Wadas (Wadon Wadas) mendukung langkah suaminya, Priyanggodo untuk melakukan gugatan karena ia tak mau tanahnya dirampas oleh negara. Dia ingin mempertahankan tanahnya agar bisa diwariskan kepada anak-cucu.

"Saya punya hak atas tanah saya dan akan kami perjuangkan sampai kapanpun," tegasnya.

Dalam keterangan resmi yang dibagikan Solidaritas Wadas, pada tahun 2018, Gubernur Jawa Tengah waktu itu, Ganjar Pranowo yang kini menjadi capres menetapkan lokasi pertambangan batu andesit di Desa Wadas.

Ganjar kembali mengeluarkan Izin Penetapan Lokasi (IPL) baru beberapa pekan jelang lengser dari kursi kepala daerah. Batu andesit ini akan digunakan sebagai material pembangunan Bendungan Bener di Purworejo yang berstatus sebagai PSN.

Warga Wadas yang tergabung dalam Gempa Dewa (Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas) sejak awal sudah menolak lokasi tambang di Wadas karena mengancam pekerjaan warga sebagai petani.

Aktivitas tambang di perbukitan bagian atas dinilai berpotensi memicu bencana seperti banjir, tanah longsor, dan hilangnya sumber air.

Dengan kondisi yang telah disuarakan itu, pemerintah tetap tak bergeming dan terus memaksa warga menyerahkan tanahnya untuk areal tambang seluas 114 hektar.

Warga menuding pemerintah telah melakukan aksi kekerasan fisik, ancaman, teror konsinyasi, dan rayuan ganti rugi demi meruntuhkan pendirian warga.

Empat warga yang melakukan gugatan ini adalah sedikit dari warga Wadas yang masih konsisten menolak tambang andesit dan menyerahkan tanahnya.

Sementara itu Kasi Perdata Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Nilla Aldriani, yang mewakili Balai Besar Wilayah Serayu Opak (BBWSO) Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengatakan pihaknya masih menanti apa saja yang diajukan oleh pihak penggugat beserta tahap mediasinya.

"Kalau memang sama-sama sepakat berarti kan selesai bikin akta perdamaian. Tapi kalau tidak sepakat mungkin bisa dilanjutkan ke persidangan selanjutnya," kata Nilla.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar