Nawaitu Redaksi

Ketika Sebenarnya Jokowi yang Menjadi Cawapresnya Prabowo

Sabtu, 18/11/2023 12:16 WIB
Dinasti Politik Jokowi. (www.democrazy.id).

Dinasti Politik Jokowi. (www.democrazy.id).

Jakarta, law-justice.co - Keinginan Jokowi untuk terus berkuasa nampaknya memang sudah dipersiapkan begitu lama. Sambil menjalankan tugasnya sebagai presiden republik Indonesia, diam diam ia telah merancang jalan supaya tetap berkuasa meskipun kesempatan berkuasa untuk dua periode sudah berakhir nantinya.

Langkah langkah politiknya untuk tetap berkuasa itu tersusun begitu rapi dan nyaris sempurna, tidak terendus oleh orang awam pada umumnya. Orkestrasi pelanggengan kekuasaan diramu sedemikian rupa seolah olah berjalan alami tanpa cela. Tetapi baunya sebenarnya sudah menyengat sejak lama. Hanya orang orang tertentu saja yang bisa mencium aromanya karena memang perlu hidung tajam untuk bisa mengendusnya.

Semuanya dilakukan karena keengganannya untuk menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada anak anak bangsa yang bukan berasal dari keluarga atau golongannya. Sejauh ini banyak peristiwa peristiwa politik yang terjadi mengarah pada upaya pelanggengan kekuasaannya.

Setelah gagal mengupayakan jalan menuju presiden tiga periode dan perpanjangan masa jabatanya, ia tak habis akal untuk terus berusaha bisa berkuasa. Hal ini terlihat dari serangkaian peristiwa besar yang terjadi dalam dunia perpolitikan di Indonesia.

Hampir semua peristiwa besar tersebut nampaknya tidak berlangsung begitu saja melainkan by design alias ada yang mendalanginya. Peristiwa peristiwa itu diantaranya adalah adanya partai politik yang digoyang eksistensinya, Ketua Umum Partai Politik yang disandera dengan kasus yang menjeratnya, berbondong bondongnya relawan Jokowi dan Gibran mendukung Prabowo Subianto yang dulu menjadi rivalnya, dikabulkannya gugatan batas usia Capres dan Cawapres oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sampai dengan penggantian Panglima TNI ke Jenderal Agus Subiyanto dalam waktu yang sangat singkat prosesnya.

Sementara itu mereka mereka yang tidak sejalan dengan agenda politik penguasa akan dipersoalkan secara hukum untuk mendapatkan ganjaran sesuai dengan perbuatannya.

Mengobok obok Parpol

Salah satu partai politik yang di obok obok di era pemerintahan Jokowi adalah partai demokrat yang saat ini berada dibawah kendali Agus Harimurti Yudhoyono. Jika PDI pernah terpecah di akhir era Orde Baru, maka Partai Demokrat juga sempat mengalami kejadian yang hampir serupa. Partai yang identik dengan sosok Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono itu terpecah menjadi dua. Demokrat pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono dan Demokrat kubu Deli Serdang yang memilih Moeldoko sebagai ketua umumnya.

Meskipun pengajuan pengesahan KLB Deli Serdang yang mengamanatkan Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko sebagai ketua umum itu akhirnya ditolak oleh Kementerian Hukum dan HAM pada Rabu (31/3/2021), namun upaya mengobok-obok partai demokrat bisa dibaca sebagai bagian dari grand design penguasa untuk mengambil alih kepemimpinan partai itu agar merapat ke penguasa.

Sejauh ini konflik dualisme kepengurusan partai di era pemerintahan Jokowi selalu dimenangkan oleh kepengurusan partai yang merapat ke pemerintah yang sedang berkuasa seperti yang terjadi pada Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Berkarya. Ketiganya dimenangkan oleh kubu yang mendukung pemerintah yang sedang berkuasa.

Partai Demokrat adalah satu-satunya contoh sengketa partai yang tidak dimenangkan oleh pendukung Jokowi, dalam hal ini Moeldoko yang notabene orang istana. Kalau pada akhirnya partai Demokrat merapat ke koalisi yang di dukung oleh penguasa yaitu koalisi Indonesia Maju yang mencalonkan Prabowo dan Gibran anak Jokowi maka hal ini bisa dibaca sebagai bonus yang tidak diduga duga karena partai demokrat merapat ke kubu capres dan cawapres yang didukung istana tanpa harus dipaksa paksa.

Kartu Truf di Pegang Penguasa

Di duga banyak ketua umum partai yang tersangkut kasus hukum sehingga hal ini dijadikan sarana bagi penguasa untuk menyandera mereka. Sebagai contoh apa yang terjadi pada partai Golkar yang berada dibawah pimpinan Airlangga Hartarto sebagai Ketumnya. Beberapa waktu yang lalu fungsionaris Partai Golkar pada akhirnya lebih memilih mengikuti arahan Jokowi demi menyelamatkan Partai Golkar di Pileg 2024 mendatang.

Hal ini menyusul dipanggilnya Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto oleh Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi terkait izin minyak sawit mentah (CPO). Politik sandera kasus hukum pada akhirnya telah membuat ciut partai Golkar sehingga tunduk pada kehendak penguasa.

Fenomena yang sama diduga juga terjadi pada Ketua Umum Partai Amanah Nasional Zulkifli Hasan yang sempat dipanggil oleh  Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) pada Kamis, 16 Januari 2020 terkait dengan  kasus suap pengajuan revisi alih fungsi hutan menjadi lahan sawit di Riau pada 2014. Namun kasus ini kemudian berhenti begitu saja tanpa jelas tindaklanjutnya. Demikian pula kasus impor gula pada oktober 2023 yang diduga melibatkan Zulkifli Hasan,kasusnya tiba tiba mandek begitu saja begitu dua partai ini mendukung Koalisi Indonesia Maju yang didukung oleh penguasa.

Saat ini memang borok borok ketua Umum Parpol itu di duga memang sedang ada dikantong penguasa untuk menyandera mereka. Fenomena ini juga dikisahkan oleh Hasto Kristiyanto Sekjend PDIP yang mengaku mendapat cerita pengakuan ketua umum partai politik yang merasa kartu truf-yang dipegang terkait pencalonan Gibran Rakabuming sebagai bakal cawapres Prabowo Subianto.

"Indonesia negeri spiritual. Di sini moralitas, nilai kebenaran, kesetiaan sangat dikedepankan. Apa yang terjadi dengan seluruh mata rantai pencalonan Mas Gibran, sebenarnya adalah political disobidience terhadap konstitusi dan rakyat Indonesia," kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam keterangan tertulisnya, Minggu (29/10/23).Hasto menyinggung soal tekanan kekuasaan hingga kartu truf ketua umum partai politik menyangkut pencalonan Gibran Rakabuming Raka. 

Relawan Jokowi-Gibran Kompak Dukung Prabowo

Menjelang pemilu 2024,  relawan Jokowi dan Gibran berbondong bondong menjadi pendukung Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka. Fenomena ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi pada Pilpres 2014 dan 2019. Ketika itu para relawan Jokowi bergemuruh mendukung PDIP dan capres yang dijagokannya.

Merapatnya para relawan Jokowi dan Gibran ke Prabowo tentu saja atas arahan Jokowi yang mempunyai agenda politik demi menjaga kepentingannya pasca ia tidak lagi berkuasa. Dalam hal ini Jokowi lebih percaya kepada Prabowo daripada Ganjar Pranowo yang sudah berada dibawah kendali Megawati bukan dirinya.

Diantara relawan Jokowi yang merapat ke Prabowo adalah Barisan Rakyat Jokowi Presiden (Bara JP), alap alat Jokowi, Jokowi maniak (Joman), Samawi, Pro Jokowi (Projo) dan sebagainya. Tak Ketinggalan relawan Gibran juga bahu membahu ikut mendukung Prabowo sebagai Capres dan Gibran sendiri sebagai cawapresnya.

Prahara Putusan MK soal Batas Usia Capres-Cawapres

Putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan kepala daerah bisa menjadi capres-cawapres, meski belum berusia 40 tahun tidak hanya menuai sorotan negatif dari publik tetapi juga dari internal MK.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat lantang menyatakan Indonesia sedang tidak baik-baik saja lantaran ada kekuasaan yang terpusat di tangan-tangan tertentu sebagai pengendalinya. Hal yang sama juga disampaikan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra.

Kalau yang mengkritik Keputusan MK itu orang luar, maka kita bisa mengatakan karena kita tidak puas dengan putusan dan lain sebagainya, tapi kalau yang mengkritik itu orang dalam, dan dua orang dalam itu yang satu pernah menduduki Ketua MK Arief Hidayat dan sekarang Wakil Ketua MK Saldi Isra, maka itu adalah hal yang sangat-sangat luar biasa.

Adanya fenomena tersebut mengindikan bahwa kondisi MK memang tidak sedang baik baik saja. Lembaga itu kini diduga telah diperalat oleh penguasa untuk memuluskan pencalonan anak presiden menjadi calon wakil presiden republik Indonesia. Aneka argumentasi untuk membantah bisa bisa saja disajikan namun publik tentu bisa menilainya sendiri pesan dibalik keputusan MK yang sarat aroma rekayasanya.

Mengatrol Agus Subiyanto Sebagai Panglima TNI

Presiden Jokowi sengaja melantik Jenderal Agus Subiyanto menjadi Kepala Staf Angkatan Darat atau KSAD hanya demi memenuhi syarat untuk menjadi Panglima TNI menggantikan Laksamana TNI Yudo Margono yang sebenarnya baru memasuki masa pensiun pada 26 November 2023.

Pergantian Panglima TNI yang terkesan cepat dan mendadak itu tentu saja menimbulkan tanda tanya, ada apa. Seperti diketahui, Jenderal Agus Subiyanto baru saja mendapatkan promosi kenaikan pangkat menjadi jenderal bintang 4 berdasarkan Keputusan Presiden No 90/TNI/Tahun 2023. Ia baru saja dilantik sebagai KSAD pada 25 Oktober lalu menggantikan Jenderal Dudung Abdurachman yang memasuki masa pensiunnya. Namun tiba tiba saja ia langsung dipromosikan untuk menjabat sebagai Panglima TNI, suatu peristiwa yang tidak biasa.

Rentang waktu yang hanya seminggu antara pelantikan sebagai KSAD dan pengusulan menjadi calon tunggal Panglima TNI mencerminkan kondisi terburu-buru dan tidak seharusnya terjadi pada pergantian jabatan strategis di lembaga pertahanan negara.

Patut diduga, proses kilat tersebut nyata-nyata mengabaikan ketentuan Pasal 13 Ayat (3) UU TNI yang berbunyi, ‘Pengangkatan dan pemberhentian Panglima dilakukan berdasarkan kepentingan organisasi TNI”. Semestinya kondisi-kondisi yang berkaitan dengan pergantian Kepala Staf Angkatan, Panglima TNI, serta usia pensiun para Jenderal yang menjabat tertata dalam sebuah sistem sesuai dengan ketentuan yang ada.

Sehingga bisa dikatakan bahwa proses kilat menuju jabatan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto berpotensi menjadi preseden tidak baik bagi profesionalitas proses pemilihan Panglima TNI ke depannya. 

Rentang waktu satu minggu menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan jelas bukan waktu yang ideal untuk menjabat, serta berdampak tidak memiliki capaian apapun selama ia menduduki jabatannya. Dalam hal ini patut dipertanyakan fungsi pengawasan DPR berkaitan dengan akuntabilitas proses pemilihan Panglima TNI yang terkesan politis sifatnya karena hal ini bisa kontraproduktif dengan upaya membangun profesionalitas proses pemilihan Panglima TNI ke depannya.

Tetapi kalau kekuasaan sudah menghendaki agar Agus Subiyanto menjadi Panglima TNI, siapa yang bisa mencegahnya ? Apalagi dengan embel embel bahwa pengangkatan Panglima TNI adalah hak prerogatifnya. Maka semua hanya bisa menyaksikan dan mengelus dada.

Dari serangkaian peristiwa tersebut diatas tentu ada benang merahnya, untuk apa dan karena apa terjadi peristiwa peristiwa tersebut sehingga peristiwa itu bukan sekadar kebetulan belaka. Jika ditarik benang merahnya maka semuanya akan bermuara pada keinginan penguasa untuk terus menjadi penguasa kalau bisa selama lamanya.

Semuanya membuktikan adanya intervensi alias cawe cawe penguasa dalam pemilu 2024 yang sebentar lagi akan tiba. Cawe cawe yang dilakukan secara telanjang  dan begitu gamblang karena semuanya begitu terbuka.

Kritik dan hujatan atas adanya cawe cawe presiden dalam Pilpres mendatang yang disuarakan oleh berbagai elemen bangsa nampaknya hanya dianggap sebagai angin lalu saja. Tidak digubres dan sepertinya dianggap sebagai tidak ada. Upaya untuk menjalankan agenda melanggengkan kekuasaan terus dilakukan dengan gagah perkasa meskipun melanggar hukum dan etika.

Munculnya sebutan pengkhianat dan pembangkangan yang dialamatkan kepada Jokowi,anak dan menantunya dianggap angin lalu saja. Sikap tidak mau mundur dari PDIP dan tidak mau mengembalikan kartu anggota (KTA PDI Perjuangan) yang dinilai sebagai sikap yang tidak beradab, tidak membuatnya insyaf untuk kemudian menyadari kekeliruannya.

Begitu juga serangan serangan yang dilancarkan oleh elite partai PDIP yang dulu menjadi penyokong utama waktu menjadi walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta dan Presiden Republik Indonesia dianggap sepi saja.

Sementara itu tangis pilu Menteri Basuk Hadi Mulyono, surat Cinta Gunawan Muhammad dan Abdillah Thoha sampai puisi menyentil Gus Mus, argumentasi Romo Beny dan keraguan Ahok dianggap sebagai nyanyian alam yang tidak perlu di dengar apalagi dipedulikan oleh penguasa.

Maka lengkaplah sudah segala persiapan, perlengkapan dan penataan untuk menyongsong Pilpres 2024 yang bakal diikuti oleh sang putra mahkota anak penguasa. Sang ayah telah mengatur semuanya untuk mengkondisikan kemenangannya. Menempatkah orang orang dan partai sesuai dengan bidangnya agar semua bisa bergerak sesuai rencana. Apalagi sudah disokong dengan dana besar untuk memuluskan semua agenda.

Kini bayangan kemenangan sudah terlihat nyata di depan mata tinggal menunggu waktu saja. Apakah masyarakat tidak bisa melihat ini semua sebagai bagian dari upaya untuk melanggengkan kekuasaan pemerintah yang sekarang berkuasa ?. Bahwasanya niat dan agenda untuk terus berkuasa itu sebenarnya telah disiapkan begitu lama ?.

Alhasil kalau saat ini anak Jokowi,  Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapresnya Prabowo maka sebenarnya sang anak hanyalah sebagai boneka alias sebagai wayang belaka. Yang menjadi cawapres sebenarnya adalah Jokowi itu sendiri yang tidak ingin kepentingan politik dan keamanan dirinya terancam pasca tidak lagi nangkring di istana.Wajar kalau nantinya Jokowi akan mengerahkan segala sumberdaya yang dimiliki termasuk kekuasaannya untuk memenangkan anaknya yang notabene identikdengan dirinya.

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar