Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif, Lembaga Kajian Eksekutif Perspektif (LKSP) Jakarta

Membiarkan Bekas Maling Jadi Penjaga di Kompleks Rumah Kita

Jum'at, 10/11/2023 17:18 WIB
Elektabilitas partai politik dalam survei (detikcom)

Elektabilitas partai politik dalam survei (detikcom)

Jakarta, law-justice.co - Masih ada parpol yang nekat, sampai penerbitan DCT (Daftar Calon Tetap) masih mencantumkan nama-nama mantan napi korupsi.

Ditampilkan di sini biar jelas dan gamblang. Untuk caleg tingkat pusat (DPR-RI) teridentifikasi oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) ada 27 nama. Untuk caleg DPRD ada 22 nama tapi tidak dicantumkan di sini. Dirilis oleh Databoks (katadata.co.id) pada 7 November 2023:

Untuk DPR-RI dari Partai Golkar: Teuku Muhammad Nurlif, Syahrasaddin, Wendy Melfa, Iqbal Wibisono, Nurdin Halid dan Bernard Sagrim.

Dari Partai Nasdem: Abdillah, Eep Hidayat, Dikdik Darmika, Sani Ariyanto dan Rahudman Harahap.

Dari Partai PKB: Susno Duadji, Huzrin Hood, Rino Lande dan Yansen Akun E.

Dari Partai Hanura: Sandi Suwardi dan Wa Ode Nurhayati.

Dari Partai Demokrat: Evy Susanti, Lukas Uwuratuw dan Thaib Armaiyn.

Dari Partai PDIP: Asep Ajidin, Mochtar Mohamad, Rokhmin Dahuri dan Al Amin Nasution.

Dari Partai Perindo: Hendra Karianga dan Soleman Sikirit.

Dari Partai PPP: Madini Farouq.

Dari Partai PKS, PBB dan Partai Buruh punya caleg mantan napi koruptor di tingkat DPRD saja.

Sehingga patut kita pertanyakan komitmen partai-partai ini terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Golkar, Nasdem, PKB, Hanura, Demokrat, PDIP, Perindo, PPP, PKS, PBB dan Partai Buruh memang menunjukan tak adanya komitmen yang tegas terhadap pemberantasan korupsi.

Bahkan untuk mengirimkan calon wakil rakyat saja mereka masih berupaya melakukan “pembenaran” (justifikasi) terhadap kelakuan para mantan napi korupsi.

Katanya, mereka kan sudah menjalani hukuman (penjara) sekian tahun dan sudah dipulihkan hak mereka sebagai warga negara. Sehingga sekarang mereka boleh dong ikut lagi sebagai calon anggota legislatif (caleg).

Persoalannya bukanlah pada status hukum formal belaka. Kita paham betul bahwa korupsi adalah bukan bentuk kejahatan yang biasa-biasa saja. Kita sudah sepakat tentang itu. Korupsi adalah extra-ordinary crime.

Kejahatan luar biasa, maka hukuman formal plus hukuman sosial (social punishment) dari masyarakat sebagai tambahannya adalah hal yang sepantasnya kita lakukan. Tujuannya agar ada efek jera dalam upaya pemberantasan korupsi secara total.

Bukan malah melakukan upaya pembenaran, dan membiarkan para mantan napi korupsi ini kembali berkeliaran dalam kontestasi wakil rakyat.

Para mantan napi korupsi ini berhak kembali berkarya di masyarakat, tapi jelas bukan sebagai wakil rakyat. Posisi terhormat yang harus diisi oleh mereka yang layak reputasinya.

Partai politik yang masih mencantumkan nama-nama itu dalam DCT sebagai calon anggota legislatif (Caleg) jelas tidak punya komitmen yang tegas terhadap upaya bangsa untuk memberantas korupsi. Itu jelas.

Kita pasti tidak mau mantan maling dan rampok menjadi penjaga di komplek rumah kita.

Akhirnya, maukah kita mempercayakan rumah dan anak-anak kita kepada mantan rampok dan maling? ***

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar