Nawaitu Redaksi

Penghianatan Hukum oleh MK, Dinasti Politik Jokowi Beraksi

Sabtu, 21/10/2023 13:36 WIB
Anak Mantu Bagian dari Dinasti Politik Presiden Jokowi. (global news)

Anak Mantu Bagian dari Dinasti Politik Presiden Jokowi. (global news)

Jakarta, law-justice.co - Hari hari terakhir ini publik disuguhi tontonan memuakkan dari aksi sirkus para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyetujui gugatan yang menjadi jalan mulus bagi putra JokowiGibran Rakabuming Raka untuk menjadi calon Wakil Presiden (Cawapres). Hakim MK walau tetap dengan syarat usia calon Wapres minimal 40 tahun, namun menambah embel-embel atau "pernah menjabat sebagai kepala daerah".

Akibatnya di tangan Hakim MK, hukum menjadi aksi akrobat politik yang bisa dipermainkan untuk mendukung kelanggengan kekuasaan dinasti politik Presiden Jokowi. Dengan putusan MK itu jalan Gibran menjadi Cawapres Prabowo Subianto semakin mulus.

Tak hanya Gibran, adiknya Kaesang juga beraksi politik. Kaesang Pangarep menghebohkan publik setelah mengumumkan diri bergabung dengan PSI (Partai Solidaritas Indonesia) dan kemudian didapuk menjadi Ketua Umum PSI dua hari sesudahnya.

Sebelumnya mantu Jokowi yaitu Bobby Nasution telah berhasil menduduki posisi jabatan sebagai Walikota Medan sehingga menjadi mantu kebanggaan mertua. Tidak mau kalah dengan anak anak Jokowi, adik Jokowi yang bernama Idayati juga berhasil menggaet seorang pejabat negara bernama Anwar Usman, Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) sebagai pasangan hidupnya. Anwar Usman sang adik ipar Jokowi saat ini berhasil menduduki posisinya sebagai ketua MK untuk periode keduanya.

Berkiprahnya anak, adik dan mantu Jokowi didunia politik telah memantik isu merebaknya praktek-praktek politik dinasti yang diamalkan oleh presiden ke tujuh Indonesia.Praktek praktek politik dinasti ini dirasakan semakin mengkhawatirkan karena potensi dampak buruk yang ditimbulkannya.

Apakah praktek dinasti politik ini memang sudah biasa terjadi dalam dunia politik baik di Indonesia maupun mancanegara ?, Apa bahaya yang timbul dengan adanya praktek politik dinasti di Indonesia ?, Mengapa MK justru melegalkannya ?. Lalu harus bagaimana menyikapinya ?

Praktek Dinasti Politik

Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih memiliki kaitan dalam hubungan keluarga. Politik dinasti lebih identik dengan kerajaan karena  kekuasaan diwariskan secara turun-temurun dari ayah kepada anak dan seterusnya, agar kekuasaan tetap berada di lingkaran keluarga.

Modus politik dinasti biasanya dilakukan penguasa dengan menempatkan orang-orang yang masih berhubungan darah, keturunan, atau kerabat sebagai pejabat publik karena pengaruh kekuasaannya. Penguasa juga menempatkan orang-orang kepercayaan untuk menduduki posisi penting di pemerintahan yang dipimpinnya. Mereka biasanya orang yang ikut berjasa dan berpeluh keringat saat perebutan kekuasaan untuk mendapatkan kursinya.

Dengan demikian politik dinasti mengandaikan kepemimpinan berada pada tangan segelintir orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan (keluarga). Dinasti politik ditandai dengan tersebarnya jejaring kekuasaan melalui trah politik pendahulunya dengan cara penunjukan anak, istri, paman, dan semacamnya untuk menduduki pos-pos strategis dalam partai atau lembaga politik lainnya.

Dengan memanfaatkan pengaruh dari keluarganya yang sudah terlebih dahulu berkuasa, sanak famili tersebut bisa dengan mudah meraih jabatan publik baik sebagai Gubernur/bupati/walikota. Atau bisa juga pejabat negara dilingkungan legislative,yudikatif dan posisi lainnya.

Praktik politik dinasti sepanjang era reformasi saat ini benar-benar semakin menggila. Praktek dinasti politik tidak saja dipamerkan oleh pimpinan negara yang sekarang sedang berkuasa tetapi juga oleh penguasa daerah di Indonesia.

Diantara mereka yang mempraktekkan politik dinasti adalah Ratu Atut Chosiyah yang berkuasa di Banten dalam waktu cukup lama. Ratu Atut dan keluarganya  begitu berkuasa di wilayahnya. Jabatan publik di lingkungan Pemprov Banten dan sekitarnya berada dalam kekuasaannya. Sejumlah proyek di lingkungan Pemprov Banten juga berada dalam kekuasaan Ratu Atut dan keluarganya.

Merajalelanya pratek dinasti politik yang dipamerkan oleh Ratu Atut dan keluarganya sempat menjadi berita yang menghebohkan Indonesia karena melibatkan banyak pejabat bahkan artis nasional ikut terseret namanya.

Selama menjabat sejak 2007 hingga 2017, Ratu Atut menempatkan kerabatnya di pemerintahan Banten—mulai dari wali kota Tangerang Selatan, wali kota Serang, wakil bupati Serang— hingga lembaga legislatif daerahnya.Ratu Atut sendiri terjerat dua kasus korupsi yang membuatnya mendekam sekitar tujuh tahun di penjara. Pada September 2022 lalu, dia dinyatakan bebas bersyarat sehingga bisa kembali ke rumahnya.

Sejujurnya, bukan hanya Ratu Atut yang telah membangun politik dinasti di Indonesia. Banyak elite di negeri ini yang telah melakoninya. Masih diwilayah Provinsi Banten, Kab. Lebak juga tidak luput dari praktek politik dinasti di era kepemimpinan Bupati Jaya Baya. Kepemimpinan ex Bupati Lebak yaitu Jaya Baya, sekarang diteruskan oleh anaknya yaitu Iti Jaya Baya.

Tak hanya di Banten, dinasti politik juga merebak di pulau Sumatera. Pada 2021, Bupati Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Dodi Reza Alex Noerdin ditetapkan sebagai tersangka. Dia adalah anak mantan Gubernur Sumatera Selatan Alex Nurdin yang sudah lengser dari jabatannya.Dodi divonis enam tahun penjara karena kasus korupsi yang menjeratnya. Ayahnya, Alex Noerdin, pun tersandung dua kasus korupsi dan divonis 12 tahun penjara.

Selain dua kasus itu, ada juga kasus korupsi mantan Wali Kota Cimahi Atty Suharti dan suaminya. Dari Jawa Tengah ada mantan Bupati Klaten Sri Hartini dan suaminya yang masuk penjara. Sementara dari bumi Kalimantan Timur ada mantan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani Hasan Rais dan anaknya yang ikut terjerat kasus korupsi ; dan beberapa kasus lainnya.

Fenomena dinasti politik ternyata tidak hanya terjadi di lingkungan eksekutif tetapi juga dicabang cabang kekuasaan lainnya. Di sejumlah jabatan di legislatif juga terjadi praktik politik dinasti. Indikatornya, sebagian anggota legislatif, mulai tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga pusat, memiliki kerabat dengan elite partai politik dan pejabat tertinggi di eksekutif sebagai induk semangnya.

Ternyata fenomena dinasti politik  bukan cuma terjadi di Indonesia saja tetapi juga di mancanegara. Di Filipina, Presiden Macapagal Aroyo juga mewarisi geneologi politik dari sang ayah Diosdado Pangan Macapagal yang menjadi Presiden Filipina ke-9 (1961-1965). Namun Arroyo menjadi Presiden bukan hanya karena faktor geneologi politik ayahnya (Diosdado Macapagal) semata.

Melajunya Arroyo menjadi Presiden Filipina telah melewati masa panjang dan melelahkan karena dia berkecimpung dalam politik sudah terbilang lama. Dia berpolitik mulai  dari bawah secara bertahap sampai akhirnya menjadi orang pertama di Filipina.

Di samping pernah menjadi Senator (1992-1998) Arroyo juga pernah menjadi wakil presiden mendapingi Joseph Estrada (1998) sebelum akhirnya ditunjuk sebagai anggota kabinet dengan jabatan Menteri Kesejahteraan Sosial dan Pembangunan.

Di Negara-negara yang telah mapan sistem politiknya seperti misalnya Amerika praktik dinasti politik ternyata juga muncul disana. Seperti diketahui, John F Kennedy yang pernah menjadi presiden ke 35 Amerika pada akhirnya melahirkan generasi keluarganya yang berkecimpung di ranah politik Amerika. Robert Kennedy dan Ted Kennedy adalah kakak beradik legendaris yang malang melintang di dunia politik Amerika. Robert Kennedy yang seorang politikus diketahui pernah menjabat sebagai Jaksa Agung dan menjadi penasihat presiden pada masa John menjabat, juga menjadi senator New York tahun 1964.

Sementara Ted Kennedy telah 9 tahun menjadi senator Massachussetts, merupakan senator ketiga di AS yang menjabat senator dalam waktu paling lama. Keluarga Kennedy memang seperti keluarga kerajaan, semua orang selalu mengikuti kehidupan mereka.

Saat ini Ted Kennedy mungkin merupakan representasi  generasi terakhir dari dinasti Kennedy di Amerika. Namun warisan mereka akan tetap hidup dengan banyak cara dan hampir dapat dipastikan bahwa trah politik Kennedy juga mempunyai peranan yang signifikan dalam percaturan politik Amerika.

Bahaya Politik Dinasti

Sebagian besar politikus yang berasal dari dinasti, memiliki jalur politik yang lebih mudah jalannya. Apalagi jika pada akhirnya mereka berada dalam partai yang sama.Jalannya benar-benar bagaikan jalan tol karena jejaring dari orang tuanya akan dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan politiknya meskipun seringkali memanfaatkan fasilitas negara.

Lalu mengapa dinasti politik ini mesti dipersoalkan, adakah bahayanya ?. Sekurang kurang inilah bahaya daripada praktek praktek dinasti politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pertama,Menutup Peluang bagi Warga Negara Yang Lebih Kompeten.Adanya dinasti politik akan menutup kesempatan bagi warga negara lain yang sebenarnya memiliki kemampuan yang jauh lebih baik namun tidak dapat menjabat karena tertutup dinasti dengan segala fasilitasnya. Peluang jabatan publik yang sebenarnya bisa di isi oleh kader  terbaik bangsa harus hilang karena ada anggota keluarga penguasa yang dengan segala keistimewaannya mengambil alih peluangnya.

Fenomena ini menurut Rizal Ramli sangat berbahaya karena karena nasib bangsa bisa dipermainkan oleh anak bawang yang tak berkualitas hanya karena ia di sokong oleh keluarga yang menjadi sponsornya.

Seolah olah ingin menyindir Jokowi yang memasang anaknya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Wapres mendampingi Prabowo yang di usung oleh Partai Gerindra, Rizal Ramli mengatakan :"Kok nasib rakyat dan bangsa dipermainkan dengan anak-anak bawang tidak berkualitas? KKN pula," tegas Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur itu seperti dikutip oleh media.

Kedua, Rusaknya Kaderisasi Partai karena Karpet Merah Yang Disediakan untuk Anggota Keluarga Penguasa.Selain manipulasi politik, adanya jaringan kekerabatan "sering mengabaikan" proses kaderisasi dan demokrasi di internal partainya .Disebabkan karena adanya banyak keistimewaan berupa jalur cepat untuk menduduki posisi penting dan strategis dalam struktur partai yang mereka peroleh tanpa melalui proses kaderisasi ataupun rekrutmen politik demokratis yang bermakna.

Sehingga, anggota keluarga dinasti yang telah memiliki modal, finansial, popularitas dipandang lebih potensial menang dalam pemilihan dibandingkan orang biasa. Hal tersebut didukung oleh sistem pemilu di Indonesia yang sangat fokus pada personal dibandingkan program yang ditawarkannya.

Kasus ini misalnya terjadi pada saat digelar pilkada Solo 2020. Dalam salah satu tv swasta, Panda Nababan sempat mengorek kembali sejarah pilkada Solo 2020. Setelah PDIP mengusung nama Achmad Purnomo-Teguh Prakosa, Jokowi kemudian bertemu dengan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri atau mbak Mega. Di sana ia mengatakan agar Megawati  memilih Gibran anaknya mengganti posisi Achmad Purnomo yang sudah dicalonkan sebagai walikota Solo sebelumnya.

Keputusan Mega memilih Gibran atas permintaan Jokowi tentu saja mengecewakan kader PDIP lain yang telah lama berdarah darah memperjuangkan partainya. Ujung -ujungnya akan menurunkan kepercayaan para pendukung partai pada partainya.

Ketiga, Bisa merusak iklim demokrasi.  Sebab praktik politik dinasti pada saatnya akan mengganggu proses checks and balances antar lembaga negara. Fungsi saling mengontrol pasti tidak bisa maksimal jika sejumlah jabatan publik dikuasai satu keluarga. Padahal, untuk menyemai nilai-nilai demokrasi, fungsi kontrol sangat penting untuk direalisasikan sebagaimana mestinya. Jika kontrol terhadap pemerintah lemah, akan terjadi berbagai penyimpangan dalam pelaksanaan pemerintahannya.

Sebagai contoh apa yang terjadi dalam Pemerintahan Presiden Jokowi saat ini dimana Jokowi yang merupakan pimpinan dalam cabang kekuasaan eksekutif, sementara cabang kekuasaan lainnya, yaitu yudikatif dalam hal ini Mahkamah Konstitusi (MK) diketuai oleh adik iparnya. Akibatnya MK bisa berpotensi untuk disetir oleh  Jokowi agar bisa memutus perkara sesuai kemauannya.

Tak bisa dipungkiri praktik politik dinasti dalam banyak kasus membahayakan demokrasi di Indonesia. Politik dinasti membuka ruang yang cukup menganga akan potensi menancapnya pengaruh politik untuk kepentingan keluarga.

Politik dinasti jelas bertentangan dengan budaya demokrasi yang sedang tumbuh di Indonesia. Sebab, politik dinasti pasti mengabaikan kompetensi dan rekam jejak calon pemimpin bangsa. Bahkan, politik dinasti bisa mengebiri peran masyarakat dalam menentukan pemimpinnya. Yang menyedihkan, politik dinasti sengaja dibingkai dalam konteks demokrasi agar seolah olah rakyat diberikan peran untuk memilih pemimpinnya.

Tetapi, jika diamati secara seksama, jelas sekali masyarakat tidak memiliki kebebasan menentukan pilihannya. Karena hampir semua calon anggota legislatif, calon kepala daerah, dan calon pejabat publik yang diajukan partai telah diskenario sedemikian rupa. Pemenangnya harus orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elite-penguasa. Jika tidak memiliki hubungan kekeluargaan, calon yang dimenangkan adalah mereka yang memberikan uang sebagai mahar jabatannya

Dalam praktik kenegaraan kondisi ini pada gilirannya membuat negara menjadi kaku dan otoriter sebab arah pemerintahan hanya bertumpu pada kepentingan keluarga dan kroni-kroninya. Di sisi lain politik dinasti semakin menjadi ancaman manakala seseorang yang menerima mandat kekuasaan dari keluarganya ternyata tidak mempunyai kompetensi yang semestinya

Ke empat, Menyuburkan Praktek Korupsi. Dinasti politik dapat menjadi pintu masuk terjadinya korupsi di Indonesia. Sebab, si pengganti yang masih kerabat akan cenderung menutupi kekurangan pendahulunya serta meneruskan kebiasaan yang telah dilakukan pemimpin sebelumnya.

Banyak penelitian menunjukkan dinasti politik berhubungan dengan korupsi. Pasalnya, butuh biaya besar untuk mewariskan basis politik dari orangtua ke anak atau kerabat lainnya. Untuk menutup biaya itu, jalan yang ditempuh sering kali dengan korupsi sebagai jalan pintasnya.

Demikianlah beberapa dampak negatif adanya politik dinasti yang perlu diwaspadai keberadaannya. Membiarkannya berarti melegalkan praktek praktek ini merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dilegalkan MK

Politik dinasti sering disebut sebut sebagai sebuah neo nepotisme gaya baru yang dipraktekkan oleh para pejabat kita. Praktek neo nepotisme baru atau politik dinasti ini diawal awal reformasi tercatat menjadi bagian dari agenda reformasi yang di usung oleh mahasiswa.

Semua terjadi gara garanya pada masa pemerintahan orde baru (orba), praktek nepotisme begitu merajalela sehingga ingin di hilangkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Alhasil jargon hapuskan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) menjadi agenda reformasi yang paling utama. Semua mafhum karena reformasi dibangun atas kesadaran bersama seluruh komponen bangsa untuk mewujudkan keadilan dan kesejateraan rakyat Indonesia. Salah satu cara yang dinilai efektif adalah dengan menghancur-leburkan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Politik dinasti menjadi masalah serius ketatanegaraan kita karena dianggap menjadi salah satu penyebab korupsi yang kian merajalela. Itulah sebabnya amanat Reformasi `98, salah satunya, menghasilkan Ketetapan MPR (Tap MPR) Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dimana salah satunya mengusut KKN di lingkaran Soeharto, termasuk keluarganya.

Selain TAP MPR sebagaiman disebutkan diatas, negara juga pernah mengatur larangan tumbuhnya politik dinasti, yakni dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Pasal 7 huruf r Undang Undang Nomor  8 Tahun 2015 menyebutkan: Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: r. tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.

Penjelasan pasal tersebut menyebutkan yang dimaksud “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” yakni tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan.

Namun Pasal 7 huruf r UU 8/2015 di atas oleh MK telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015, dan menjadikan ketentuan pasal ini dibatalkan berlakunya. Dengan dibatalkannya pasal tersebut, maka tidak ada lagi ketentuan tentang larangan politik dinasti di Indonesia.

Lebih lanjut, disarikan dari Ini Alasan MK Hapus Pembatasan Politik Dinasti, Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat pada waktu itu menerangkan terdapat persoalan mengenai belum efektifnya pengawasan dalam penyelenggaraan pilkada terutama ketika pencalonan melibatkan keluarga petahana.

Terkait  dengan hal tersebut, tidak setiap pembedaan serta-merta dianggap diskriminasi. Namun, kasus a quo, tampak nyata kalau pembedaan tersebut dibuat semata-mata mencegah kelompok orang tertentu (anggota keluarga kepala daerah petahana untuk menggunakan hak konstitusionalnya).

Hal serupa juga disampaikan Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Prof Saldi Isra dalam Ahli: Larangan Politik Dinasti Tidak Proporsional menilai membatasi hak politik keluarga petahana dalam kontestasi pilkada merupakan pengaturan yang jauh dari proporsional dan berlebihan sekalipun hanya satu periode. Sebab, seharusnya objek yang dibatasi petahana yang memegang jabatan politiknya kepala daerah atau wakilnya, bukan keluarga petahana.

Selain itu pengaturan larangan terhadap politik dinasti justru dianggap bertentangan dengan: Pasal 21 angka 1 Universal Declaration of Human Rights:“setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”): Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.

Pasal 15 UU HAM:Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.Pasal 43 ayat (1) UU HAM:Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Dengan adanya pembatalan larangan dinasti politik oleh MK maka praktek dinasti politik dipastikan akan semakin merajalela. Tidak ada lagi larangan bagi para pejabat yang sedang berkuasa untuk menerapkan politik dinasti selama ia berkuasa. Dengan sendirinya mereka yang sedang berkuasa akan mudah memanfaatkan fasilitas yang dikuasainya untuk kepentingan politik keluarganya.

Dalam kaitan tersebut banyak yang menyayangkan mengapa keputusan MK hanya mempertimbangkan dari sisi hukumnya saja tapi tidak mempertimbangkan dari sisi misalnya keadilan masyarakat yang terkena dampaknya.

Putusan MK tersebut bakal semakin membuat subur politik dinasti yang sedang diperangi oleh seluruh rakyat Indonesia. Hal ini bakal mempersulit regenerasi dan menutup ruang bagi tokoh baru potensial yang tak memiliki trah politik dinasti dalam perjalan karier politiknya.

Dengan tidak adanya larangan pembentukan dinasti politik, diperkiarakan bakal lahir banyak raja-raja kecil yang tidak punya kapasitas namun terpilih jadi kepala daerah karena kekuasaan dinasti politik keluarganya.Sehingga potensial  politik dinasti ini hanya akan melahirkan raja-raja kecil, bupati-bupati atau walikota boneka.

Pada hal mayoritas rakyat Indonesia menghendaki supaya politik dinasti ini bisa diberangus dari bumi Indonesia. Menurut Survei Litbang Kompas: 60,8 Persen responden yang disurvey gerah dengan Praktik Politik Dinasti di Indonesia. Survei itu dilakukan melalui telepon pada 27 hingga 29 Juli 2020.

Bagaimana Sebaiknya ?

Harus diakui sebagian rakyat tidak suka nepotisme atau politik dinasti yang semakin merajalela. Tetapi rakyat tidak bisa berbuat apa apa karena secara legal formal memang tidak ada hukum yang melarangnya. Oleh karena itu ada baiknya larangan dinasti politik yang pernah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, dengan mewajibkan jeda lima tahun bagi mereka yang terikat hubungan kekerabatan dengan petahana agar bisa maju di pilkada dihidupkan lagi dengan cara proses legislasi di DPR atau uji materi ke MK.

Jika secara hukum tidak memungkinkan maka sebenarnya masih ada harapan di Pundak partai politik yang mengusung kandidat calon pejabat negara.Posisi Partai Politik (Parpol) sebagai pintu masuk dalam pemilihan harusnya memiliki peran penting dalam menjaga demokrasi itu sendiri, salah satunya mencegah dinasti politik merajalela. Parpol diharapkan mampu bertingkah objektif sesuai kapabilitas ketika memilih kandidat, bukan melihat popularitas dan koneksi kepada penguasa.

Perlu dicacat pula bahwa tidak semua kandidat yang memiliki kedekatan dengan dinasti politik dapat selalu berhasil memenangkan kontestasi di Indonesia, terutama di tingkat lokal seperti yang terjadi pada sejumlah gubernur, bupati atau walikota.Misalnya di Kalimantan Barat, mantan Gubernur Cornelis, beberapa kali di Kalbar mencalonkan anaknya, tapi tidak berhasil terpilih sesuai harapannya. Di Sumsel, Pak Alex Noerdin 2 periode lalu mencalonkan anaknya, kalah juga. Begitu juga di Sulsel, ada keluarganya Yasin Limpo, tidak terpilih meski telah berjuang sekuat tenaga

Kiranya masyarakat memang harus  jeli untuk melihat siapa sebenarnya  kandidat yang akan dipilih nantinya. Apalagi di era media sosial saat ini dimana segala sesuatunya menjadi sangat terbuka, rakyat sebenarnya bisa lebih merdeka menentukan pilihannya.

Rakyat perlu lebih kritis tidak terjebak pada pendapat buzzer buzzer di sosial media. Kemampuan berpikir kritis rakyat  akan diuji ketika berita itu hadir, apakah berita itu hasil rekayasa buzzer atau sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Karena salah satu tugas buzzer sering membuat bias pendapat yang ada.

Jangan sampai rakyat hanya terhanyut pada pendapat popular, misalnya ada satu postingan, biasanya ada pendapa dinilai bagus, lalu kita ikut ikutan mengamininya pada hal tidak selalu demikian faktanya.

Selain upaya yang dikemukakan diatas, untuk menghadang politik dinasti agar tidak berkembang dan menjadi bagian dari kebiasaan politik di Indonesia, diantaranya adalah dengan memutus mata rantai sumber-sumber pendapatan mereka. Sumber utama korupsi daerah dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) adalah belanja daerah dan sejenisnya.

Misalnya dengan menerapkan sistem pengadaan secara elektronik (e-procurement) sehingga diharapkan peluang untuk memanipulasi pengadaan akan berkurang dengan sendirinya. Hal ini harus ditunjang dengan pemberian sanksi tegas kepada daerah yang enggan menerapkannya.

Cara lain untuk membendung fenomena politik dinasti adalah dengan pemberdayaan pemilih supaya memilih berdasarkan hati nurani dan logika. Karena Pemilih adalah pihak yang paling menentukan apakah calon tertentu bisa menang atau tidak nantinya.

Salah satu musuh besar pemilih dalam pemilu adalah politik uang yang saat ini sulit sekali menghilangkannya. Pemilih yang rentan disuap adalah mereka yang rentan secara ekonomi tidak berdaya. Oleh karenanya, negara perlu memastikan bahwa pelaku politik uang diberikan sanksi keras, misalnya dengan pembatalan pencalonannya. Dengan upaya ini, pemilu diharapkan akan bisa mengikis tumbuh suburnya politik dinasti yang merusak kehidupan demokrasi di Indonesia.

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar