Denny JA

Gereja Katolik Menuju Lebih Toleran soal Penikahan Sejenis?

Jum'at, 06/10/2023 10:34 WIB
Aturan disahkan, LGBT di Pariaman bisa didenda Rp 1 juta (ilustrasi foto: top satu)

Aturan disahkan, LGBT di Pariaman bisa didenda Rp 1 juta (ilustrasi foto: top satu)

Jakarta, law-justice.co - Akankah Gereja Katolik lebih toleran dengan LGBT, lebih menerima pernikahan sejenis? Ini debat yang sedang hot, sedang hangat merespon pernyataan Paus Fransiskus di awal Oktober 2023 ini.

Kita mulai dengan aneka berita. Dikatakan bahwa paus memungkinkan pastor untuk memberkati pernikahan sesama jenis melalui pastoral charity.

Berita lain: pernikahan sejenis sangat mungkin diberkati oleh pastor sebagai bentuk pelayanan kepada mereka yang berbeda, yang diasingkan.

Majalah TIME masuk lebih jauh mencari apa makna tersirat dari pernyataan Paus Fransiskus itu?

Memang dikatakan ajaran resmi gereja tetap tidak berubah. Bahwa gereja tetap meyakini bahwa pernikahan itu antara lelaki dan perempuan, untuk menghasilkan keturunan. Dengan sendirinya pernikahan sesama jenis tidak termasuk dalam definisi itu.

Tapi di luar ajaran resmi, nampaknya Paus Fransiskus mengembangkan kemungkinan lain. Mungkin akan dibolehkan para pastor memberikan pelayanan (pastoral charity) kepada mereka yang memiliki paham yang tidak sama dengan ajaran resmi.

Pastor dibolehkan juga peduli dengan mereka yang tak sepaham, termasuk mereka yang meyakini The Same Sex Marriage, pernikahan sesama jenis.

Ramailah itu perdebatan. Muncul eksplorasi mengapa Paus Fransiskus bisa seterbuka ini, bisa setoleran itu soal LGBT? Tiga hal yang disinggung.

Pertama, itu karena Paus Fransiskus berasal dari Argentina. Kita tahu negara Argentina sejak tahun 2010 sudah melegalkan pernikahan sejenis. Tiga belas tahun sudah, negara itu, negaranya Paus Fransiskus, pernikahan sejenis dipersilahkan.

Kedua, sejak muda Paus Fransiskus juga dikenal seorang pemikir, aktivis dari Teologi Pembebasan. Ini satu gerakan yang muncul di Amerika Latin, kemudian meluas ke benua lain.

Gerakan ini lebih menekankan doktrin agama bersandarkan pada pembebasan, keadilan dan kesetaraan. Isu LGBT dan The Same Sex Marriage juga dekat dengan prinsip kesetaraan, pembebasan dan keadilan.

Ketiga, juga paus menyadari bahwa zaman sudah berubah. Sudah banyak muncul gereja di Eropa, Amerika Serikat, yang memberikan pelayanan kepada pernikahan sejenis.

Juga sekarang ini, hak asasi Manusia dari PBB melindungi individu untuk melakukan pernikahan sejenis. Itu hak fundamental individu untuk memilih gaya hidup dan orientasi seksualnya sendiri, yang tak bisa direbut oleh negara, atau orang lain.

Kini sudah sebanyak 34 negara yang melegalkan pernikahan sejenis. Awalnya, di tahun 2001, Belanda mulai melegalisasi pernikahan sejenis.

Sekarang hampir di semua benua sudah ada negara yang melegalkannya. Di Amerika Latin (Argentina, Columbia), di Amerika Serikat. Ada juga di Eropa (Perancis, Jerman). Ada di Asia (Taiwan), ada di Australia. Juga ada di Afrika (Afrika Selatan).

Negara yang melegalkan pernikahan sejenis tersebut banyak dari kalangan negara yang sangat maju, secara ekonomi, ilmu pengetahuan dan pemerintahan.

Itu negara yang sangat tinggi sekali kemampuannya membahagiakan warga negara, yang diukur oleh World happiness index.

Periksalah Top 20 negara yang paling maju diukur dengan indeks negara yang paling bersih dari korupsi (CPI), yang paling tinggi indeks pembangunan manusia (HDI). Sekitar 80- 90 persen dari Top 20 itu melegalkan pernikahan sejenis.

Ke depan, kita akan lebih terbiasa dengan dunia LGBT. Kita sudah terbiasa dengan perbedaan agama. Dulu beda agama dapat berujung pada perang dan pembunuhan. Kini kita rileks saja soal perbedaan agama.

Kita juga sudah terbiasa dengan perbedaan soal Tuhan. Bukankah Tuhan itu hal terpenting dalam agama? Kita juga sudah terbiasa dengan perbedaan cara ibadah padaNya.

Jika soal isu sepenting Tuhan saja kita bisa berbeda secara rileks, berikutnya kita pun akan terbiasa dengan perbedaan orientasi seksual berdasarkan interpretasi agama.

Sejarah sudah mengajarkan kita. Setelah seorang guru Suci tiada, ketika para nabi pergi, yang tersisa hanyalah perbedaan tafsir dari para pengikutnya. Termasuk soal LGBT.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar