Suciwati Munir, Pembela Hak Asasi Manusia/Human Rights Defender

Cinta, Inspirasi Perjuangan Kemanusiaan dan Kebenaran

Sabtu, 12/08/2023 06:30 WIB
Suciwati Munir, Pembela Hak Asasi Manusia/Human Rights Defender.

Suciwati Munir, Pembela Hak Asasi Manusia/Human Rights Defender.

Jakarta, law-justice.co - Mulanya dikenal publik sebagai istri almarhum Munir Thalib, seorang pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) yang tewas diracun di langit Eropa. Kini, Suciwati Munir telah menjadi entitas pejuang HAM meniti jejak suaminya. Konsitensi dan perjuangannya selama 19 tahun mencari keadilan atas kematian Munir telah menjadikannya seorang pejuang HAM, petarung yang gigih membela korban pelanggaran HAM.

Berpenampilan kasual, Suciwati tampak semangat saat menceritakan kehidupan yang dia jalani bersama almarhum Munir. Dia menumpahkan segala kenangan tersebut dalam buku yang bertajuk Mencintai Munir. Di sebuah kafe di bilangan Jagakarsa dia mengisahkan ulang cerita yang dia rekam dalam buku itu.

Suciwati adalah lulusan IKIP Negeri Malang Jurusan Sastra Indonesia. Ia pernah mengajar di MIN Malang I yang beralamat di Jalan Bandung, Malang dan setelah lulus kuliah ia mengajar di SMA Swasta Cokroaminoto Malang. “Namun, saat menjadi seorang guru, saya merasa manfaat yang saya berikan kepada murid-murid tidak sebesar saat saya mendampingi teman-teman buruh yang dipelakukan diskriminatif,” ujarnya.

Hal tersebut lantas membuatnya berhenti menjadi guru  dan kemudian terjun menjadi buruh. “Ada perasaan khusus, seperti kenikmatan ketika bisa memperlakukan orang dengan adil. Saat kita bisa mendampingi atau membela orang yang diperlakukan tidak adil,” katanya. Dia menambahkan, kisah itu terjadi saat dia belum mengenal sosok Munir.

Suci mengisahkan, ketika saya membawa teman-teman yang dilarang untuk bicara selama bekerja, mereka tidak mendapatkan banyak hak-haknya. Ketika saya pindah jadi buruh ya waktu itu saya kemudian keluar dari guru terus kemudian saya pindah jadi buruh di satu pabrik. Di mana pabrik itu milik Korea dan di situ buruhnya 95% perempuan. Semua yang pekerjaannya nggak boleh ngomong tidak boleh ngomong kemudian kalau telat dia harus menghadap matahari terbit dan nggak peduli Sampai kapan dia akan disuruh berdiri di situ.

Kalau bicara masih ini terus jangan dipukul terus ada pelecehan juga mereka dipeluk-peluk dan seenaknya jadi ruang itu saya mengajak mereka untuk membuat Serikat Pekerja. Hal itu kemudian berhasil dilakukan. “Kayaknya memang beda ketika kita diam sama kemudian kita bicara. Jadi manfaat itu bisa jelas dan itu berasa gitu loh meskipun pada satu titik kemudian juga gagal ya,” tutur ibu dua anak, Soultan Alif Allende dan Diva Suukyi Larasati.

Ketika terus melakukan perlawanan itu, seperti terus berjuang bagaimana terus membawa kita terus berkreasi untuk terus bagaimana cara membangun strategi-strategi baru agar perlawanan.  Dia kemudian memahami hal serupa juga dialami oleh almarhum Munir ketika bisa mendampingi keluarga korban dan itu juga bagian dari di mana dia merasa dia merasa berguna ketika dia berguna untuk masyarakat itu tadi jadi di mana dia juga memberikan ruang-ruang yang ruang aman buat korban.

Mencintai Munir bukanlah sekadar mencintai sosok manusia yang diciptakan dengan kelemahan-kelemahan. Mencintai Munir adalah mencintai perjuangan menegakkan hak asasi manusia (HAM).

Bertahan, Melawan

Bulan September 2004 menjadi titik balik yang tak kan bisa dilupakan oleh Suciwati. Tanggal 6 September 2004 Munir berpamitan di bandara Soekarno Hatta, untuk melanjutkan studi di Belanda. Keesokan harinya, Usman Hamid dari KontraS menelepon Suciwati, dan mengatakan: ”Sudah dengar kabar, katanya, Cak Munir meninggal?”

Suciwati mulanya hanya menanggapi sebagai sekadar bercandaan saja. Namun sore hari, kerabat, kawan, wartawan, keluarga korban pendampingan Munir berdatangan  ke rumahnya. Ungkapan duka dan simpati hanya dianggap Suciwati sebagai angin lalu.

Suci masih bersikukuh dengan keyakinannya bahwa Munir baik-baik saja.

Pada 8 September 2004, Suciwati bersama beberapa kawan dari Kontras dan Imparsial terbang ke Belanda. Hingga saat di depan pintu masuk mortuarium kamar mayat, Suci merasakan kaki yang terasa berat untuk melangkah, aroma kuat bahwa suaminya sudah tidak ada semakin tak terbendung. Ketika kain yang menutupi sosok itu dibuka, jerit tangis Suciwati tak terhindarkan, tak kalah kerasnya, kawan-kawan yang mendampinginya juga berteriak penuh tangis. Jasad Munir sudah terbujur kaku, dingin dan membiru.

Kejadian pilu yang mencerabut Munir dari sisi keluarganya itu terjadi pada 7 September 2004. Meski telah bertahun-tahun berlalu, kasus ini masih menyisakan kabut. Di antara selimut kabut pembunuhan Munir, Suciwati mencoba bertahan dengan semangat dan keberanian sebagaimana ia selama ini mendampingi Munir. Bagaimana hari-hari mereka berdua tak lepas dari dunia advokasi buruh, tanah, dan lainnya.

Setelah Munir tiada, selama 19 tahun tak pernah terjeda, Suciwati bersama keluarga dan korban pelanggaran HAM tak pernah surut berjuang mencari keadilan. Suciwati telah menjadi ikon tersendiri dalam perjuangan HAM bersanding dengan nama besar almarhum Munir.

Setiap Kamis sejak 18 Januari 2007 barisan payung hitam selalu terkembang depan istana. Sebuah aksi seklaigus simbol besar perlawanan dan perjuangan keluarga dan korban pelanggaran HAM di Indonesia. Suciwati tercatat sebagai salah satu pelopornya bersama kawan-kawan dari Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK).

Cinta mendalam suciwati kepada almarhum Munir, suaminya, telah berubah menjadi inspirasi bagi api perjuangan. Perjuangan mencari kebenaran dan membela keadilan bagi korban pelanggaran HAM semakin menyatukan Suciwati dan Munir dalam cintanya pada kemanusiaan.


 

(Bandot DM\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar