Prima Mari Kristanto, Akuntan Publik

Ramai-Ramai Membuka Fakultas Kedokteran, Ada Apa?

Kamis, 03/08/2023 18:01 WIB
Ilustrasi Kedokteran (foto:shutter stock)

Ilustrasi Kedokteran (foto:shutter stock)

Jakarta, law-justice.co - Akhir-akhir ini banyak berdiri fakultas kedokteran (FK) di perguruan tinggi negeri dan swasta, termasuk perguruan tinggi Muhammadiyah. Koran Jawa Pos, dalam headline-nya Rabu 2 Agustus 2023 menulis 12 Kampus Buka FK Baru.

Untuk Muhammadiyah wajar ikut berpartisipasi dalam menambah jumlah dokter di Indonesia. Track record Muhammadiyah dalam layanan kesehatan masyarakat pada tahun 2023 ini genap berusia 100 tahun.

Sejak 1923 dimulai berdirinya balai pengobatan PKO di Notoprajan Yogyakarta, pendirian amal-amal usaha kesehatan secara simultan berkembang luas di penjuru nusantara oleh para penggerak persyarikatan tingkat daerah, cabang hingga ranting.

Gerakan layanan kesehatan yang tulus, bermodal tipis, bukan berorientasi bisnis. Dengan memanfaatkan tenaga kesehatan yang praktik di layanan kesehatan pemerintah dan swasta, amal-amal usaha kesehatan Muhammadiyah yang mengandalkan layanan akhlakul karimah mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat.

Kebutuhan insan-insan medis berikutnya mampu dipasok dari amal usaha pendidikan yang mengembangkan fakultas ilmu kesehatan juga kedokteran. Kesadaran masyarakat dan pemerintah mengutamakan kesehatan mendorong pembukaan jalur pendidikan kesehatan dari SMK sampai perguruan tinggi.

FK ikut marak bermunculan tumbuh bak cendawan di musim hujan. Tidak tanggung-tanggung, perguruan tinggi yang sekian lama identik dengan pendidikan agama, keguruan dan teknologi ikut-ikutan mendirikan fakultas kedokteran.

Biaya Tinggi

Sedikit memprihatinkan di tengah semakin banyaknya dibuka FK tidak membuat biaya pendidikan dokter menjadi terjangkau, murah, bahkan gratis. Sudah menjadi pemakluman umum jika biaya menempuh pendidikan kedokteran kian tinggi baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta.

Tingginya biaya menempuh pendidikan kedokteran tidak mengurangi minat masyarakat mengirim putra-putrinya ke fakultas-fakultas kedokteran. Ditengarai kini FK hanya bisa dimasuki mahasiswa dari keluarga kaya. Jika ada dari golongan masyarakat biasa jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Menempuh pendidikan kedokteran di perguruan tinggi negeri tidak jarang membutuhkan biaya lebih tinggi dari perguruan tinggi swasta. Kebijakan pemerintah memberikan ruang pada perguruan tinggi negeri mencari sumber-sumber pendapatan tanpa tergantung APBN ditengarai menjadi sebab biaya pendidikan termasuk pendidikan dokter kian mahal.

Izin pendirian FK “terkesan” dipermudah di perguruan-perguruan tinggi negeri yang identik dengan pendidikan agama, keguruan, dan teknologi, menjadi lahan “basah” pemasukan bagi perguruan tinggi yang bersangkutan karena banyaknya peminat.

Ke depan dipastikan suplai dokter meningkat, apakah juga menjamin kualitas dokter ikut meningkat? Saat ini saja suplai dokter sudah banyak dan terjadi “perang dingin” antara pemerintah dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sebagian pihak menganggap IDI mempersulit penerbitan izin praktik dokter baru.

Pemerintah menganggap rasio kebutuhan dokter untuk melayani masyarakat masih rendah. Pemerintah beranggapan jumlah dokter praktik harus segera ditambah termasuk jumlah dokter spesialis. Sektor kesehatan tidak dipungkiri menjadi ladang ekonomi yang menggiurkan.

Tarik menarik beragam kepentingan antara menjadikan layanan kesehatan sebagai ladang sosial dan komersial membutuhkan kehadiran pemerintah sebagai penengah. Antara sosial dan komersial bukan dua kutub untuk dipertentangkan.

Kepentingan sosial dan komersial bisa sinergi dalam harmoni melalui peran para pemangku kebijakan yang berkualitas dan berintegritas, jujur, adil, paham dengan baik batasan sektor layanan pendidikan, kesehatan untuk tujuan sosial dan komersial. Wallahualambishawab

(Editor\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar