Minta Akademisi Tak Kena Pasal Penodaan Agama, Warga Ini Gugat ke MK

Minggu, 23/07/2023 12:19 WIB
Mahkamah Konstitusi (Foto: Detik)

Mahkamah Konstitusi (Foto: Detik)

Jakarta, law-justice.co - Salah seorang warga Pamulang, Tangerang Selatan (Tangsel), Rega Felix, menggugat UU Pendidikan Tinggi dan UU Penodaan Agama ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pria yang berprofesi sebagai advokat itu mendorong agar akademisi tidak dikenakan pasal penodaan agama.

"Menyatakan frasa "menjunjung tinggi nilai - nilai agama" dalam Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "tanpa adanya ancaman dan pertanggungjawaban pidana bagi Sivitas Akademika untuk berbeda pendapat dengan pandangan umum keyakinan agama yang dianut oleh masyarakat"," demikian permohonan Rega sebagaimana dilansir website MK, Minggu (23/7/2023).

Dalam argumennya, ia menyatakan Indonesia masih berkutat dalam perdebatan mengenai dampak positivisme yang mencabangkan rumpun ilmu pengetahuan.

Indonesia masih berupaya memilah-milah cabang pengetahuan dan masih berdebat dalam memilah pengetahuan agama dan pengetahuan non agama.

"Kita masih mencari mana yang lebih penting dan mencari siapa yang merupakan otoritas untuk menyatakan benar dan salah seperti pada zaman pertengahan," ucapnya.

Dia menyatakan saat ini tidak dapat mengelak bahwa RI telah memasuki era informasi di mana terdapat ledakan pengetahuan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Baik revolusi neolitikum maupun revolusi industri umat manusia telah melewatinya.

"Zaman tidak bisa ditolak karena terus berjalan, hanya saja kita harus menentukan berada di mana kita. Pada kondisi seperti ini sebaik - baiknya sikap adalah mengalah (altruistik) dan menurunkan keangkuhan kita untuk mendengarkan kebenaran," ungkapnya.

Menurut Rega, pengaruh pemerintah terhadap sivitas akademika sangat kuat. Hal ini menyebabkan sivitas akademika di Indonesia memang masih mengalami rasa takut untuk mengungkapkan kebenaran yang sebenarnya.

Seorang profesor ketika memberikan keterangan ahli di persidangan untuk menafsirkan persoalan agama yang berbeda dengan keterangan Pemerintah justru setelahnya dicopot dari jabatannya.

"Padahal ketika memberikan keterangan sebagai ahli, sebelumnya memberikan sumpah untuk memberikan keterangan sebagai ahli dengan sebenar-benarnya. Dengan kejadian tersebut, apakah seharusnya sumpah seorang ahli di pengadilan harus diganti menjadi : "akan memberikan keterangan sebagai ahli sesuai dengan arahan Pemerintah"? Apakah Sivitas Akademika harus selalu menjadi bagian dari Pemerintah itu sendiri? Hati nurani yang dapat menjawab hal ini," tegasnya.

Fenomena yang menarik belakangan ini, lanjutnya, terjadi adalah ketika suatu negara agama yang konservatif membuka keran kebebasannya ternyata terjadi peningkatan jumlah ateisme di negara tersebut.

Di sisi lain, di negara-negara sekuler yang justru melarang agama dalam pendidikan dan menjunjung tinggi kebebasan justru mengalami peningkatan penganut agama tertentu.

"Di lain hal, ketika hal tersebut terjadi justru demonstrasi dengan membakar kitab suci tertentu terjadi, yang pada akhirnya Pemerintah negara sekuler mulai mempertimbangkan untuk membatasi ekspresi kebebasan yang membakar kitab suci untuk alasan keamanan," sambungnya.

Negara yang menerapkan agama secara konservatif justru melahirkan gelombang imigran yang mencari kebebasan, tetapi justru negara penerima imigran kaget dengan heterogenitas hingga isu imigrasi menjadi isu yang sangat sentral di negara tersebut.

Selain itu, justru ternyata di negara - negara sekuler Pemerintahnya memperjuangkan sistem ekonomi baru yang berbasiskan nilai - nilai agama.

"Banyak sekali fenomena yang bersifat anomali dewasa ini yang membalikan secara upside down teori - teori lama. Tentu kita perlu merenungkan secara mendalam fenomena yang terjadi dewasa ini agar mendapatkan jawaban yang utuh. Setidaknya kita bisa memulai dari "di dalam agama terdapat pengetahuan dan di dalam pengetahuan terdapat agama". Untuk memulai merenung tentu kita harus bebas dari ancaman pidana. Bebaskan Sivitas Akademika," pungkasnya.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar