Palak Dokter Triliunan Rupiah Diambil-alih Kementerian Kesehatan

Minggu, 16/07/2023 19:41 WIB
Palak Dokter Triliunan Rupiah Diambil-alih Kementerian Kesehatan foto:dental.id

Palak Dokter Triliunan Rupiah Diambil-alih Kementerian Kesehatan foto:dental.id

law-justice.co -

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, didampingi Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, mengkritik keras kepengurusan administrasi biaya tinggi bagi seorang dokter.  Setiap Dokter akan mengantongi STR tiap lima tahun sekali harus bayar Rp6 juta, dikalikan 77 ribu dokter di seluruh Indonesia, IDI palak dokter Rp430 miliar.

Dari urus SKP profesi IDI palak dokter Rp1 triliun lebih dari 140 ribu dokter di seluruh Indonesia.
Satu dokter wajib kantongi 250 SKP. Khusus 4 SKP saja saat ikut seminar bayar Rp1 juta (kumulatif Rp62 juta), dikalikan 140 ribu dokter, maka IDI palak dokter, Rp1 triliun lebih.

Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, mengatakan, undang-undang kesehatan baru dibutuhkan, agar Pemerintah memiliki otoritas penuh tangani kesehatan.

Dikatakan Budi Gunadi Sadikin, Pemerintah belajar dari pengalaman selama menangani Corona Virus Disease-19 (Covid-19), dimana tidak ada sebuah instansi yang diberi otoritas penuh.

Semua pihak, melihat persoalan dari sudut pandang sendiri, sehingga Pemerintah sulit melakukan langkah terintegratif di dalam menangani kesehatan.

Saat bersamaan, Kementerian Kesehatan mencegah IDI palak dokter triliunan rupiah urus STR SIP SKP.

Karena STR SIP SKP jadi lahan basah IDI palak dokter tiap lima tahun sekali.

 

Ahli Epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengatakan, memang ada banyak aturan yang harus diubah dalam bidang kesehatan. Sebab itu, pihaknya memuji langkah DPR yang berani memutuskan dan menginisiasi UU tersebut.

Menyinggung berbagai pihak soal pembuatan UU Kesehatan cacat prosedural, Pandu menampiknya. “Jadi kalau disebut cacat prosedur, nggak cacat. Yang salah adalah yang mengatakan menolak, artinya tidak mau berkomunikasi, memberikan saran karena semuanya ditolak, dianggap nggak benar. Kan suatu kesalahan menurut saya dari teman-teman IDI,” kata Pandu dalam diskusi daring di acara bertajuk ‘Menanti Arah Baru Layanan Kesehatan Masyarakat’ Sabtu (15/7/2023).

Dia mengkritik IDI yang terus menyatakan penolakan atau tidak bisa diimplementasikan. Meski mengakui masih ada pekerjaan rumah dalam menterjemahkan UU Kesehatan, Pandu menyarankan IDI ikut berkontribusi mematangkan aturan yang ada.

“Jadi nggak usahlah melakukan upaya-upaya yang kemudian akan kontra produktif. Lebih baik kita masih mempunyai kesempatan untuk mengisi peraturan pemerintahnya,” jelas dia.

 

Sebab itu, Pandu meminta para menolak UU Kesehatan baru untuk berperan dalam pembuatan aturan turuannya seperti PP atau Permenkes untuk implementasi lebih detail. “Jadi jalan masih panjang untuk kita mewujudkan supaya pelayanan kesehatan kita sesuai dengan harapan bersama. Ini menurut saya kompleks betul," katanya


Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Mahesa Paranadipa mengatakan, pihaknya bisa menerima rancangan undang-undang (RUU) Kesehatan saat masih dalam pembahasan dengan Badan Legislatif (Baleg DPR). Menurut dia, saat pembahasan, Baleg, memiliki pemahaman yang baik menyoal kesehatan dan organsisasi profesi (OP) kesehatan.

“Awalnya kita agak khawatir terkait OP menjadi multibar, ternyata Baleg punya pemahaman yang baik. Jujur ya, waktu draft terbit dari pembahasan Baleg DPR kami bisa mengatakan 70-80 persen draf sudah baik, hanya tinggal sisanya,” kata Mahesa.

Aral melintang, saat dibahas lebih lanjut di Panitia Kerja (panja) DPR, kondisi rancangan benar-benar berubah. Oleh karena itu, penolakan dilakukan berkali-kali pihaknya karena perubahan yang dimaksud.

“Harusnya kalau draf Baleg itu diperbaiki sedikit, kami tidak akan ada reaksi penolakan ya, tinggal kita kawal substansi RUU ini supaya bisa bermanfaat bagi seluruh rakyat,” kata dia.


Sejauh ini, IDI dan empat organisasi profesi kesehatan lain diketahui berencana mengajukan judicial review UU Kesehatan metode Omnibus Law ke Mahkamah Konstitusi. Dalam penjelasan Ketua IDI, Adib Khumaidi, alasan pengajuan tersebut karena peniadaan unsur partisipasi yang bermakna (meaningful participation) sesuai dengan Keputusan MK Nomor 91 Tahun 2020.

(Patia\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar