Ketua Komnas Perempuan Periode 2020-2024, Andy Yentriyani

`Perempuan Sebagai Objek Diatur Lebih Pasrah Dibanding Laki-laki`

Sabtu, 10/06/2023 17:03 WIB
Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan periode 2020-2024. Source foto: Wikimedia/Eva Tobing

Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan periode 2020-2024. Source foto: Wikimedia/Eva Tobing

Jakarta, law-justice.co - Sudah berjilid-jilid unjuk rasa dilakukan oleh para pekerja rumah tangga (PRT) di muka gedung DPR. Aksi demonstrasi teranyar pada 7 Juni 2023 lalu, mereka tetap pada satu suara menuntut wakil rakyat mengesahkan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU-PPRT). Beleid hukum itu tak kunjung sah menjadi Undang-undang (UU) meski telah berproses selama 19 tahun di parlemen. Sementara politik hukum tak juga berpihak, kelas pekerja rumah tangga dalam posisi rentan selama ini.

Dalam Catatan Akhir Tahun (Catahu) Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang rilis pada 2023 ini, tercatat ada peningkatan jumlah pengaduan kasus kekerasan seksual menjadi 4.371 kasus pada 2022 dibanding tahun sebelumnya yang berjumlah 4.322 kasus. Sebagian di antaranya menyangkut kasus kekerasan seksual yang mendera pekerja perempuan berstatus PRT tersebut.

Masifnya pelaporan kasus bisa ditandai bahwa ada kesadaran dari para korban untuk berani melapor perlakuan kekerasan yang mereka rasakan. Di sisi lain, kasus kekerasan seksual yang masih masif ini mengundang pertanyaan ihwal bagaimana praktik kekerasan seksual langgeng terjadi dengan menempatkan perempuan sebagai korban.

Relasi kuasa berbasis gender antara laki-laki dan perempuan menjadi titik tolak bagaimana kekerasan seksual terus bermunculan. Superiortias laki-laki dalam banyak hal menempatkan dirinya seolah lebih berkuasa dibanding perempuan. Celah ‘kekuatan’ inilah yang memposisikan perempuan dalam keadaan rentan disakiti. Di saat bersamaan, kultur masyarakat dan represi negara turut berkelindan dengan diskursus soal posisi perempuan di depan laki-laki.

Dalam menyoroti hal demikian, kami berdiskusi dengan Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan periode 2020-2024. Sekira 30 menit, kami membahas soal bagaimana relasi maskulinitas-femintas dalam langgengkan kekerasan seksual. Lain itu, kami menanyakan kerja-kerja Komnas HAM dan ingin melihat bagaimana Andy dkk. melihat kehadiran negara dalam melindungi hak-hak perempuan.

Berikut petikan wawancara kami dengan beliau.

Adakah cerita soal pendampingan kasus kekerasan seksual yang selalu terniang?

Kasus kekerasan seksual tentunya sudah banyak kita temui. Dalam perjalanan saya mulai bergabung ke Komnas Perempuan sejak tahun 2000. Terutama memang mendampingi kasus-kasus yang dihadapi perempuan dalam konteks konflik dan juga di saat yang bersamaan dalam berbagai situasi khusus lainnya, tetapi ini tidak berarti kekerasan pada perempuan di dalam keluarga atau di institusi pendidikan itu kurang intens dibandingkan kondisi-kondisi yang lain. Kalau ditanya, hampir semua yang saya temui selalu saya ingat karena masing-masing dari peristiwanya memiliki kekhasan tertentu, keterlibatan luar biasa dari orang-orang yang terdekat darinya ataupun orang-orang yang memiliki posisi  yang seharusnya menjadi pelindung dari korban.

Dan mungkin yang paling membekas adalah justru 2 hal. Yang pertama, dampak dari peristiwa itu terhadap kehidupan korban atau penyintasnya. Dan yang kedua, adalah daya survive dari para penyintas itu. Saya selalu merasa terkuatkan di saat bersamaan. Karena di tengah semua keterpurukan yang sedang dihadapi, kerap kali saya justru menemukan kekuatan untuk melanjutkan kehidupan, kekuatan untuk sebetulnya menyatakan bahwa apa yang ia perjuangkan untuk keadilan maupun untuk pemulihan itu bukan semata-mata bagi dirinya, tetapi juga bagi keluarganya, komunitasnya, bahkan ada banyak korban yang saya temui mengatakan kami ingin keadilan itu bukan hanya sekadar menghukum pelaku. Tapi, kami ingin tidak ada lagi orang yang mengalami apa yang kami telah alami supaya kejadian serupa tidak berulang di masa mendatang.

Saya pikir pesan-pesan seperti ini yang paling membekas dalam ingatan saya, dan juga turut menjadi kerangka pikir dan kerangka acu ketika sedang merumuskan langkah yang harus diambil dalam berbagai situasi, baik dalam aspek kasus maupun dalam membentuk sistem yang lebih baik

Catahu 2023 Komnas Perempuan tunjukkan pengaduan KBG masif terdapat di ranah personal seperti kekerasan mantan pacar dan KDRT. Bagaimana analisis Anda terkait relasi maskulinitas dan feminitas yang menyebabkan kekerasan?

Sebelum menjawab itu, saya ingin menyampaikan bahwa kita harus melihat pelaporan ini sebagai suatu yang baik karena semakin tinggi tingkat pelaporan itu juga menunjukkan korban atau penyintas dan orang-orang terdekatnya semakin memiliki kepercayaan untuk melaporkan kasusnya dan ini tidak mudah. Dan biasanya akan sangat dipengaruhi dengan kehadiran dari landasan hukum untuk melaporkan dan perspektif yang ada dalam masyarakat, terutama sikap dari aparat ketika menerima laporan kekerasan tersebut.

Nah kita tahu Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah salah satu undang-undang pertama yang memberikan perlindungan lebih spesifik dalam pengalaman perempuan meskipun kita ketahui isu kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya perempuan menjadi korban. Tetapi paling banyak adalah perempuan dan anak, khususnya anak perempuan. Nah, ini yang menyebabkan situasi pelaporannya menjadi meningkat dan bahkan pemberitaan misalnya orang-orang yang terkenal termasuk mungkin selebriti ketika mereka menjadi korban itu membantu korban melihat korban yang lain “Oh ternyata ada undang-undangnya yang bisa lindungi kita, oh ternyata kasus seperti ini bisa kita laporkan. Oh ternyata apa yang saya pikir dulu yang mungkin dialami ibu saya itu sesuatu yang sebetulnya tidak boleh terjadi dan sebetulnya merupakan tindak kejahatan”, dimana negara perlu mengambil langkah yang pro-aktif untuk memutuskan lingkaran kekerasan itu ada di dalam rumah tangganya.  

Nah memang kalau kita lihat penegakan hukum selalu adalah aksi di hilir tetapi yang paling utama adalah pencegahan atau di hulunya dan ini berelasi langsung dengan apa yang tadi ditanyakan soal perspektif maskulinitas. Masih banyak sampai sekarang ini dimana keluarga menempatkan anak perempuan itu sebagai objek yang harus ditata supaya mereka lebih submisif dibanding dengan anak laki-laki, sekalipun mungkin dalam ruang-ruang yang lain dianggap menjadi setara. Misalnya dalam akses pendidikan dasar, mungkin tidak apa-apa anak laki-laki dan perempuan mendapat akses yang sama. Kita juga mulai jarang ya mendengar kasus dimana anak perempuan lebih sulit mendapatkan pendidikan dasarnya, meskipun pada kasus-kasus pendidikan menengah ketika mereka harus meninggalkan rumah kalau misalnya lokasi rumahnya di kepulauan, mereka harus pindah kota, kekhawatiran bahwa orang tua nanti anak perempuannya kenapa-kenapa bisa jadi menjadi pertimbagan lain untuk membatasi akses pada pendidikan itu ketika sekolah-sekolah sendiri atau institusi pendidikan tidak bisa gampang diakses di wilayahnya.

Tetapi dalam situasi lain masih bisa kita lihat bagaimana model pendidikan itu di dalam rumah maupun institusi pendidikan masih menempatkan pola yang submisif dan subkoordinat tadi, misalnya saja anak perempuan kalau kita lihat di rumah tetap saja pembebanan pada tugas-tugas domestik tidak serta-merta diberikan juga kepada anak laki-laki. Atau pun di sekolah ketika ada urusan, oh anak siapa yang harus lebih rapih tampilnya. Pembagian secara gender itu muncul.

Nah inilah yang sebetulnya sadar tidak sadar terkait konsep maskulinitas tadi, siapa yang sebetulnya pemegang kuasa untuk mengambil keputusan-keputusan yang dianggap berarti bagi kehidupan. Dia akan memakan dua korban bersamaan, yaitu perempuannya maupun laki-lakinya. Karena perempuannya menjadi pihak yang kemudian tidak memiliki ataupun tidak dilatih untuk memiliki kapasitas untuk menentukan arah kehidupannya sendiri dan otonomi atas bahkan tubuhnya. Apalagi jika tidak dilengkapi pengeetahuan bagaimana mencegah kekerasan seksual yang sebetulnya bisa ia hadapi sejak waktu kecil.

Sementara untuk laki-laki, mereka juga terlatih untuk menjadi dominan. Dengan terlatih juga kadang-kadang untuk menyatakan ‘Oh tidak apa-apa anak laki-laki pakai kekerasan’ sebagai cara untuk menyelesaikan situasi pelik yang sedang dihadapi. Dan ini tentunya akan menjadi sebuah kebiasaan. Kan pendidikan yang kita maksud dengan ‘trainning’ bukan hanya kelas, tetapi bagaimana dia diintegrasikan ke dalam cara kerja pikir, cara kerja tindakan sehari-hari. Nah inilah yang akan termanifestasi ketika mereka berelasi dengan pihak-pihak lain, khususnya ketika mereka selama dididik itu ditempatkan lebih sub-ordinat dari dia. Dalam relasi personal, ketika mereka pacaran atau pun ketika mereka berumah tangga. Proses mendidik ulang itu tidak gampang sekarang ada banyak upaya untuk misalnya pendidikan pra-nikah, tapi kan orang sudah dewasa. Tapi apa yang sudah terlatih bagi dirinya sedari kecil itulah yang akan paling membekas dan untuk mengubahkan tidaklah gampang.

Nah ini kembali perlu menjadi perhatian kita bersama agar upaya pencegahan kekerasan di dalam relasi personal, di dalam rumah tangga, itu bisa menjadi lebih efektif.

Pendampingan kasus oleh Komnas Perempuan maupun perjuangan korban mencari keadilan atas kekerasan yang dialaminya seringkali proses penegakan hukumnya mandek saat diproses aparat hukum. Mengapa itu bisa terjadi?  

Komnas Perempuan sebetulnya tidak mendampingi perempuan secara satu per satu kasus. Komnas Perempuan mencoba untuk memastikan akses untuk mencapai keadilan dan pemulihan bagi korban itu dapat dilakukan seturut dengan hak-hak yang sudah diamanatkan di dalam undang-undang. Dan dengan hal itu, maka kita akan berkoordinasi dengan berbagai pihak yang relevan ketika Komnas Perempuan menerima pengaduan.

Nah untuk data yang disebutkan tadi, itu betul sekali bahwa kami masih menghadapi banyak tantangan dalam upaya penegakan hukum. Faktor-faktornya tentunya banyak, salah satunya adalah pengetahuan juga keterampilan dari aparat penegak hukum. Juga terkait kondisi struktural yang ada di aparat penegak hukum. Pintu pertama untuk penegakkan hukum adalah tentunya kepolisian. Di dalam kepolisian kita ketahui ada unit yang spesifik untuk menerima pengaduan perempuan dan anak, tetapi ini tidak serta-merta jika misalnya ada kasus lain. Katakan lah kasus terkait kekerasan di ranah daring yang sekarang muncul banyak ya. Nah di situ timbul kebingungan, ini yang harus pertama menangani, apakah di bagian cyber crime atau di bagian PPA-nya. Jadi model komunikasi institusional juga perlu ditata ulang.

Tetapi yang kedua di dalam struktur PPA sendiri, dia sampai saat ini dalam perjalanannya belum memantapkan posisi sebagai sebuah unit yang betul-betul mendapatkan kapasitas yang memadai. Baik dari aspek jumlah awaknya. Kami lihat dari berbagai pertemuan Komnas Perempuan, salah satu yang dikeluhkan tidak ada cukup polwan untuk duduk di PPA, padahal sekarang kalau kita gunakan Undang-undang kekerasan seksual saja diamanatkan aparat penegakan hukum melakukan penyelidikan dan pendampingan itu orang yang satu jenis kelamin dengan si korbannya.

Yang kedua, posisi ini dianggap tidak sebagai posisi yang strategis untuk naik jabatan karena strukturnya rendah. Ini yang sebetulnya kami dorong agar ada upaya penguatan PPA menjadi direktorat terpisah di mabes yang kemudian tentunya akan memiliki tricle down effect ataupun efek lanjutan di tingkatan kepolisian daerah provinsi maupun di tingkat kota/kabupaten. Dan ini sebetulnya yang harus menjadi arah dari kapolri sebagaimana yang disebutkan di awal 2021 dan kita berharap ini menjadi realita ketika sudah ada Undang-undang TPKS.

Sementara itu, karena posisinya yang masih rendah, itu menyebabkan kesempatan untuk peningkatan kapasitas menjadi terbatas. Karena kan biasanya pola penganggaran di Indonesia itu sebanding dengan strukturnya. Nah akibatnya di banyak kesempatan, kami mendapatkan masukan untuk membuat pelatihan khusus bagi awak PPA agar mereka mendapatkan upgrading ataupun penguatan dari informasi-informasi yang telah berkembang, dari preseden-preseden kasus yang bisa menjadi terobosan maupun atas berbagai pemikiran yang telah ditetapkan di dalam undang-undang baru, misalnya UU TPKS atau juga KUHP yang baru yang dalam waktu tidak lama lagi akan berlaku. Atau pun dengan berbagai kemungkinan interseksionalitas dengan undang-undang yang lain.

Nah ini yang sebenarnya menjadi salah satu masalah utama kenapa proses penegakkan hukumnya masih sangat bermasalah, tidak dapat dipungkiri kasus yang lain kami mendapatkan pengaduan bahwa isu tentang profesionalitas, mungkin juga terkait dengan berbagai masalah dalam penegakan hukum yang sistemik termasuk dalam konteks seperti istilah banyak orang bilang ‘Hukum tumpul ke atas, tapi tajam ke bawah’ ketika pelakunya memiliki kuasa sehingga lebih sulit karena pengaruh dari kuasa itu sendiri memengaruhi proses penanganan kasusnya.

Kasus pemerkosaan yang menimpa gadis berusia 15 tahun di Parigi Moutong Sulawesi Tengah, di kasus itu tersangkanya adalah guru, kepala desa dan diduga libatkan polisi juga. Bagaimana Anda mencermati kasus tersebut? Dan bagaimana Anda menanggapi pelaku yang seharusnya jadi sosok tauladan dan pelindung, tapi malah jadi predator seksual?

Kami lihat dalam situasi kasus-kasus yang muncul beberapa tahun belakangan ini kami sangat prihatin kekerasan seksual terhadap anak, khususnya anak perempuan yang terjadi di lembaga pendidikan, berasrama dan bahkan menggunakan label pendidikan agama. Terjadi secara masif yang kalau sudah terungkap, korbannya itu tidak hanya satu orang bahkan bisa puluhan. Dalam kasus lain bahkan sampai punya anak dari tindak kekerasan seksual itu.

Nah dalam kasus parigi montong tadi, kami masih memeriksanya, kami sudah melakukan koordinasi ke beberapa pihak. Dan kami lihat memang kondisi kemiskinan, baik dari aspek kemiskinan ekonomi, kemiskinan pengetahuan, kemiskinan keterampilan, itu sangat memungkinkan anak perempuan menjadi objek seksual yang tindakan tersebut sungguh merupakan sebuah tindakan yang mencabik rasa kemanusiaan kita.

Dalam kasus parigi montong ini sempat terjadi diskusi panjang soal apa terminologi yang tepat, mengingat ini masalah yang lain dalam sistem hukum kita karena kalau di banyak negara langsung dinyatakan statutory rape. Bahwa mau bentuknya persetubuhan terhadap anak, mau dia dengan ancaman kekerasan atau pun bentuk lain termasuk tipu daya, itu semua dianggap sebagai tindakan perkosaan di mata hukum.

Nah di dalam sistem hukum kita, Undang-undang perlindungan anak tidak menggunakan istilah perkosaan karena masih menggunakan istilah persetubuhan yang tentunya memberikan sebuah nuansa tersendiri karena seolah-olah ada agensi dari anak itu. Padahal kalau kita baca pengaturannya sendiri, bentuk pemidanaannya lebih ketat. Punya hukuman minimal dan punya hukuman maksimal yang lebih berat dibandingkan dengan soal perkosaan di KUHP dan bahkan menyatakan bahwa tadi itu tidak ada bedanya apakah dilakukan dengan tindakan dan ancaman kekerasan maupun cara-cara lain yang menyebabkan si anak ini terpapar pada hubungan seksual.

Nah ini sebetulnya ruang lain yang perlu diperhatikan dan diperbaiki sehingga tidak ada polemik di masyarakat yang justru mengurangi daya kita untuk memperhatikan bahwa anak perempuan secara khusunya sekarang ini di dalam kondisi dia yang sangat timpang dalam pengaruh misalnya dogma agama, pengatruh keterputus-asaannya pada kondisi yang dia hadapi, itu dengan gampang akan menjadi objek seksual dari orang-orang yang menggunakan posisi lebih tinggi, unggul dan kuasa menentukan nasib anak itu untuk keinginan kebutuhan biologisnya.

Di dalam Undang-undang kita ketahui bahwa orang-orang dengan kapasitas kuasa ini sebetulnya perlu dipidanakan lebih berat, ada penambahan pidananya menjadi sepertiga dari maksimum yang diberikan. Tetapi juga di saat bersamaan kita perlu memberikan perhatian pada upaya penjeraan.

Ada beberapa PR, terutama untuk kasus yang melibatkan anak yang pelakunya berasal dari lingkungan paling dekat dan yang paling berkuasa terhadap korban. Yang pertama perlu ada database yang baik tentang pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak. Apalagi kalau mereka semisalnya pejabat publik atau guru. Karena kita tidak mau mereka berada dalam lingkungan yang memungkinkan tindakan tersebut terulang lagi.

Yang kedua harus ada pola pembinaan pelaku ini memahami apa yang dilakukannya merupakan tindakan yang mencabik kemanusiaan, termasuk mencabik kemanusiaanya pelaku sendiri dan memastika tidak berulang. Dan ini terutama sangat penting ketika kita lihat pelakunya adalah orang dekat di keluarganya, misalnya ayahnya atau abangnya. Karena setelah masa pemidanaan, mereka akan kembali lagi ke dalam kehidupan si korban. Nah adanya proses pembinaan ini proses memutus kemungkinan adanya pengulangan ini betul-betul harus jadi perhatian. Sayangya dalam revisi Undang-undang lembaga pemasyarakatannya, isu ini belum terlalu mengemuka dan mungkin selama ini belum ada proses reviu program yang komprehensif untuk memastikan upaya penjeraan dan memutus kemungkinan keberulangan.

Soal RUU PPRT, saat ini bola ada di tangan DPR, namun perjuangan untuk meloloskan UU itu sudah berjalan 19 tahun lalu, teranyar masyarakat sipil berdemo di depan DPR. Apakah menurut Anda sesulit itu penyelenggara negara berpihak pada keamanan dan kesetaraan perempuan?

Dalam menjawabnya, saya ingin melihat pada realita 25 tahun reformasi, ada banyak sekali terobosan yang dibangun untuk lebih me-masifkan tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak asasi manusia dan juga tentunya hak-hak perempuan. Dan kita lihat dalam perjalanan itu Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, mungkin banyak orang itu suatu yang dahsyat sekali, dari tahun 1998 sampai 2004 yang 6 tahun di masa reformasi. Pada masa-masa itu mungkin kita dalam masa subur karena kalau dilihat banyak instrumen HAM internasional yang diratifikasi.

Tetapi kita lihat ada kondisi yang jauh lebih pelik setelah UU tindak pidana perdaganan orang, ada satu mas dimana demonstrasi besar-besaran soal UU pornografi. Tarik-tarikan antara kebutuhan untuk perlindungan perempuan dan anak dengan upaya untuk melakukan kontrol yang berlebihan terhadap ekspresi seseorang di ruang publik maupun di ruang privat terkait pemahaman seksualitas dan sensualitas.

Nah ini juga terus berlaku sampai perkembangan perjalanan UU kekerasan seksual di tahun 2022. Waktu itu kan sempat ya diributkan dengan aturan kesusilaan yang kemudian ditopangkan di KUHP yang sempat mendapatkan kritik cukup tajam dari komunitas internasional karena beberapa pengaturannya dianggap akan mencederai hak-hak privasi.

Di saat bersamaan pekerja rumah tangga itu di tahun 2004 di dalam UU penghapusan kekerasan rumah tangga, itu dimasukkan sebagai salah satu pihak yang ada di dalam rumah itu sendiri. Tetapi pengaturannya sendiri tidak cukup karena apa yang terjadi antara rumah tangga dan majikannya itu bukan relasi kekeluargaan meskipun seringkali orang bilang pekerja rumah tangga itu bagian dari keluarga.

Tapi apa yang terjadi adalah sebuah relasi kerja dengan seperangkat yang seharusnya dipenuhi sebagai tanggung jawab dari majikannya. Tetapi juga ada tanggung jawab lagi dari negara untuk memastikan relasi kerjanya itu tidak melakukan eksploitasi dan juga tidak berbahaya bagi pekerjanya.

Pada saat bersamaan, kita juga dengar kisah-kisah bagaimana majikan merasa dicederai hak-haknya. Juga ada kasus-kasus kriminalitas yang dilakukan oleh pekerjanya. Jadi negara juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan majikan dalam ruang kerja yang sangat tertutup ini juga mendapatkan perlindungan yang baik. Nah keseimbangan inilah yang sebetulnya menjadi aspirasi RUU PRT yang sudah berproses hampir 2 dekade. Kenapa sulit, bisa jadi ini bukan hanya karena isu perempuan meskpun mayoritasnya pekerja rumah tangga adalah perempuan. Tentunya ini membuat situasi semakin pelik karena pekerja rumah tangga dianggap pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan khusus. Seolah-olah perempuan kalau sudah lahir, dianggap sudah bisa pegang sapu, wajan dan pekerjaan rumah tangga.

Konsep tentang perkejaan perempuan itu sendiri memengaruhi, seolah-olah tidak memiliki daya dukung yang besar dibanding pekerjaan lain. Dan ini akan sangat memengaruhi cara pandang para pengambil kebijakan. Kami sungguh berharap karena ini sudah semakin dipercepat dengan proses yang ada di parlemen, di pemerintah. Lalu, DIM sudah ada sehingga kami berharap adanya suatu perlindungan yang nyata—tidak banyak negosiasi yang justru menempatkan pekerja perempuan rumah tangga di tempat yang lebih rentan.

Apakah instrumen hukum dan kehadiran negara yang ada saat ini sudah cukup dalam memberantas kekerasan seksual dan pemulihan korban?

Kalau kita baca UU TPKS sesungguhnya ada amanat untuk menggarap aturan turunan yang memungkinkan implementasinya menjadi lebih lancar. Ini sudah masuk 1 tahun pasca diberlakukannya UU TPKS. Proses perumusan undang-undang ini tengah berjalan dan perlu ada proses percepatannya. Kami dapat informasi bahwa ini sudah dalam proses harmonisasi.

Kita perlu lakukan harmonisasi di tingkat daerah, karena banyak daerah yang sudah punya maupun belum punya aturan tentang layanan terpadu bagi perempuan korban kekerasan. Dari 285 kebijakan daerah yang pernah direviu oleh Komnas Perempuan, itu banyak yang gunakan layanan konsep terpadu tapi tidak lengkap. Misalnya hanya ada 30 persen yang mengatur betul-betul memastikan anggaran yang cukup untuk menyelenggarakan layanan terpadu itu. Kan bukan masalah ada kebijakan atau tidak, tapi apakah ada infrastruktunya tidak. Nah untuk penciptaan infrastruktur ini, salah satunya harus dipastikan apakah ada anggarannya.

Termasuk misalnya pengadaan jasa gratis visum maupun layanan kesehatan yang dibutuhkan, juga konseling. Tapi 30 persen saja yang punya pengaturan misalnya terkait pengaturan tentang ‘Rumah Aman’.

Juga ada beberapa aturan yang belum melihat adanya kebutuhan yang lebih spesifik dari korban yang dilayani berdasar indentitas. Karena tidak bisa diperlakukan sama perempuan lansia dan anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Atau antara korban yang berstatus disabilitas mental dengan disabilitas wicara.

Belum lagi ada kebingungan di pemerintahan daerah misal dalam kasus ada korban kekerasan seksual yang juga mengidap HIV AIDS, lalu tidak punya arah untuk ditempatkan di mana sang korban. Apalagi kalau kita lihat di daerah 3 T, kita pernah ingat dulu ada kasus kekerasan seksual di Maluku Utara yang mana korbannya meninggal dunia. Itu meninggalnya karena keterlambatan penanganan infeksi akibat kekerasan seksual.

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar