Revisi UU TNI Melahirkan Lagi Dwifungsi ABRI yang Justru Sudah Mati

Minggu, 14/05/2023 00:09 WIB
Lambang Mabes TNI. (ist)

Lambang Mabes TNI. (ist)

Jakarta, law-justice.co - Baru-baru ini Mabes TNI mengusulkan tentang perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI atau Revisi UU TNI, dimana Mabes TNI mengusulkan agar prajurit aktif memiliki lebih banyak kesempatan untuk menduduki posisi sipil di kementerian/lembaga.

Dalam usulan revisi itu, prajurit TNI yang semula dapat menjabat di sepuluh kementerian dan lembaga, akan diberikan kesempatan lebih luas untuk memasuki posisi sipil di 18 kementerian dan lembaga, serta di kementerian lain yang membutuhkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Ayat 2 UU TNI, 

Menurut Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI, Laksamana Muda Kresno Bintoro, mengungkapkan bahwa Mabes TNI tengah mempersiapkan sikap terkait revisi UU TNI. Sedangkan menurut Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Laksamana Muda Julius Widjojono, mengkonfirmasi bahwa pembahasan internal sedang berlangsung, namun belum selesai.

Julius menyatakan, usulan TNI didasarkan pada fakta bahwa banyak prajurit aktif TNI memiliki pemahaman tentang kepentingan nasional dan keterampilan yang dibutuhkan oleh kementerian dan lembaga. 

Selain itu, pelatihan fisik yang diterima oleh prajurit TNI sejak dini membuat mereka masih bisa memberikan kontribusi kepada kementerian dan lembaga. Menurut Julius, kehadiran prajurit aktif ini akan memberikan kontribusi yang meningkatkan kinerja kementerian dan lembaga. 

"Prajurit TNI yang ditempatkan di kementerian/lembaga adalah mereka yang memiliki keterampilan yang dibutuhkan, bukan sekadar penempatan prajurit aktif TNI dalam jabatan sipil," lanjut Julius.

Julius juga menjelaskan bahwa Pasal 47 Ayat 2 sebenarnya menjadi dasar hukum untuk kehadiran TNI di BNPB, BNPT, Bakamla, dan BNPP. 

Ketika UU TNI dibuat pada tahun 2004, badan-badan ini belum ada, sehingga revisi tersebut tidak membawa banyak perubahan dalam hal ini  Namun, Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf menyatakan bahwa jika revisi ini memberikan lebih banyak kesempatan bagi TNI untuk menjabat di instansi sipil kementerian dan lembaga, hal itu akan menghidupkan kembali konsep Dwi Fungsi ABRI. 

Penyalahgunaan peran militer di luar tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara berpotensi merusak profesionalisme militer yang telah dibangun susah payah selama ini.

Al Araf mengingatkan bahwa di masa lalu, dengan konsep Dwi Fungsi ABRI, militer terlibat dalam politik praktis dan dapat menjabat di kementerian, DPR, dan kepala daerah. 

Dia berpendapat bahwa perluasan jabatan dalam draf revisi ini akan membuka peluang bagi TNI untuk terlibat dalam politik. Menurut Al Araf, ini merupakan kemunduran dalam proses reformasi dan demokrasi di Indonesia, di mana militer seharusnya berperan sebagai alat pertahanan negara.  Karena militer dididik, dilatih, dan dipersiapkan untuk tugas-tugas perang. Peran militer tidak dirancang untuk menjabat jabatan sipil yang tidak terbatas.

Dia mengingatkan bahwa dalam sistem demokrasi, peran utama militer adalah menjaga keamanan dan pertahanan negara. Keterlibatan militer dalam jabatan sipil dapat mempengaruhi independensi dan netralitasnya. 

Dwi Fungsi ABRI pada masa lalu memberikan peluang bagi militer untuk terlibat dalam urusan politik, dan hal tersebut tidak diinginkan dalam konteks demokrasi saat ini.

Bahwa dengan memperluas jabatan militer dalam draf revisi UU TNI ini dapat mengganggu prinsip dasar reformasi dan proses demokrasi yang telah ditempuh di Indonesia. Mengedepankan profesionalisme militer dengan menjaga fokusnya pada tugas-tugas pertahanan negara dianggap lebih penting daripada memberikan kelonggaran bagi militer untuk terlibat dalam jabatan sipil yang bukan merupakan bidang keahliannya.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar