Chris Komari, Activist Democracy Activist Forum Tanah Air (FTA)

Era Politik Rondo Ucul di Era Demokrasi Lontong Sayur

Jum'at, 07/04/2023 12:38 WIB
Ilustrasi Parpol. (Jogloabang.com).

Ilustrasi Parpol. (Jogloabang.com).

Jakarta, law-justice.co - Partai politik di zaman sekarang beda dengan partai politik zaman dulu. Para pendiri partai politik zaman dulu sangat idealistik, memiliki gagasan besar dan memiliki rasa nasionalis yang tinggi.

Bung Karno dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) membawa ide kebangsaan. Bung Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri (PM) Indonesia pertama dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) adalah arsitek di balik kemerdekaan Indonesia.

Pak Natsir dengan Partai Masyumi dengan mosi integral demi menyatukan 16 negara bagian, dari sistem negara Federal Republic United States of Indonesia (USI) atau yang dikenal dengan Negara Indonesia Serikat (RIS) menjadi NKRI.

Coba lihat partai politik sekarang, orientasinya politik rondo ucul. (Rondo: rumongso ora nyekel duit okeh). Demokrasinya lontong sayur. Kerjaannya cari mahar, kegiatannya serangan fajar dan kampanyenya ngibuli publik dengan baliho.

Para ketua partai politik, mendirikan partai politik dan terjun ke dunia politik bukan untuk menyalurkan ide, gagasan dan ideology partai, akan tetapi mayoritas lebih untuk mencari harta, tahta dan rondo.

Ketika musim pemilu datang, mereka berharap bisa menjual Rondo politik untuk mendapatkan mahar, supaya tidak mengeluarkan banyak duit untuk membiayai Pemilu.

Kalau bisa justru mencari keuntungan besar di musim Pemilu dengan menjual dukungan partai untuk mendapatkan mahar politik sebesar-besarnya.

Ketika tidak ada yang mau membayar mahar politik, mereka ramai-ramai bikin koalisi supaya biaya politik ditanggung bersama dan kalau berhasil menang Pemilu kue kekuasaanya juga dibagi rata.

Itulah politik rondo ucul di era demokrasi lontong sayur.

Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) itu koalisi yang terus mencari capres semenjak dibentuk, tetapi tidak ada capres yang mampu membawa dana Pilpres dan popularitas.

Sehingga KIB sebagai koalisi harus berkoalisi dengan koalisi lainnya.

PDI-P juga sama, tidak punya Capres sendiri yang populer dan juga minim dana Pilpres.

Mau tidak mau, PDIP harus bergabung dengan koalisi yang ada.

Pilihannya hanya dua, pertama bergabung dengan Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP), tetapi harus berhadapan dengan Nasdem dan Partai Demokrat.

Kedua, bergabung dengan KIB plus KIR (Koalisi Indonesia Raya) tetapi harus berhadapan lagi dengan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) dan Jokowi serta pendukungnya.

Sebenarnya PDI-P masih bisa menjadi single partai untuk mengusung Capres sendiri, atau bisa berkoalisi dengan KIB.

Setelah itu tinggal mencari urusan dana Pilpres yang tidak sedikit.

Kendala dana Pilpres 2024 inilah yang membuat koalisi partai politik harus berkoalisi lagi koalisi lainnya.

KPP dan KIB plus KIR juga masih membutuhkan partner bohir bohir politik untuk membiayai Pilpres 2024.

Potensi Anies Rasyid Baswedan (ARB) menjadi tersangka korupsi oleh KPK masih sangat besar.

Petinggi KPK masih ngotot ingin menjadikan ARB tersangka.

Kekuataan besar dibalik KPK akan terus mencari jalan untuk menggagalkan ARB maju menjadi Capres 2024.

PD juga diobok-obok terus oleh Moeldoko dan kemungkinan besar, Anas Urbaningrum setelah keluar dari penjara.

Kemungkinan 1 partai koalisi ditawarin Rp5 trilliun hingga Rp10 trilliun di hari akhir batas pendaftaran Pilpres supaya koalisi KPP bubar, juga masih possibility, bahkan probability.

Semua kondisi politik di atas, tidak ada yang menguntungkan rakyat.

Selama rakyat masih figure-oriented dan partai politik oriented, tidak akan mendapatkan keuntungan politik dan ekonomi dari Pemilu.

Untung di era demokrasi lontong sayur sekarang ini ada FTA (Forum Tanah Air), bukan Forum Tempe Anget.

FTA tidak berorientasi pada figur seorang Capres atau politisi.

FTA juga tidak berorientasi pada partai politik.

FTA berorientasi pada isu, pada masalah-masalah besar, kritikal dan krusial bagi kehidupan rakyat.

Politik yang terbaik bagi rakyat luas adalah menjadi "intelligence voters" tidak menjadi figure-oriented dan juga tidak menjadi partai politik oriented.

Rakyat tetap issue-oriented dan tidak memberikan suara (vote) secara gratis kepada capres

Tidak semua yang kita lihat itu benar, tidak semua yang kita dengar itu benar, karena mata dan telinga itu tidak bisa dipercaya 100%.

When we expect nothing at all from the world, that is when the world reveals it`s deep secrets.

(Ketika kita tidak membutuhkan apa-apa dari kehidupan dunia ini, maka pada saat itulah dunia mulai membuka tirai-tirai rahasianya pada diri kita).

Selamat menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, semoga berkah, banyak rejeki, lancar puasanya dan dimudahkan semua urusan di dunia.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar