Devi P. Wihardjo, Pemerhati Isu Sosial

Maskulinitas Lingkungan Kerja, Ketidakadilan Gender Hingga Resesi Sex

Rabu, 08/03/2023 18:20 WIB
Pekerja Perempuan (Bisnis)

Pekerja Perempuan (Bisnis)

Jakarta, law-justice.co - Hari Perempuan Internasional 8 Maret, menjadi pengingat apakah perempuan sudah mendapatkan keadilan yang seharusnya?.


Pernahkah anda merenungkan, mengapa perempuan tak henti-hentinya berjuang untuk mendorong keadilan, padahal yang anda lihat perempuan banyak yang menduduki posisi penting di berbagai lini, lalu anda lupa bertanya, apakah perempuan-perempuan yang menduduki posisi penting benar-benar berjuang dari nol atau perempuan yang memang punya previlage, entah dia anak siapa atau lulusan luar negeri sebelah mana?


Lalu bagi perempuan yang memang memulai dari bukan siapa-siapa hingga menjadi siapa-siapa, pernahkah anda bertanya bagaimana pengorbanan dan kerja kerasnya?. Dunia kerja yang dalam konstruksi sosial begitu maskulin sehingga banyak perempuan yang ogah menjalani beban ganda-nya.

Bahkan pekerja perempuan di Jepang dan China akhirnya memutuskan untuk ogah menikah, pernahkan terbayang bagaimana maskulinitas ruang kerja di China dan Jepang melahirkan resesi seks hingga berkurangnya angka kelahiran. Pernahkah anda memikirkan dampaknya jika itu terjadi di Indonesia?


China melaporkan angka terendah kelahiran dalam 43 tahun terakhir. Liga Pemuda Komunis China mengeluarkan publikasi yang mencatat hampir setengah atau 50% dari wanita muda yang tinggal di perkotaan negeri itu enggan menikah karena budaya kerja yang sangat tidak adil kepada perempuan.


Pemangku kebijakan dan pimpinan perusahaan masih banyak yang tak memiliki perspektif gender, sehingga perempuan tak diberi ruang aman dalam kondisi spesialnya.


Begitupun di Jepang, perempuan Jepang semakin enggan menikah dan memiliki anak, karena terhalang oleh tekanan keuangan dan peran gender tradisional yang memaksa banyak orang berhenti bekerja ketika hamil. Secara tradisional, perempuan juga memikul beban pekerjaan rumah dan tugas mengasuh anak.


Ketika punya anak di Jepang, seorang perempuan diharapkan berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga secara penuh. Perempuan juga memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga dan mendidik anak-anaknya.

Ironisnya, ini terjadi meluas di hampir seluruh wilayah Asia, artinya budaya patriarki masih mengakar dan harus segera dirombak!

Jika maskulinitas ruang kerja tak segera di cegah di Indonesia, apa dampaknya?


Mari melihat data, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, persentase penduduk perempuan berusia 15 tahun ke atas yang memiliki ijazah perguruan tinggi lebih banyak daripada penduduk laki-laki.


Persentase perempuan yang pernah menamatkan perguruan tinggi mencapai 10,06% pada 2021, sedangkan laki-laki 9,28%. Angka tersebut menunjukkan bahwa hampir 10 dari 100 perempuan berusia 15 tahun ke atas di Indonesia berhasil meraih ijazah perguruan tinggi.


Ini hal mencengangkannya lagi, dari lebih banyaknya perempuan mengenyam perguruan tinggi, ternyata perempuan tak juga punya tempat di dunia kerja.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2022 menunjukkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja perempuan masih berada jauh di bawah laki-laki, dimana laki-laki sebesar 83,6 persen dan perempuan hanya sebesar 54,2 persen.


Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah sampai menegaskan masih adanya ketimpangan dalam hal pendidikan dan kompetensi yang sebenarnya merupakan modal dasar untuk berdaya.


Ida bilang, semakin tinggi pendidikan perempuan maka akan semakin besar proporsinya yang masuk ke pasar kerja. Lalu, apakah Indonesia akan terus mempertahankan maskulinitas di ruang kerja yang berujung pada menurunkan angka produktif bagi perempuan?

Maskulinitas Lingkungan Kerja dan Ancaman Resesi Seks RI
Mendengar kata cuti haid, apakah di kantor anda menjadi bahan bercandaan?, memberi kesempatan pada perempuan berkembang? Apakah kantor anda masih membandingkan dengan kinerja laki-laki?. Hal itu wujud maskulinitas lingkungan kerja yang sulit diterjang dan didobrak perempuan, jika anda tidak meluaskan wacana dan membuka mata soal prinsip keadilan. Jika anda berfikir Adil adalah sama rata, maka baiknya anda perlu membuka lagi esensi dari perjuangan feminisme dan pentingnya bagi kesejahteraan nasional.


Beban ganda perempuan, menjadi takdir yang memang harus di emban dari anugerah fisik perempuan, memiliki Rahim untuk memberikan keturunan, memiliki payudara untuk menyusui buah hati merupakan hal yang tidak dimiliki laki-laki.


Ini yang perlu dipahami soal Beban Ganda, semua perempuan bekerja yang berkeluarga berpotensi menjalani beban ganda. Beban ganda perempuan adalah tugas rangkap yang dijalani oleh seorang perempuan (lebih dari satu peran) yakni sebagai ibu rumah tangga, sebagai orang tua anak, sebagai istri dari suami dan peran sebagai pekerja yang mencari nafkah membantu suaminya dalam bidang ekonomi keluarga, baik perempuan memiliki suami atau tidak!.


Faktanya, masih banyak perusahaan memberi upah murah bagi perempuan yang berbeban ganda itu. Mengutip Katadata, Masih ada ketimpangan atas upah buruh yang diterima laki-laki dan perempuan pada Februari 2021 lalu. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, rata-rata upah buruh laki-laki sebesar Rp 3,1 juta per bulan dan perempuan Rp 2,86 juta per bulan.


Ketimpangan upah buruh tersebut juga terjadi di semua jenjang pendidikan yang ditamatkan. Pada buruh berpendidikan SD ke bawah, upah buruh laki-laki sebesar Rp 1,93 juta per bulan, sedangkan perempuan Rp 1,19 juta per bulan.


Buruh laki-laki yang berpendidikan universitas mendapatkan upah sebesar Rp 5,21 juta per bulan. Sementara, upah buruh perempuan yang berpendidikan universitas hanya mencapai Rp 4,39 juta per bulan.

Kesenjangan upah gender, masih mendominasi kultur korporasi, bahkan jika perempuan dan laki-laki mengemban fungsi yang sama. Kesimpulan itu dibuat sebuah studi yang dipublikasikan baru-baru ini di jurnal ilmiah, Nature Human Behaviour.


Disebutkan juga, Perusahaan cenderung memberi upah perempuan lebih murah karena dianggap perempuan bekerja cuma membantu suaminya. Padahal setiap perempuan memiliki persoalan masing-masing yang tidak sama, hal ini masih ada gap antara perusahaan dengan karyawan. Pernahkah perusahaan bertanya apakah perempuan tersebut menjadi tulang punggung keluarga?


Gejala resesi seks di Indonesia mulai terlihat di Kota-kota besar dengan Angkatan kerja terbesar. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo membenarkan potensi resesi seks tersebut, terlihat dari banyaknya pasangan menikah di Kota Besar ogah punya anak karena tuntutan pekerjaan yang begitu berat melahirkan ketidakbahagiaan pasangan, hingga keengganan perempuan untuk memiliki anak (Child Free).


Maskulinisme di lingkungan kerja Beban perempuan semakin berat ketika mereka harus bekerja untuk organisasi atau perusahaan yang maskulin.
Di sana, alat ukur produktivitas dan beban kerja tidak mengalami penyesuaian meski dalam kondisi wabah.


Perempuan tak jarang berada dalam situasi terjepit, antara harus melakukan pekerjaan yang datang pada waktu ia juga harus berperan sebagai istri dan ibu di keluarga. Mereka juga dituntut selalu tampil prima di lingkungan kerja dan mempertahankan identitas profesional tertentu, dan harus mampu melakoni berbagai tugas sekaligus pada saat yang bersamaan.


Maskulinitas lingkungan kerja, tak lepas dari warisan kolonialisme yang berdampak pada lingkungan kerja yang tidak ramah perempuan. Proses kolonialisme turut menyebarkan paham patriarki yang mengistimewakan laki-laki dibanding perempuan. Kolonialisme yang berkelindan dengan kapitalisme berkontribusi pada praktik kerja yang meminggirkan perempuan.


Kolonialisme juga menciptakan kelas-kelas di antara pekerja perempuan itu sendiri. Hal ini membuat ada sebagian perempuan yang menikmati penghasilan dan kondisi kerja yang relatif lebih baik. Sementara perempuan-perempuan yang dikategorikan sebagai pekerja berketerampilan rendah seperti para pekerja pabrik cenderung bernasib sebaliknya.

Masihkah kita mau mempertahankan warisan kolonialisme?

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar