Kelaparan Nagorno-Karabakh, Armenia Salahkan Putin

Jum'at, 23/12/2022 13:40 WIB
Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan (Reuters)

Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan (Reuters)

Rusia, law-justice.co - Wilayah yang menjadi titik tempur antara militer Armenia dan Azerbaijan, Nagorno-Karabakh, mengalami kekurangan akses ke makanan dan penduduknya terancam kelaparan.


Situasi ini dipicu oleh blokade koridor kemanusiaan di wilayah itu yang sudah memasuki minggu kedua.

Hal itu disampaikan langsung oleh Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan, pada Kamis (22/12/2022). Pashinyan menyalahkan Azerbaijan atas blokade ilegal yang dilakukan serta kegagalan pasukan penjaga perdamaian Rusia untuk membuka akses koridor kemanusiaan Lachin yang berada di wilayah sengketa tersebut.

“Ratusan keluarga tetap terpecah di berbagai sisi blokade. Di Nagorno-Karabakh, ada kekurangan sejumlah barang penting, termasuk makanan,” ujar Pashinyan, seperti dikutip dari Reuters.

Wilayah Nagorno-Karabakh telah menjadi saksi bisu pertumpahan darah antara pasukan Armenia dan Azerbaijan selama bertahun-tahun. Secara internasional, wilayah ini diakui sebagai bagian dari Azerbaijan — namun penduduknya sebagian besar berasal dari etnis Armenia.

Setelah perang antara kedua pihak pecah pertama kalinya di awal 1990-an, penduduk di Nagorno-Karabakh pun memisahkan diri dari Azerbaijan. Namun, pada 2020 Azerbaijan merebut kembali wilayah Nagorno-Karabakh dan sekitarnya usai bertempur dengan pasukan Armenia.


Perang antara Armenia dan Azerbaijan kala itu akhirnya ditengahi oleh Rusia dan diselesaikan dengan gencatan senjata. Tetapi, kesepakatan ini tidak bertahan lama — perselisihan antara penjaga perbatasan dan bahkan dengan pasukan penjaga perdamaian Rusia kerap terjadi.

Selama ini, tercatat sejumlah 120.000 penduduk Armenia yang masih bertahan di wilayah Nagorno-Karabakh bergantung pada koridor kemanusiaan Lachin demi memperoleh pasokan barang-barang esensial, seperti makanan, obat-obatan, bahan bakar, dan sebagainya.

Koridor ini mencakup rute jalan melintasi Azerbaijan yang menghubungkan Armenia dengan Nagorno-Karabakh. Namun, sejak pertempuran kembali pecah dua minggu lalu, koridor kemanusiaan Lachin diblokade oleh Azerbaijan dan pasukan penjaga perdamaian Rusia tidak memiliki kuasa untuk menginterupsi tindakan itu.

“Situasi kemanusiaan di daerah kantong itu [Nagorno-Karabakh] sangat tegang sebagai akibat dari blokade ilegal oleh Azerbaijan di koridor Lachin,” kata Pashinyan kepada anggota kabinetnya.

Pemimpin berusia 47 tahun itu menambahkan, sebagai solusinya ia telah mengusulkan beberapa persyaratan kepada Azerbaijan agar dapat mencabut blokade di koridor Lachin. Di area ini pula, pasukan penjaga perdamaian Rusia dihadapkan oleh kerumunan orang etnis Azerbaijan yang menyebut diri mereka sebagai aktivis lingkungan.

Hal itu mereka lakukan sekaligus guna memprotes aktivitas penambangan ilegal yang disebut telah dilakukan oleh Armenia di sekitar Nagorno-Karabakh, serta pasukan penjaga perdamaian Rusia yang menutup jalanan.

Pashinyan juga menyerukan agar misi pencari fakta dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE) dapat dikerahkan ke wilayah Nagorno-Karabakh.

Dalam keterangannya, Pashinyan secara vokal mengkiritik tindakan Rusia — ia mengatakan, pasukan penjaga perdamaian tidak memenuhi fungsi dan tugas mereka sebagaimana mestinya. Menurut Pashinyan, selain menjaga perdamaian, pasukan Rusia harus memastikan agar koridor Lachin tetap terkendali.

Terkait kritik Pashinyan, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov pun buka suara. Peskov menjelaskan, seluruh pasukan penjaga perdamaian yang telah dikerahkan sejak 2020 itu hanya bertugas untuk menjaga perdamaian dan ketertiban — sesuai dengan mandat mereka.

Situasi ini pun mengundang perhatian dari kelompok pembela hak asasi manusia di luar negeri.


Salah satunya ialah Human Rights Watch yang berbasis di Amerika Serikat — pihaknya pada pekan ini meminta agar otoritas Azerbaijan dan pasukan penjaga perdamaian Rusia dapat memastikan agar kendaraan pembawa bantuan kemanusiaan dapat melintas di koridor Lachin.

“Semakin lama gangguan terhadap barang dan layanan penting, semakin besar risiko bagi warga sipil,” kata pihak Human Rights Watch.

Blokade koridor kemanusiaan dan ancaman kelaparan ini memicu ketegangan antara Armenia dan Azerbaijan yang hingga saat ini belum mencapai kesepakatan damai. Sejak perang pecah tahun 2020, gencatan senjata berulang kali dicetuskan — namun berulang kali pula dilanggar.

Teranyar, pertempuran berdarah di Nagorno-Karabakh pecah pada September lalu — menelan korban jiwa hingga 212 orang yang secara keseluruhan terdiri dari pasukan Azerbaijan dan Armenia.

Pertempuran mereda usai kedua pihak sepakat menyetujui gencatan senjata, namun tampaknya lagi-lagi itu tidak melambangkan berakhirnya konflik antara kedua negara.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar