Bertarung di Piala Dunia, Ini Catatan Sejarah Maroko Dijajah Prancis

Selasa, 13/12/2022 19:55 WIB
Timnas Maroko kibarkan bendera Palestina di Piala Dunia Qatar 2022 (Net)

Timnas Maroko kibarkan bendera Palestina di Piala Dunia Qatar 2022 (Net)

Jakarta, law-justice.co - Usai berhasil menekuk Timnas Portugal di Piala Dunia Qatar 2022, Timnas Maroko menjadi sorotan hingga saat ini.

Timnas Maroko lantas bakal melawan Timnas Prancis, tim dari negara yang pernah menjajah mereka di masa lampau.

Pertarungan timnas Maroko dan Prancis di laga semifinal pada Kamis (15/12) pukul 02.00 WIB itu pun tak ayal menjadi sorotan.

Seperti melansir cnnindonesia.com, bagi sejumlah pihak, pertemuan ini mengingatkan jejak Prancis yang pernah menjajah Maroko di masa lalu.

Pendudukan ini bermula dari krisis politik paling sulit di Maroko akibat dukungan Kekaisaran Sherifian terhadap Emir Abd el-Kader dari Aljazair.

Krisis itu memicu intervensi militer oleh Prancis di Maroko pada 1844, disusul Spanyol pada 1859-1860, demikian keterangan di situs resmi pemerintah.

Intervensi militer itu memicu bentrokan yang terus membara hingga 1873, di masa pemerintahan Sultan Mohamed IV.

Penerus Mohamed IV, Sultan Moulay Hassan I, berusaha menjaga Maroko agar tak dikuasai negara lain.

Dia kemudian mengonsolidasikan kekuasaan dengan mengumpulkan suku-suku Atlas Tinggi. Ia juga memodernisasi wilayah sambil menjaga kemerdekaannya.

Pada 1894, Moulay Hassan I tewas dan digantikan Sultan Moulay Abdelaziz. Dia memerintah Maroko hingga tahun 1907.

Merujuk pada informasi di History, dua tahun sebelum akhir kepemimpinan Abdelaziz, Maroko ditaklukkan lagi oleh Prancis pada 1905.

Ketika itu, Kaisar Jerman, Kaiser Wilhelm, tiba di Tangiers untuk menyatakan dukungan terhadap Sultan Maroko.

Dalam pidato terbukanya, Wilhelm melihat sultan Maroko sebagai penguasa kerajaan yang bebas, mandiri, dan tak tunduk dengan kendali asing.

Lebih lanjut, Wilhelm berharap Jerman memiliki keunggulan dalam perdagangan dengan Maroko yang setara dengan negara lain.

Tindakan tersebut memancing kemarahan Prancis dan Inggris yang kemudian memicu Krisis Maroko Pertama.

Wilhelm dan Jerman secara keseluruhan tak punya kepentingan substantif di Maroko. Kehadiran Wilhelm hanya untuk mengacaukan atau perjanjian antara Inggris-Prancis, atau Entente Cordiale.

Entente Cordiale sebenarnya bukan cerminan aliansi untuk melawan Jerman, melainkan solusi persaingan imperialis Inggris dan Prancis di Afrika Utara.

Menurut ketentuan aturan ini, Inggris bisa mendapat kepentingannya di Mesir, sementara Prancis bebas memperluas kekuasaan dari Aljazair hingga Maroko.

Pada Januari 1906, konferensi internasional digelar di Algeciras, Spanyol, untuk membuat perjanjian soal Maroko. Dalam kesepakatan ini, Prancis mendapat wilayah lebih besar.

Kemudian pada 1907, Prancis menduduki salah satu kota di Maroko, Casablanca.

Lalu pada April 1911, Maroko mengalami Krisis Kedua. Ketika itu, Prancis mengerahkan pasukan besar-besaran ke Kota Fez, memicu krisis Agadir.

Di tahun yang sama, pihak berwenang Prancis mengklaim suku pemberontak melakukan perlawanan di Maroko. Tindakan itu dianggap berbahaya bagi Fez.

Namun, Jerman menuding Prancis mengobarkan pemberontakan suku untuk menciptakan alasan agar bisa menduduki Maroko.

History mencatat bahwa Jerman lantas mengirim kapal penjelajah angkatan laut, Panther, dan berlabuh di pelabuhan Agadir, Maroko.

Pada 1912, Prancis dan Maroko menandatangani Traktat Fez. Kesepakatan ini berisi penyerahan kedaulatan Maroko kepada Prancis. Maroko pun menjadi protektorat Prancis hingga 1956.

Dalam traktat ini, Jerman menerima kekuasaan Prancis atas Maroko. Sebagai gantinya, Jerman memperoleh wilayah di Kongo Tengah.

Selain itu, traktat ini juga merupakan solusi untuk menyelesaikan Krisis Agadir.

Namun, tidak semua menyambut baik kesepakatan tersebut. Kelompok nasionalis Maroko menganggap perjanjian itu sebagai pengkhianatan. Perang Rif pun meletus dari 1919-1926.

Kemudian pada 1927, Mohamed V atau Raja Mohamed Bin Youssef memproklamirkan Sultan Kerajaan Cherifian.

Ia dianggap sebagai pelindung rakyat yang gigih membela perjuangan orang Yahudi Maroko melawan rezim Vichy.

Lalu pada 1944, Manifesto Kemerdekaan diumumkan. Tiga tahun kemudian, Mohammed V menyampaikan pidato bersejarah di Tangier.

Tahun-tahun setelah itu, Maroko melakukan negosiasi dengan Prancis, tetapi terus gagal.

Pada 1952, konflik antara otoritas protektorat dan kaum nasionalis pecah, menyebabkan gerakan pemberontakan baru.

Sultan lalu digulingkan dan diasingkan ke Madagaskar bersama seluruh keluarga kerajaan.

Pada 1954, Prancis mulai kalang kabut usai mengalami kemunduran di Indochina dan perang Aljazair.

Kekalahan itu membuat pemerintah Prancis mencari solusi politik. Pada 1956, Maroko akhirnya merdeka. Prancis dan Spanyol pada akhirnya mengakui kedaulatan Maroko.

 

 

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar