Apa Biang Kerok Hengkangnya Raksasa Chevron-Shell ?

Sabtu, 19/11/2022 06:43 WIB
Ilustrasi Migas. istimewa Foto : Merdeka.com

Ilustrasi Migas. istimewa Foto : Merdeka.com

law-justice.co - Terbongkar! 

Chevron Indonesia Company (CICO) baru baru ini menyatakan  telah memutuskan untuk keluar dari proyek gas laut dalam Indonesia Deep Water Development (IDD) di Kalimantan Timur,  Chevron adalah salah satu perusahaan energi terbesar dunia asal Amerika. Berkantor pusat di San Ramon, California,

lalu Shell memutuskan keluar dari proyek gas Lapangan Abadi, Blok Masela di Maluku, serta ConocoPhillips yang sudah keluar dari proyek gas Lapangan Grissik, Blok Corridor, Sumatera Selatan.

Lantas, apa yang membuat perusahaan migas kelas dunia ini keluar dari proyek hulu migas di Tanah Air?

Sejumlah "raksasa" minyak dan gas bumi (migas) kelas dunia satu per satu memutuskan mulai melepaskan aset hulu migas di Indonesia. Mulai dari Chevron, Shell, maupun ConocoPhillips telah menyatakan keluar dari proyek hulu migas di Tanah Air.

Bahkan, bukan hanya gertakan, salah satu perusahaan migas asal Amerika Serikat telah resmi melepaskan aset hulu migasnya di Indonesia. Dia adalah ConocoPhillips. ConocoPhillips sudah resmi melepas asetnya di Indonesia kepada PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) pada awal 2022 lalu.

ConocoPhillips sebelumnya merupakan operator dan juga pemegang hak partisipasi (Participating Interest/ PI) sebesar 54% di Blok Corridor, lepas pantai Sumatera Selatan. Padahal, Blok Corridor merupakan salah satu penghasil gas terbesar di Indonesia. Realisasi penyaluran (lifting) gas dari ConocoPhillips Grissik dari Blok Corridor pada 2021, berdasarkan data SKK Migas, tercatat 829 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) atau 106,3% dari target APBN 780 MMSCFD. Pada 2022 ini penyaluran gas dari Blok Corridor juga ditargetkan terbesar kedua setelah BP Berau Ltd, yakni sekitar 725 MMSCFD.

Medco resmi mengakuisisi aset ConocoPhillips senilai US$ 1,35 miliar atau kisaran Rp 19,37 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$).

Perjanjian Jual Beli Saham (Share Sale and Purchase Agreement/ SPA) antara Medco Energi Global Pte Ltd (MGE) dan Phillips International Investments Inc telah dilakukan pada 8 Desember 2021 lalu. Dengan demikian, Blok Corridor di Sumatera Selatan kini resmi dikelola oleh Medco.

 

Selain ConocoPhillips, Chevron Indonesia Company (CICO) juga menyatakan akan keluar dari proyek gas laut dalam Indonesia Deepwater Development (IDD) di Kalimantan Timur. Lalu, Shell juga sejak tiga tahun lalu menyatakan akan keluar dari proyek gas raksasa Blok Masela di Maluku.

 

Adapun untuk kedua perusahaan tersebut, Chevron dan Shell, hingga kini belum resmi keluar dari proyek hulu migas di Indonesia karena masih berproses mencari mitra pengganti.

 Lantas, apa yang menyebabkan perusahaan migas kelas dunia tersebut hengkang dari proyek migas di Indonesia?

 

Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), ada beberapa hal yang membuat investor tak tertarik untuk berinvestasi di hulu migas di Indonesia, terutama masalah kepastian hukum.

 

Pasalnya, hingga saat ini belum ada lembaga pasti bersifat permanen yang bisa menaungi Kontrak Kerja Sama (Production Sharing Contract/ PSC) dengan produsen migas. Adapun kelembagaan SKK Migas saat ini disebutkan masih bersifat temporer sejak dibubarkannya Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) oleh Mahkamah Konstitusi pada satu dekade lalu, tepatnya 13 November 2012.

 

Oleh karena itu, percepatan Revisi Undang-Undang No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) bisa segera dituntaskan. Dengan demikian, ada kepastian hukum terutama terkait kelembagaan atau badan usaha permanen yang bisa berkontrak dengan produsen migas atau Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

 

Tak hanya itu, sejumlah kerumitan proses administrasi di Tanah Air juga menjadi penyebabnya. Mulai dari rumitnya perizinan, koordinasi antarkementerian/ lembaga yang masih belum efektif, rezim fiskal dan perpajakan yang rigid, penambangan ilegal, hambatan operasi di daerah, kendala akuisisi lahan, proses monetisasi migas yang semakin lama, ketakutan mengambil keputusan karena khawatir akan adanya kriminalisasi kebijakan, hingga transisi energi juga disebutkan menjadi penyebab tak tertariknya "raksasa" migas kelas dunia untuk berinvestasi di proyek hulu migas Indonesia.

Hal tersebut pun diaminkan oleh Anggota DPR RI. Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS Mulyanto menilai, tidak adanya kepastian hukum di sektor hulu migas RI membuat beberapa perusahaan migas kakap global keluar dari Indonesia.

Padahal, lanjutnya, Indonesia membutuhkan para investor tersebut untuk menggenjot produksi migas nasional.

"Di tengah kondisi seperti ini adalah ketidakpastian hukum sehingga menimbulkan hengkangnya perusahaan minyak seperti Total, Chevron, ConocoPhillips, dan Shell di Blok Masela," ujar Mulyanto dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR bersama SKK Migas, Rabu (16/11/2022).

 

Menurut Mulyanto, kondisi ini sebetulnya terjadi lantaran tak kunjung selesainya pembahasan Revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas). Oleh sebab itu, ia pun mendorong keseriusan pemerintah untuk segera menggenjot pembahasan Revisi UU Migas.

 

"Terutama, mendorong keseriusan pemerintah jangan sampai seperti RUU EBT lagi, DIM-nya gak ada. Kita sudah siapkan tanpa DIM terus gimana, barangnya bodong jadi gak bisa dibahas," ujarnya.

 

Mulyanto pun berharap agar Revisi UU Migas dapat segera rampung. Terutama, untuk memperkokoh legitimasi hukum SKK Migas yang saat ini hanya bersifat sementara.

 

"Kita harus ubah UU Migas ini membentuk kelembagaan yang ideal di tengah kondisi senjakala industri migas. Ini yang harus kita tata dengan baik, saya khawatir Andaman (proyek hulu migas di Aceh) mengulangi kasus Abadi Masela karena adanya ketidakpastian hukum," ungkapnya.

 

Untuk diketahui, belum tuntasnya pembahasan Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (Migas) dinilai menjadi salah satu faktor iklim investasi migas di RI kurang menarik. Terutama bagi perusahaan migas global.

 

Diberitakan  : Shell Cabut, sudah ada Calon Penggantinya di Proyek Gas Raksasa RI

Praktisi sektor hulu migas Tumbur Parlindungan juga mendorong agar pemerintah segera merampungkan Revisi UU Migas. Pasalnya, investor masih akan tetap menahan investasinya hingga RI mempunyai kekuatan payung hukum tetap.

"Semakin lama disahkan. Uncertainty juga semakin besar. Investors wait and see. Options ada di investors, mereka mau berinvestasi di Indonesia (dengan segala uncertainty) atau ke negara-negara lainnya yang lebih certain," katanya kepada CNBC Indonesia, Kamis (3/11/2022).

 

"Mungkin mereka lebih memprioritaskan ke negara-negara tersebut yang masih banyak International Oil and Gas Company yang melakukan investasinya," ujarnya

Di samping itu, ekosistem investasi di sektor hulu migas RI sudah tidak semenarik apabila dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Misalnya seperti Malaysia, Brunei, dan beberapa negara di Asean.  

 Disamping waktu berlarut larut sementara sumber energi foslil ini semakin di tinggalkan karena tidak ramah lingkungan akan semakin kritis  kalao mau melanjutkan kalau belum ada kejelasan negara sumbernya dan bisa jadi kebutuhan digantikan sumber alami lain yang tidak perlu kerumutin dalam aturan penyelenggaraan bisnis energi ini .

(Patia\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar