Siapa Bohir di Balik Vaksin Berbayar Sinopharm?

Jum'at, 16/07/2021 14:03 WIB
Siapa bohir di balik vaksin berbayar Sinopharm (Liputan6)

Siapa bohir di balik vaksin berbayar Sinopharm (Liputan6)

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah menetapkan vaksin Sinopharm sebagai vaksin berbayar. Namun, karena diprotes, PT Kimia Farma Tbk (KAEF) sebagai BUMN penyelenggara Vaksinasi Gotong Royong Mandiri (berbayar) menunda pelaksanaan vaksinasi berbayar bagi masyarakat umum dengan memakai vaksin Sinopharm ini.

Padahal dijadwalkan, mulai Senin pekan ini (12/7), KAEF bisa memulai menjual vaksinasi mandiri ini secara individu. Bahkan harga vaksinasi telah ditetapkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4643/2021 tentang Penetapan Besaran Harga Pembelian Vaksin Produksi Sinopharm.

Harga satu dosis harus merogoh Rp321.660 dan juga tarif layanan senilai Rp117.910 per dosis. Jadi perkiraan biaya untuk menyelesaikan dua dosis adalah sekitar Rp 879.140.

Tapi lantaran adanya pembahasan lebih lanjut dan sejumlah pertanyaan publik, Kimia Farma memutuskan untuk menunda pelaksanaan program vaksinasi berbayar dan menunggu petunjuk teknis dari Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.

Adapun jenis vaksin yang ditetapkan pemerintah untuk program Vaksinasi Gotong Royong (VGR) secara umum yakni vaksin Sinopharm dan Cansino.

Budi Gunadi Sadikin dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI secara virtual, Selasa (13/7/2021), mengatakan dilaksanakannya vaksinasi berbayar ini salah satunya demi mempercepat laju vaksinasi agar mencapai target 1,5 juta dosis per hari yang sekarang baru mencapai 300.000 dosis per hari.

BGS juga menjelaskan bahwa VGR tidak menggunakan APBN, melainkan sumber pembiayaannya berasal dari BUMN dan perusahaan swasta.

Selain itu mantan bos Inalum dan eks Dirut Bank Mandiri itu juga menegaskan bahwa VGR ini juga merupakan opsi alias tidak harus dengan jenis vaksin yang ditetapkan hanya Sinopharm dan Cansino, sehingga tidak berbenturan dengan program vaksinasi gratis yang dilaksanakan pemerintah.

Sebelumnya program vaksinasi berbayar ini sempat menjadi kontroversi dan ramai diperbincangkan oleh warganet, bahkan ekonom senior Faisal Basri sempat melayangkan kritik keras terkait keputusan ini. Ia pun menyebut kebijakan tersebut sebagai vaksin rente di akun Twitternya.

Kontroversi terkait harga vaksin tidak hanya terjadi di Indonesia, awal bulan lalu perdebatan seputar harga vaksin Sinopharm juga terjadi di dua negara Asia Selatan.

Dilansir dari Times of India, penetapan harga vaksin Sinopharm secara berbeda oleh perusahaan China tersebut untuk mitranya yang berbeda di Asia Selatan (Bangladesh dan Sri Lanka) sempat menimbulkan keributan.

Tuduhan bahwa Bangladesh membayar US$ 10 per dosis (Rp 145.000, kurs Rp 14.500/US$) sementara Sri Lanka membayar US$ 15 per dosis (Rp 217.000) untuk vaksin Sinopharm memicu perdebatan di kedua negara tersebut.

Sementara dari dalam negeri harga pembelian vaksin per dosis dari perusahaan farmasi China tersebut tidak dirincikan secara jelas, melainkan harga jual sesuai Keputusan Menteri Kesehatan.

Lantas, di tengah maju mundur vaksinasi berbayar ini, siapa sebetulnya perusahaan pemilik di balik vaksin Sinopharm ini?

Dilansir dari situs resmi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), vaksin BBIBP-CorV atau juga dikenal sebagai vaksin Sinopharm/vaksin BIBP adalah salah satu jenis vaksin yang menggunakan virus tidak aktif dan dikembangkan oleh Sinopharm`s Beijing Institute of Biological Products.
Vaksin ini juga telah mengantongi izin penggunaan darurat (emergency use listing/EUL) dari WHO dan telah disetujui penggunaan secara penuh di China.

Vaksin ini adalah merek dagang dari perusahaan farmasi asal China Sinopharm Group Co Ltd, yang sahamnya diperdagangkan di Bursa Efek Hong Kong (kode SEHK: 1099).

Induk perusahaan ini adalah Sinopharm Industrial Investment yang merupakan joint venture antara China National Pharmaceutical Group Corporation (CNPGC) (51%) dan perusahaan swasta China Fosun Pharmaceutical (49%).

CNPGC adalah BUMN farmasi China yang diawasi oleh Komisi Pengawasan dan Administrasi Aset Milik Negara dan 100% sahamnya dimiliki oleh pemerintah pusat China.

Sinopharm Group merupakan perusahaan yang bisnisnya meliputi riset dan pengembangan (R&D), produksi, distribusi serta memasarkan obat-obatan dan berbagai produk kesehatan lainnya.

Sinopharm Group juga mengelola pabrik, laboratorium penelitian dan perkebunan obat tradisional asli China dengan jaringan pemasaran dan distribusi yang tersebar di seluruh penjuru China.

Situs resminya mencatat, Sinopharm yang merupakan perusahaan farmasi raksasa China, juga masuk dalam daftar bergengsi Fortune 500, dan berada di peringkat 149 pada tahun 2020.

Berdasarkan laporan keuangan terbaru per 31 Desember 2020, pendapatan Sinopharm Group mencapai 456,41 miliar yuan (RMB/renminbi) atau setara Rp 1.004 triliun (kurs Rp 2.200/yuan), naik 7,32% dari tahun sebelumnya sejumlah RMB 425,27 miliar atau setara Rp 935,59 triliun.

Namun laba bersih Sinopharm tercatat hanya sebesar RMB 7,19 miliar (Rp 15,82 triliun) dari RMB 6,25 miliar (Rp 13,75 triliun) di tahun 2019.

Di Bursa Efek Hong Kong, saham Sinopharm Holding Co Ltc (kode: 1099) diperdagangkan di harga HK$ 22,65 atau setara Rp 42.355 (kurs 1.870) dengan kapitalisasi pasar HK$ 70,68 miliar (Rp 132,17 triliun).

Sementara itu, vaksin CanSino adalah vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh perusahaan bioteknologi, CanSino Biologics, juga berasal dari China.

CanSino Biologics, seringkali disingkat menjadi CanSinoBIO, ialah perusahaan vaksin Tiongkok yang sahamnya juga tercatat di Bursa Hong Kong dengan kode 6185. Pada perdagangan Rabu kemarin (13/7), harga saham di HK$ 324,40/saham, naik 2,27%.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar