Pelapor Kasus KSP Indosurya Sebut Polisi Lakukan Pembodohan Publik

Kamis, 27/05/2021 17:13 WIB
Kuasa hukum korban kasus penipuan KSP Indosurya Alvin Lim (kanan) sebut polisi lakukan pembodohan publik karena mandeknya penanganan kasus tersebut (ist)

Kuasa hukum korban kasus penipuan KSP Indosurya Alvin Lim (kanan) sebut polisi lakukan pembodohan publik karena mandeknya penanganan kasus tersebut (ist)

Jakarta, law-justice.co - Setelah lama tak mengungkapkan kemajuan dalam menangani kasus dugaan penipuan dan penggelapan dana koperasi simpan pinjam Indosurya, Polri akhirnya mulai buka suara. Bahkan, penyidikan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri berencana untuk segera melakukan pemberkasan terhadap perkara tersbut.

Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Helmy Santika mengatakan bahwa penyidik tengah berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, PPATK, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga pihak perbankan untuk membangun konstruksi perkara lebih lanjut.

"Setelah koordinasi dengan Kejaksaan Agung, PPATK OJK dan pihak Perbankan untuk melengkapi alat bukti, penyidik akan melakukan pemberkasan terhadap tiga tersangka kasus Indosurya," kata Helmy kepada wartawan, Rabu (26/5/2021).

Misalnya, kata dia, terdapat fakta hukum bahwa salah satu tersangka mengajukan bukti baru. Dalam hal ini, berkaitan dengan putusan perjanjian perdamaian (Homologasi) atas gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU)

Oleh sebab itu, hingga saat ini penyidik masih melakukan pemeriksaan tambahan terhadap saksi-saksi ataupun keterangan ahli. "Ini juga membutuhkan waktu karena perlu penyitaan ribuan dokumen," jelasnya.

Namun, terhadap pernyataan itu, kuasa hukum dan pelapor menilai Polri melakukan pembodohan publik. Pasalnya, dalam SP2HP tanggal 22 maret 2021 disebutkan telah dilakukan pemberkasan terhadap tersangka Henry Surya selaku Ketua KSP Indosurya, bukan akan lagi.

"Jika benar pernyataan Helmi di media 26 Mei bahwa akan dilakukan pemberkasan, berarti surat SP2HP berisi keterangan palsu atau menyesatkan, dan bahkan proses malah jauh mundur lagi," kata Priyono ADi Nugrohodari LQ Indonesia Lawfirm, Kamis (27/5/2021).

Dia bahkan mengatakan bahwa keterangan Helmi soal adanya bukti baru dari putusan PKPU sebagai alasan yang dibuat-buat. Sebab, putusan PKPU itu sudah menjadi konsumsi umum dan dibacakan dalam sidang dari Juli 2020.

"Itu sudah dari Juli 2020 sudah 10 bulan, apakah ahli diperiksa butuh 10 bulan? LQ banyak tangani kasus, jika kasus melibatkan orang biasa, 3-5 orang ahli bisa diperiksa dalam waktu 1 hari saja. Tapi kenapa Indosurya 10 bulan dan belum selesai periksa ahli, apakah ahli pidananya dari Hongkong?," tegasnya.

Sementara itu, Ketua Pengurus LQ Indonesia Lawfirm Alvin Lim menilai keterangan Helmi mengkonfirmasi dan memperkuat tuduhan LQ Indonesia Lawfirm soal jawaban klasik, yakni Polri selalu mengatakan segera pemeriksaan saksi, ahli dan surat.

"Agar tidak terjadi pembodohan publik, "saya akan ingatkan kepada Dittipideksus Mabes Polri akan ketentuan Hukum Formiil atau UU No 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Urutan proses penyidikan itu adalah pemeriksaan saksi pelapor, saksi fakta lain, saksi terlapor dan saksi ahli kemudian penyitaan barang bukti. Setelah proses pemeriksaan dan penyitaan ditemukan 2 alat bukti yang cukup maka, selesailah proses penyidikan dengan ditetapkannya tersangka. Penetapan tersangka ini adalah titik akhir penyidikan," jelasnya.

"Ini Tipideksus pake kitab hukum acara mana, ditetapkan dulu seseorang menjadi tersangka baru kemudian sibuk periksa saksi, periksa ahli dan alasan mau sita dokumen. Ditambah alasan yang dijadikan penundaan adalah putusan PKPU Juli 2020 sudah setahun lalu?," kesal Alvin.

Dia bahkan menilai penyidik Bareskrim Polri justru sangat ceroboh dan melanggar KUHAP pasal 50 jo 110 ayat 1 KUHAP, apabila menetapkan seseorang menjadi tersangka dulu baru mengumpulkan alat bukti.

"Brigjen Helmi sebagai Direktur Tipideksus tentunya tahu, pasal 184 KUHAP tentang 5 alat bukti: surat, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa dan petunjuk. Jadi alat bukti dikumpulkan dulu, baru dengan minimal ada 2 alat bukti ditetapkannya terlapor sebagai tersangka," katanya.

"Bukannya sudah ditetapkan tersangka lalu bilang masih mau periksa saksi dan ahli. Ngawur itu dan diduga pembodohan publik, orang awam tidak mengerti hukum pasti berpikir penyidik bekerja nih, padahal hanyalah pepesan kosong," kata dia.

Oleh karena itu meminta kepada Polri, jika mengalami kesulitan penanganan perkara Indosurya, seharusnya berani gelar terbuka dan menginformasikan ke pelapor/kuasa hukum. Apalagi, ketua Ombudsman sudah menyurati Kapolri dan minta klarifikasi, gelar perkara tapi sampai sekarang tidak dilakukan.

"Ini jawaban setiap ditanya "segera limpah, proses, periksa saksi. Begitu terus setiap ditanya tiap minggu selama 56 minggu, tidak ada kepastian berapa lama lagi dilimpahnya?," tutupnya.

 

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar