Analisa Hukum Perampasan Tanah oleh PT Summarecon Agung & BPN Pasif

Kamis, 20/05/2021 07:19 WIB
Tanah milik Robert Sudjasmin di kawasan Pegangsaan Dua, Koja, Jakarta Utara yang kini sudah berubah menjadi seribu ruko yang diklaim milik PT Summarecon Agung (Foto: Robert Sudjasmin)

Tanah milik Robert Sudjasmin di kawasan Pegangsaan Dua, Koja, Jakarta Utara yang kini sudah berubah menjadi seribu ruko yang diklaim milik PT Summarecon Agung (Foto: Robert Sudjasmin)

Jakarta, law-justice.co - Seorang kakek yang bernama Robert Sudjasmin telah menjadi  korban perampasan tanah oleh PT Summarecon Agung sejak 31 tahun lalu. Kasusnya bermula ketika  Robert membaca sebuah iklan di Suara Pembaruan  awal tahun 1990  soal lelang tanah yang digelar Kantor Lelang Negara.

Lahan yang dilelang itu adalah milik CV Griya Tirta yang dijadikan jaminan dalam pembelian benang di PN Industri Sandang. Tanah yang dilelang terletak di Kelurahan Pegangsaan Dua, Kecamatan Koja, Jakarta Utara dengan Surat Hak Milik Nomor 139/Pegangsaan Dua atas nama Abdullah bin Naman.

Robert yang ketika itu berprofesi sebagai dokter gigi mempunyai rencana membangun rumah sakit bersama teman sealmamaternya dari Universitas Indonesia, Mohammad Sarengat. Saat itu pihak Kantor Lelang Negara membuka penawaran harga tanah seluas 8.320 meter persegi sebesar Rp 108 juta. Tawar-menawar berlangsung sengit dan Robert menang di angka Rp 629 juta.

Bukti kwitansi pembelian itu oleh Robert sudah discan ke dalam bentuk dokumen digital. Dalam dokumen itu, tertera nama Robert Sudjasmin sebagai pembeli tanah dengan angka sebesar Rp600 juta untuk pembayaran pokok tanah, lalu Rp27 juta untuk bea lelang, dan uang miskin sebesar Rp2,4 juta. Jadi total keseluruhan yang ia bayar untuk membeli tanah lelang itu sebesar Rp629.400.000.

Dalam dokumen kwitansi itu pula disebutkan bahwa tanah adalah hasil sitaan jaminan Kantor Wilayah VI Badan Urusan Piutang Negara Jakarta. Kwitansi ini ditandatangani Robert bermaterai 1000 yang kemudian terbit Risalah Lelang Nomor 338/1989-90 tertanggal 05 Maret 1990.

Selang sebulan, Robert mendatangi lahan yang berupa hamparan tanah kering tersebut dengan mengajak petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mematok tanah yang telah dibelinya. Namun betapa kagetnya dia ketika keesokan harinya, patok tersebut dicabuti oleh dua petugas keamanan PT Summarecon Agung. Robert yang heran dan tak terima dengan tindakan tersebut lantas melaporkan kejadian tersebut ke kepolisian.

Alih-alih hengkang dari lahan itu, PT. Summarecon justru menggugat Robert ke pengadilan. Sejak saat  itu, hari-hari Robert mulai sibuk menangani perampasan lahan miliknya oleh pengembang kawasan Kelapa Gading tersebut.

Persidangan bergulir sejak 1991 sampai 2004. Pihak Summarecon mengklaim bahwa mereka juga menang lelang tanah. Robert geleng-geleng kepala mendengar pernyataan yang keluar dari anak buah taipan Soetjipto Nagaria itu. Pasalnya, lahan yang ia beli resmi dari pemerintah itu telah sah dimilikinya dengan bukti kwitansi bernomor: Kw.971/338-a/1989-90.

Menurut Robert, sepanjang berperkara dengan Summarecon di pengadilan, ia sempat menang di tingkat banding, tapi kemudian kalah di tingkat kasasi. Anehnya, tanah yang jelas-jelas ia miliki secara sah dengan bukti dokumen Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 139 itu oleh BPN malah dibatalkan setelah pihak Pengadilan memenangkan gugatan PT. Summarecon..

Selain proses yang terjadi di Pengadilan, Robert pun meminta pertanggungjawaban Kementerian Keuangan sebagai penyelenggara lelang tanah. Sebab logikanya, jika tanah tersebut benar milik pemerintah, seharusnya tak akan ada masalah dalam proses pelepasannya. Namun kemudian yang terjadi justru ada pihak ketiga yang menggugat tanah tersebut seolah tanah itu telah dimilikinya.

Pada 2010, Departemen Keuangan yang kini sudah berubah nama menjadi Kementerian Keuangan menerbitkan surat pernyataan yang isinya menegaskan bahwa Risalah Lelang Nomor 338 yang menjadi dasar penerbitan SHM 139 tak pernah dibatalkan. Namun, hingga kini, Robert tetap tak bisa mengambil haknya. Terakhir, Kementerian Keuangan mengajukan peninjauan kembali pada 2018, sampai sekarang masih berproses. Dengan  tidak adanya pembatalan risalah lelang Nomor 338 tersebut sertifikat milik Robert tidak seharusnya dibatalkan BPN.

Summarecon sendiri merasa memiliki hak atas tanah sengketa tersebut karena menganggap telah menang lelang berdasarkan risalah yang dipegangnya dengan nomor risalah 388 padahal seharusnya 338.

Perbedaan nomor risalah tanah yang digugat oleh PT Summarecon seharusnya batal demi hukum karena nomor yang mereka miliki tak terdaftar di risalah manapun. Tapi ternyata  Pengadilan Jakarta Utara saat itu justru memenangkan gugatan PT.Summarecon. 

Perihal adanya perampasan tanah oleh Summarecon ini sejak 4 Januari 1991 telah sampai ke telinga Wali Kota Jakarta Utara, Moeljadi. Saat itu, Summarecon sudah mulai membangun ruko-ruko di atas lahan milik Robert.

Pihak pemerintah kota lantas mengeluarkan surat perihal penghentian kegiatan pembangunan di atas tanah bersertifikat hak milik nomor 139/Pegangsaan Dua, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, yang ditujukan kepada Summarecon. Isi surat tersebut menyinggung bahwa pemerintah kota sudah mengingatkan agar Summarecon tak melanjutkan pembangunan ruko di atas lahan milik Robert pada 26 Desember 1990. Tapi, pihak Summarecon tak mengindahkan peringatan pemerintah kota tersebut. 

Surat serupa juga pernah dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Seorjadi Soedirdja pada tanggal 2 Oktober 1997 tentang perbaikan SIPPT No. 01805/IV/1985 a.n PT. Summarecon Agung. Intinya Surat dari Gubernur DKI Jakarta Soerjadi Soedirja soal SIPPT  itu meragukan legalitas bidang tanah SHM No.139.

ANALISIS HUKUM

Kasus  perampasan tanah yang menimpa seorang kakek bernama Robert Sudjasmin diatas hanya merupakan salah satu contoh praktik mafia tanah di Indonesia. Saat ini disinyalir praktek-praktek perampasan tanah terjadi secara sistematis dan terstruktur, melibatkan oknum-oknum terselubung yang mendukung secara legalitas kepemilikan dokumen-dokumen akta tanah.

Tingkat keparaha terjadi karena proses duplikasi surat-surat resmi melibatkan praktik terselubung oknum di internal BPN, Pemda, pejabat pembuat akta tanah, Lurah, sampai tingkat RT/RW. Kong kalikongnya begitu sistematis. Dengan pola mafia seperti ini maka orang-orang yang seharusnya memiliki sertifikat, bisa lepas haknya.

Mafia tanah cenderung menyasar lahan-lahan strategis yang memiliki harga tinggi, serta menyasar orang-orang lemah yang tidak punya akses kekuasaan secara ekonomi dan politik. Kalaupun kasus tersebut berlanjut ke pengadilan, akan sangat sulit bagi korban untuk bisa menang. Di samping prosesnya yang lama, sistem peradilan sengketa tanah masih menguntungkan bagi pihak-pihak yang memiliki kuasa.

Kasus perampasan tanah telah menyumbang terjadinya konflik agrarian di Indonesia. Menurut catatan KPA, sepanjang 2020 sedikitnya telah terjadi 241 letusan konflik agraria akibat praktik-praktik perampasan tanah dan penggusuran. Konflik tersebut tersebar di 359 kampung atau desa, melibatkan 135.337 kepala keluarga di atas tanah seluas 624.272,711 hektar.

Maraknya kasus perampasan tanah yang dilakukan para mafia disinyalir lantaran aparatur negara tidak menjalankan Undang-Undang (UU) 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Selain itu juga Peraturan Pemerintah (PP) 1/1960 tentang Pendaftaran Tanah.

Namun alih alih melaksanakan amanat UUPA dan PP Nomor 10/1961, Pemerintah Orde Baru saat itu justru menerbitkan  PP Nomor 24 Tahun 1997 yang mengakomodir kepentingan mafia tanah untuk merampas tanah rakyat. Semestinya pemerintah sekarang segera mencabut PP Nomor 24 Tahun 1997 yang bertentangan dengan UUPA. Karena PP tersebut kerap dijadikan sarana bagi  oknum BPN untuk berlindung atas kesalahannya menerbitkan SHGB di atas tanah SHM atau girik rakyat.

Dalam kasus yang menimpa kakek Robert Sujasmin diatas, sebetulnya penyelesaiannya mudah. Sebagaimana diketahui di  BPN itu ada warkah, [setifikat] yang merupakan produk BPN. Dari sini bisa ditarik ke belakang, memeriksa riwayat kepemilikan tanah, dokumen sampai di tingkat desa/ kelurahan. Kalau di desa ada patok D, pasti ketemu pemilik tanah yang sebenarnya.

Dalam kasus perampasan tanah milik Robert Sujasmin, jelas sekali bahwa Robert telah membeli tanah SHM dari lelang negara pada tahun 1990. Sebelum dilelang, tanah tersebut sudah diverifikasi  BPN yang menyatakan bahwa tanah tersebut clear and clean. Namun kemudian tanah tersebut secara fisik dikuasai oleh pihak lain dalam hal ini PT. Summarecon. 

Selanjutnya melalui proses gugatan ke Pengadilan Robert dinyatakan  bukan pemenang lelang nomor 388 pada hal seharusnya 338. Selain itu, letak objek tanah milik perusahaan itu berada di kecamatan berbeda.Tanah milik Robert berada di Pegangsaan. Sementara lokasi tanah  berlokasi di Petukangan. Banyak kejanggalan tapi masih dibela oleh oknum BPN.

Seharusnya setelah buka datanya dan ternyata jelas perampasan, maka BPN membatalkannya dan memberikan hak pada Robert. Tetapi hal itu tidak dilakukan bahkan atas dasar putusan Pengadilan akhirnya  BPN kemudian menganulir SHM milik Robert yang pernah diterbitkannya.

Dari kasus yang menimpa Robert Sujasmin secara ringkas dapat disimpulkan bahwa  telah terjadi praktek perampasan tanah yang dimiliki secara sah oleh Robert Sujasmin dilakukan oleh PT. Summarecon yang dilakukan secara sistematis dan terstruktur melibatkan pihak pihak yang mempunyai kewenangan di BPN” kongkalingkong” dengan Pengadilan.

Jika ditinjau secara yuridis formal  maka ketentuan mengenai perampasan tanah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya (“Perppu 51/1960”).

Secara umum, pengaturan perampasan yang diatur dalam KUHP merupakan perampasan tanah terhadap hak pakai. Perampasan  tanah terhadap hak atas tanah dalam artian lebih luas diatur dalam Perppu 51/1960.

Perampasan tanah berarti pendudukan tanah yang sudah dipunyai oleh orang lain.Yang dimaksud dengan pendudukan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses, cara, perbuatan menduduki (merebut dan menguasai) suatu daerah dan sebagainya.Jadi perampasan tanah tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan merebut dan menguasai atau menduduki tanah yang dimiliki oleh orang lain.

Memang  perbuatan perampasan tanah tidak secara tegas dirumuskan dalam KUHP, namun Pasal 385 KUHP (R. Soesilo) mengatur tentang kejahatan yang berkaitan langsung dengan kepemilikan tanah.

Menurut KUHP Buku II Bab XXV, pelaku perampasan tanah dapat dituntut jika melakukan hal ini dan bisa mendapatkan hukum pidana maksimal selama 4 tahun.Pasal 385 dalam KUHP menyebutkan bahwa kejahatan ini termasuk bentuk kejahatan Stellionnaat atau aksi penggelapan hak atas harta tidak bergerak milik orang lain.

Keseluruhan isi pasal ini menyatakan bahwa segala perbuatan yang melanggar hukum seperti: dengan sengaja menjual, menyewakan,menukarkan,menggadaikan,menjadikan sebagai tanggungan utang; dan menggunakan lahan atau properti orang lain atau dengan maksud untuk mencari keuntungan pribadi atau orang lain secara tidak sah dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.

Penyidik dan penuntut umum sering kali menggunakan pasal KUHP yang satu ini untuk mendakwa pelaku perampasan tanah.Biasanya penyidik akan menuntut pelaku berlandaskan dengan Pasal 385 KUHP ayat 1 yang berbunyi:

“Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan crediet verband sesuatu hak atas tanah Indonesia, sesuatu gedung, bangunan, penanaman, dan pembenihan, padahal diketahui bahwa yang mempunyai atau turut mempunyai hak atasnya adalah orang lain.”

Sementara itu, kategori tindak pidana “penguasaan lahan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah” di antaranya adalah tindakan yang menguasai saja tanpa menjual, menukarkan, dan menggadaikan tanah.

Selain Pasal 385 KUHP, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 (Perpu 51/1960) Pasal 2 dan 6 juga mengatur tindak kejahatan ini. Di dalam Perpu tersebut, tertulis bahwa seseorang yang memakai tanah tanpa izin yang berhak akan mendapatkan pidana perampasan tanah.Hukuman tersebut adalah hukum kurungan selama 3 bulan.

Sedangkan menurut hukum perdata, orang-orang yang melakukan perampasan tanah dapat dijerat dengan tuduhan perbuatan melawan hukum. Hal ini bisa dilihat bahwa dalam kasus perampasantanah ada pihak yang dirugikan dan menuntut ganti rugi atas kerugian yang dialami. Selain itu, perampasantanah juga merupakan perbuatan dimana seseorang secara tanpa hak masuk ke tanah orang lain.

Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks hukum perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”), dalam Buku III BW, pada bagian “Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang”, yang berbunyi:

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut “.

Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya “KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan”, menjabarkan unsur-unsur perbuatan melawan hukum sebagai berikut:

  1. Harus ada perbuatan (positif maupun negatif);
  2. Perbuatan itu harus melawan hukum;
  3. Ada kerugian;
  4. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian;
  5. Ada kesalahan.

Sedangkan menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat:

  1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
  2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain
  3. Bertentangan dengan kesusilaan
  4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.

Dalam kasus perampasan tanah yang diduga dilakukan oleh PT. Summarecon diatas sangat kental nuansa kongkalingkong antara pelaku dan pihak pihak terkait yang mempunyai kewenangan. Diduga telah terjadi praktek praktek perampasan tanah secara sistematis dan terstruktur, melibatkan oknum-oknum terselubung yang mendukung secara legalitas kepemilikan dokumen-dokumen akta tanah.

Proses duplikasi surat-surat resmi diduga melibatkan oknum di internal BPN, Pemda, pejabat pembuat akta tanah, Lurah, sampai tingkat RT/RW bahkan lembaga peradilan mulai Pengadilan Negeri sampai Kasasi. Aroma kong kalikongnya begitu terasa sangat sistematis. Sehingga sertifikat hak milik atas nama Robert Sujasmin  yang semula ada padanya begitu mudah lepas dari tangannya.

Sudah barang tentu pidana dan aspek perdata juga akan berlaku bagi mereka yang ikut membantu terjadinya proses perampasan tanah tersebut.  Oleh karena itu, oknum di internal BPN, Pemda, pejabat pembuat akta tanah, Lurah/ Kepala Desa, sampai tingkat RT/RW yang memberikan bantuan dalam perampasan tanah (pendudukan tanah oleh orang lain), dapat dipidana juga.

Selain dalam Perppu 51/1960, mereka yang terlibat  bisa juga diancam pidana berdasarkan KUHP. Pasal 424 KUHP,  berbunyi: “Pegawai negeri yang dengan maksud akan menguntungkan dirinya atau orang lain dengan melawan hak serta dengan sewenang-wenang memakai kekuasaannya menggunakan tanah Pemerintah yang dikuasai dengan hak Bumiputera, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun.

Yang dimaksud dengan pegawai negeri atau ambtenaar menurut R.Soesilo (hal. 100) adalah orang yang diangkat oleh kekuasaan umum menjadi pejabat umum untuk menjalankan sebagian dari tugas pemerintahan atau bagian-bagiannya.

Unsur-unsur yang termasuk di sini adalah:

  1. Pengangkatan oleh instansi umum;
  2. Memangku jabatan umum, dan
  3. Melakukan sebagian dari tugas pemerintahan atau bagian-bagiannya.

Dalam kaitan ini oknum di BPN serta Lurah/  Kepala desa dan para pegawainya termasuk salah satu dari golongan ambtenaar atau pegawai negeri. Lebih lanjut R. Soesilo menjelaskan, supaya dapat dihukum, maka pegawai negeri tersebut harus melakukan perbuatan tersebut dalam melakukan jabatannya.

Selain pasal 424 KUHP, ketentuan pidana juga  tertuang dalam Pasal 56 KUHP yang menyebutkan bahwa mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan dan mereka yang sengaja memberi kesempatan sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan maka dapat dipidana sebagai pembantu kejahatan. 

Selanjutnya, Pasal 55 KUHP juga menyebutkan bahwa mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan dapat dipidana sebagai pelaku tindak pidana 

Dalam menjalankan modus perampasan tanah, pada umumnya sangat lekat dengan praktek palsu memalsu dokumen . Pemalsuan dokumen tersebut dapat dikenakan sanksi pidana bagi pelakunya. Ketentuan tersebut tercantum pada Pasal 263 KUHP. 

Pasal 263 KUHP menyatakan sebagai berikut; 1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Ketentuan sanksi lain tercantum dalam Pasal 264 dan 266 KUHP. Pasal 264 ayat (1) menyatakan, Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap: 1. akta-akta otentik; 2. surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum; 3. surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai: 4. talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu; 5. surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan;

Ayat (2) menyatakan, diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Sedangkan Pasal 266 ayat (1) menyebutkan, barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya, sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.

Jadi untuk dapat menjerat perbuatan pegawai  atau para pejabat yang membantu proses penyerobotan tanah, pihak yang berhak atas tanah tersebut dapat melakukan langkah hukum pidana dan perdata.Jika ingin menjerat dengan pidana, maka dapat dikenakan pidana yang mengatur mengenai penyerobotan tanah baik yang terdapat dalam KUHP maupun dalam Perppu 51/1960.

Di sisi lain dalam hukum perdata, jika pihak yang berhak atas tanah tersebut merasa dirugikan atas penyerobotan tanah, maka langkah hukum yang dapat ditempuh adalah mengajukan gugatan perdata atas dasar perbuatan melawan hukum.

Kiranya banyak celah sebenarnya yang bisa dilakukan  untuk menyeret pihak pihak yang terlibat dalam mafia perampasan tanah yang melibatkan pejabat pemerintah dari Lurah/ Kepala Desa sampai pejabat di BPN yang diduga sering “bermain” dengan cukong cukong yang menjadi mafia perampasan tanah.

Disisi lain pemberantasan mafia tanah tidak bisa lepas dari proses perbaikan di internal lembaga-lembaga pemerintah, terutama di lingkungan Kementerian ATR/BPN. Sengketa konflik lahan yang melibatkan mafia tanah tidak bisa lagi dianggap sebagai kesalahan mal administrasi semata. Harus ada upaya yang lebih serius untuk mencari beking   perampasan tanah dengan menggunakan kerangka penyalahgunaan wewenang dan pemberantasan korupsi.

Sehingga penegakan hukumnya bukan semata-mata soal mal administrasi yang diuji di pengadilan melainkan aspek penyalahgunaan wewenang dan kemungkinan adanya tindak pidana korupsi/ suap menyuap yang dilakukan oleh pejabat terkait.

Dalam hal ini Menterinyapun harusnya punya komitmen kuat kalau ada orang-orang yang ingin memperbaiki internal BPN, mendapat perlindungan dari ancaman dan intimidasi mafia tanah. Bukan dibiarkan berjuang sendiri atau malah disingkirkan.

Selain itu guna memunculkan efek jera, perlu upaya serius untuk mengadili  para dalang dan  yang  menjadi bekingnya dalam  sindikat perampas  tanah ini. Mereka perlu segera ditangkap karena meresahkan masyarakat luas.

Selama ini harus diakui tidak pernah terdengar adanya dalang mafia tanah atau bekingnya yang diciduk pihak kepolisian.  Mereka terlihat sangat sakti karena mempunyai kemampuan lobi dan kekuatan finansial yang luar biasa. Pada akhirnya rakyat yang tidak mempunyai akses ke kuasaan atau keterbatasn keuangan menjadi mangsa empuk bagi mereka .

Negara seharusnya mampu melindungi pemilik tanah yang sah dari jarahan mafia tanah yang cuma berbekal selembar surat dan tumpukan duit untuk menyuap aparat. Namun, kenyataannya praktik mafia tanah hingga kini sulit diberantas. Salah satu penyebabnya adalah karena kurang memadainya regulasi pertanahan untuk mencegah praktik ilegal tersebut serta masih lemahnya integritas oknum aparat negara ketika menjalankan tugasnya.

Dalam kasus ini jelas negara melalui BPN yang menjadi garda terdepan yang sudah menerbitkan bukti kepemilikan sebidang aset tanah, justru tidak bisa menjamin kepastian hukum atas kepemilikan surat tanah yang justru mereka terbitkan sendiri. Lalu dengan mudahnya BPN buang badan dan mempersilahkan para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikannya secara hukum.

Putusan hukum terakhir yang berkekuatan hukum tetap itulah yang menjadi acuan BPN untuk menerbitkan sertifikat kepemilikan yang baru. Pertanyaannya bagaimana bisa ada dua pihak memiliki sertifikat atas nama berbeda untuk satu bidang tanah yang sama. Hal ini bisa terjadi karena ada oknum BPN yang ikut bermain, sehingga sertifikat ganda ini bisa terbit.

Saatnya BPN harus segera bersih-bersih dari pengaruh para mafia tanah . Bagaimana mungkin sapu kotor oknum BPN bisa memberi kepastian hukum bagi rakyat pencari keadilan atas kepemilikan tanahnya, jika aparat dan sistem kinerja BPN tidak direformasi total. 

(Ali Mustofa\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar