Panen Fulus dari Bisnis Dana Keringat Para Pekerja (I)

Modus Menggangsir Uang Pekerja BPJS Naker

Sabtu, 06/02/2021 12:00 WIB
Modus Mengangsir Uang Pekerja BPJS Naker

Modus Mengangsir Uang Pekerja BPJS Naker

law-justice.co - Triliunan uang buruh menguap dalam bisnis investasi yang dijalankan BPJS Ketenagakerjaan, petinggi lembaga itu pun dibidik sebagai tersangka raibnya uang pekerja tersebut. Alih-alih ingin untung, uang pekerja digerogoti untuk kepentingan petinggi lembaga tersebut. Lantas bagaimana modus jaringan ini menghabiskan uang milik pekerja? Benarkah jaringan ini sudah bercokol lama menghisap untung uang milik pekerja di lembaga tersebut?

Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mengusut kasus dugaan korupsi pada pengelolaan keuangan dan dana investasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Sejak beberapa minggu terakhir Kejaksaan Agung sudah memanggil pihak Jamsostek, Manulife, dan beberapa perusahaan investasi. Mereka diperiksa untuk mendalami kasus rasuah di perusahaan pelat merah itu.

Tim khusus jaksa penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung juga memeriksa saksi lain dalam kasus dugaan rasuah itu. Yakni, Direktur Utama PT Trimegah Sekuritas yang berinisial ST.

Kejagung sendiri mendapatkan perhitungan nilai transaksi dalam dugaan penyimpangan investasi pada BPJS Ketenagakerjaan. Nilai transaksinya mencapai Rp43 triliun. Namun, nilai transaksi itu belum dapat dikatakan sebagai kerugian negara walaupun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah memberikan hasil auditnya terhadap lembaga BPJS Ketenagakerjaan tersebut.

Pihak Kejaksaan Agung berdalih penyidik memerlukan waktu untuk memeriksa satu per satu transaksi guna memastikan ada tidaknya unsur pidana. Salah satu yang harus dipastikan yakni bentuk investasi, apakah melanggar pidana atau merupakan risiko bisnis.

Pada Senin 18 Januari 2021 kemarin. Tim Jaksa Penyidik telah melakukan penggeledahan di Kantor Pusat BPJS Ketenagakerjaan di kawasan Jakarta Selatan dan menyita data serta dokumen.

Jaringan Besar dalam BPJS Ketenagakerjaan?
Salah satu orang yang paling kencang mengkritik kebijakan investasi dan tata kelola keuangan BPJS Ketenagakerjaan adalah anggota Dewan Pengawas (Dewas) BPJS Ketenagakerjaan Poempida Hidayatulloh Djatiutomo. Sejak lama dia menduga ada yang tidak beres dalam proses investasi dan tata kelola uang nasabah ratusan triliun.

Jelang akhir masa jabatannya sebagai Dewas, Poempida tidak surut untuk mengkritik. Dia menjadi salah Dewas yang diperiksa penyidik Kejagung sebagai saksi. Menurut Poempida, kejanggalan sebenarnya sudah terendus manakala sistem informasi internal tidak mewajibkan adanya pertanggungjawaban direksi BP Jamsostek terhadap seluruh laporan kegiatan penggunaan dana pekerja.

"Itu (ketentuan laporan pertanggungjawaban BPJS Ketenagakerjaan) memang belum ada payung hukumnya, inikan lembaga di bawah presiden, baru ada Perpres tentang tata kelola yang membicarakan mengenai basis pertanggungjawaban itu di tahun 2019," kata Poempida kepada Law-Justice, Rabu (27/1/2021) lalu.

Peraturan Presiden mengenai tata kelola itu mengamanatkan Menteri Keuangan untuk membuat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 241/PMK. 02/2020 Tentang Dana Operasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Tahun 2021. PMK ini disahkan 30 Desember 2020 lalu dan telah dipublikasi di website Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) Kementerian Keuangan: jdih.Kemenkeu.go.id.


Dewan Pengawas BP Jamsostek, Poempida Hidayatulloh Djatiutomo. (Foto: IG @poempida)

Selama 4 tahun terakhir duduk di jabatan Dewas, Poempida mengaku belum ada instrumen hukum yang bisa memonitoring proses dan hasil kerja Direksi sehingga dugaan adanya penyelewengan dana sulit untuk dibuktikan. Sejauh ini, laporan keuangan BP Jamsostek yang dibuat berdasarkan audit Kantor Akuntan Publik (KAP) hanya dipublikasikan seadanya tanpa ada rincian yang lebih menyeluruh. Ketentuan ini membuat Dewas tak bisa berbuat banyak untuk mengawasi proses dari hulu ke hilir pengelolaan dana jaminan sosial, terutama dana yang digunakan untuk kegiatan investasi.

"Memang dipublikasikan terus tiap tahun. Tapi dalam laporan itu tentang investasi enggak ada," kata dia.

Sistem laporan yang parsial berakibat pada tidak terjalankannya asas transparansi yang ideal. Hal ini yang menurut Poempida menjadi kekhawatiran bagi Dewas. Mereka memandang manajemen risiko terhadap aspek dan proses investasi tidak dijalankan secara optimal oleh direksi BP Jamsostek dan jajarannya.

Jika ada sebuah proyek investasi dengan mitra, misalnya, Direksi tidak melaporkan bagaimana proses hulu ke hilirnya saat BP Jamsostek ikut melibatkan dana operasional. Laporan yang diterima Dewas hanya berupa hasil keputusan yang sudah diteken kedua belah pihak. Padahal, tugas kepengawasan seharusnya menerima laporan mulai dari jenis investasi hingga pertimbangan apa yang diambil sehingga menerima proyek tersebut.

"Proses yang jalan ini kan risikonya di sini. Ini tidak terekam dengan baik. Basis transparansi dan manajemen risiko di sini minim sekali," ucapnya.

Kesulitan memperoleh data investasi ini menimbulkan ketegangan antara Dewas dan Direksi. Presiden Joko Widodo tahun lalu sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Tata Kelola BPJS untuk mengatasi persoalan kerja kedua pihak. Namun, sama saja, regulasi itu tidak memungkinkan bagi Dewas untuk memonitoring proses investasi yang dilakukan direksi. Dalam Pasal 11 peraturan tersebut yang mengatur soal tata kelola investasi, Dewas sama sekali tidak dilibatkan dan malah memberi kewenangan bagi direksi untuk mengambil keputusan investasi secara profesional.

Poempida masygul kala mengetahui struktur investasi yang dijalankan BP Jamsostek sebagian besar ditanam dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN). Sisanya kemudian diinvestasikan berupa saham, reksadana, investasi langsung, dan deposito. Yang miris adalah, BP Jamsostek sama sekali tidak menginvestasikan dananya untuk mendukung Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) atau investasi yang bertujuan menambah lapangan pekerjaan.

"Investasi BPJS Ketenagakerjaan hanya memperkaya orang kaya, tidak memperkaya basis lapangan pekerjaan," ujarnya.

Pada 2020 lalu, tersiar kabar bahwa investasi saham BP Jamsostek mengalami kerugian sebesar Rp 13 triliun. Poempida yang saat itu juga menjabat Ketua Komite Pemantau Manajemen Risiko dan Teknologi Informasi BP Jamsostek terkejut saat mendapati laporan itu juga datang dari sumber internal lembaga yang ia awasi. Direktur Utama BP Jamsostek Agus Susanto saat itu membantah isu tersebut. Bantahan juga datang dari Deputi Pencegahan Korupsi KPK Pahala Nainggolan yang mengaku ikut mengawasi kinerja BP Jamsostek.

Saat dikonfirmasi, Jumat (5/2/2021), Pahala menyatakan kabar kerugian Rp13 triliun itu masih dalam bentuk potensi.

"Potensi kerugian, kan saham lagi anjlok semua. Kalau enggak dijual itu saham kan masih potensi rugi, belum terealisasi," katanya.

Sehubungan dengan potensi kerugian ini, Direktur Pengembangan Investasi BP Jamsostek Amran Nasution pernah mengungkapkan hal potensi kerugian itu dipengaruhi oleh harga saham yang berfluktuasi di bursa. Ketika harga saham berada di bawah nilai perolehan, maka dicatat sebagai unrealized loss (penurunan nilai investasi akibat fluktuasi). Sebaliknya, pada saat harga saham di bursa naik dan angkanya melebihi nilai perolehan, maka dicatat sebagai unrealized gain.

“Sifatnya memang fluktuatif mengikuti pergerakan harga saham di Bursa. Nah Rp13 triliun itu menurut saya unrealised loss," terangnya.

Meski begitu, sebagaimana kabar yang Poempida peroleh dari internal lembaganya, potensi kerugian yang ditengarai KPK benar adanya. Bahkan, ia menegaskan potensi kerugian yang terjadi mencapai Rp15 triliun. Poempida mengaku tidak ingin membuka identitas sumbernya tersebut demi keselamatan pelapor.

"Yang menginfokan bukan eksternal, (tapi) dari dalam," katanya.

Terhitung sejak 19 Januari sampai 4 Februari 2020, Kejagung telah memeriksa sebanyak 29 saksi dari pihak BP Jamsostek yang meliputi 22 orang di lingkungan deputi, 2 orang di lingkungan direksi, 2 orang di bagian dewas, dan 3 orang karyawan. Kejagung juga telah memeriksa pejabat di 19 perusahaan yang terafiliasi dalam investasi BP Jamsostek.

Ke-19 perusahaan yang telah diperiksa adalah:
1. Direktur Utama PT Trimegah Sekuritas Stephanus Turangan
2. BS, selaku Direktur PT BRI Danareksa Sekuritas
3. Moloenoto, selaku Presiden Direktur pada PT Indo Premier Sekuritas
4. Indra Christanto, selaku Direktur Utama PT Panin Sekuritas Tbk
5. NY, selaku Head of Equity Sales pada PT Sucor Sekuritas
6. SAP, selaku Head Institusi PT Valbury Sekuritas Indonesia
7. John Herry Teja, selaku Presiden Direktur (Presdir) PT Ciptadana Sekuritas
8. Priyo Santoso, selaku Presdir PT BNP Paribas Asset Management
9. Michael T. Tjoajadi, selaku Presdir PT Schroder Investment Management Indonesia
10. Widjana Wirharjanto, Dirut PT Samuel Sekuritas Indonesia
11. Octavianus Budiyanto, selaku Dirut PT Kresna Sekuritas
12. Yulius Manto, selaku Direktur Pemasaran PT Batavia Prosperindo Aset Manajemen
13. Agus Basuki Yanuar, selaku Direktur Utama PT Samuel Asset Management
14. Intan Syah Ichsan, selaku Direktur PT Samuel Asset Management
15. Fajar Rachman Hidajat, selaku Dirut PT Syailendra Capital
16. Maya Ramadani, selaku Direktur BNP Asset Management
17. Hazrina Ratna Dewi, selaku Presiden Direktur PT FWD Asset Management
18. RP, selaku Direktur Bahana TCW Investment Management
19. FEH, selaku Direktur COO PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk,
20. US, selaku Direktur PT Danareksa Investment Management.

Hingga kini, Kejagung belum menjelaskan bentuk investasi apa yang diduga terjadi penyimpangan di tubuh BP Jamsostek. Status penyidikan yang kini dijalani Kejagung pun belum menetapkan pihak-pihak yang menjadi tersangka.

Dana ratusan triliun yang ada di BPJS Ketenagakerjaan setiap tahunnya diinvestasikan dalam berbagai bentuk seperti saham dan reksadana. Uang tersebut disebar ke banyak manajer investasi di perusahaan pemerintah maupun swasta. Setidaknya ada dua pola korupsi yang mungkin terjadi di tubuh BPJS Ketenagakerjaan. Pertama, investasi ditempatkan di saham-saham bodong atau yang berprestasi buruk, sebagaimana kasus Jiwasraya dan Asabri. Kedua, tidak menutup kemungkinan ada dugaan suap berupa ‘komisi’ terhadap setiap keputusan investasi yang diambil oleh manajemen.

Bila mengacu pada konstruksi kasus dari Kejagung, dua orang yang patut dimintai pertanggungjawaban adalah Direktur Utama Agus Susanto dan Direktur Keuangan Evi Afiatin. Dengan kasus yang tengah bergulir, sayangnya nama Evi Afiatin justru masuk dalam bursa calon Direksi BPJS Kesehatan.  

Sumber Law-Justice yang pernah berbincang dengan salah satu direksi BP Jamsostek mengatakan pihak direksi memiliki dokumen tentang laporan direksi kepada Dewas serta pengawasan yang dilakukan Dewas. Salah satu dokumen itu berisi hasil analisa fundamental dan analisa risiko atas pengajuan saham dari salah satu mitra investasi yang telah disampaikan pihak direksi ke Dewas.

Dalam dokumen yang lain, dia menemukan ada penawaran investasi saham yang terkoneksi dengan Benny Tjokrosaputro, terpidana kasus Jiwasraya sekaligus tersangka dalam kasus Asabri, diajukan kepada BP Jamsostek. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa dugaan kasus korupsi BP Jamsostek yang kini tengah ditangani Kejagung berkorelasi dengan kasus Jiwasraya.

"Saya yakin itu sudah disita sama tim Kejagung juga," kata sumber tersebut.

Sementara itu, Deputi Pencegahan Korupsi KPK Pahala Nainggolan meyakini bahwa dugaan kasus korupsi BP Jamsostek tidak memiliki kaitan dengan pihak-pihak yang menjadi terpidana dalam kasus Jiwasraya.

"Enggak ada sama sekali. Saya sudah cek, enggak ada tuh kaitannya," ujar dia.

Selama menjabat sebagai Dewas, Poempida mengaku mendapat informasi soal adanya dugaan mafia yang bermain dalam tubuh BP Jamsostek. Hanya saja, dia tidak berkenan membuka identitas para pelaku. Untuk mendapatkan informasi valid seputar `permainan` yang dilakukan para mafia ia juga mengaku kekurangan sarana. Lagi pula, belum peraturan yang memungkinkan Dewas melakukan penyadapan sehingga kewenangan mereka dalam mengawasi sangat terbatas.

"Ada mafia di sini (BP Jamsostek). Orang-orang berduit semua. Tapi saya enggak mau buka. Dan saya enggak punya alat untuk menyadap, saya enggak punya tim. Mau bagaimana lagi, kemampuan saya terbatas, anggaran sangat minim," kata dia.

Akali Investasi
Poempida mengatakan ada anak perusahaan milik BP Jamsostek yang menjadi pertanyaan jajaran Dewas akan urgensi pendiriannya. Dua perusahaan itu adalah PT Binajasa Abadikarya (BIJAK) dan PT Sinergi Investasi Properti (SIP). PT BIJAK didirikan pada 6 April 1994, 17 tahun setelah didirikannya cikal bakal BP Jamsostek yang saat itu bernama PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Dalam profilnya, perusahaan ini bergerak di bidang jasa penyediaan dan penempatan tenaga kerja ke luar negeri dan dalam negeri, termasuk pendidikan dan pelatihan tenaga kerja.

Sedangkan PT SIP didirikan pada 2013 lalu saat Elvyn G. Masassya menjabat sebagai Direktur Utama. PT SIP merupakan perusahaan antara BP Jamsostek dengan PT Pembangunan Perumahan (PTPP), perusahaan milik BUMN. Pada awal pendiriannya anak usaha di bidang properti ini memakan dana investasi sebesar Rp 200 miliar. Dari jumlah tersebut, 80 persen dibiayai oleh Jamsostek sedangkan sisanya ditanggung oleh PTPP.

Sebenarnya, kata Poempida, pendirian dua perusahaan ini tidak sesuai dengan khittah dalam Undang-undang BP Jamsostek yang sejak awal memiliki prinsip nirlaba. Sementara, pembangunan dua perusahaan itu jelas bertujuan profit. Pendirian PT Bijak dan PT SIP sendiri ditujukan sebagai kendaraan untuk melakukan corporate action.

"Tiba-tiba ada PT SIP ini saya bingung. Karena PT ini kan entitas yang mencari untung kan, sedangkan badan ini badan nirlaba. Kan jadi susah," ujarnya.

Kekhawatiran Poempida atas berdirinya anak perusahaan tersebut terjawab pada 2017 lalu. Ia menceritakan, PT SIP menjalin kerja sama dengan perusahaan swasta yang bergerak di bidang konstruksi. Setelah dilakukan MoU, pihak perusahaan swasta tersebut meminta pinjaman atau modal awal ke PT SIP melalui BP Jamsostek. Direksi BP Jamsostek lantas menyetujui dan mencairkan dana tersebut.

"Gede dananya Rp 50 miliar. Tanpa ada dasar kontrak dan lain-lain yang matang, tanpa ada dasar jaminan aset, dia meminjamkan dan mencairkan dana ke orang itu, bahaya benar," katanya.

Sementara itu Anggota BPK Achsanul Qosasi yang dikonfirmasi Law-Justice soal hasil audit meminta agar menanyakan langsung kepada penyidik di Kejaksaan Agung.

"BPK sudah melakukan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) terhadap BPJS TK. Hasilnya sudah kami serahkan kepada Dewas dan Direksi BPJS TK," kata Achsanul.

BPK sendiri sedang melakukan penghitungan secara mendetail soal potensi kerugian negara dari dugaan praktik investasi.

"Surat Permohonan Perhitungan Kerugian Negara dari Kejaksaan Agung sudah kami terima. BPK saat ini Sedang membentuk Tim untuk melakukan perhitungan Kerugian Negara sesuai permintaan penyidik Kejagung," ungkapnya.

"Silakan tanya ke Penyidik. Kita tidak boleh me-release temuan yang masih diproses hukum," pinta mantan anggota DPR tersebut.

Sementara itu Ekonom Senior INDEF Didik J Rachbini Prabowo mendesak DPR agar meminta Badan Pemeriksa Keuangan untuk melakukan audit investigatif mengenai persoalan dugaan korupsi di dalam tubuh BPJS Ketenagakerjaan.

"DPR harus mendorong BPK melakukan audit investigatif, berani tidak DPR melakukan. Karena saya khawatir DPR tidak berani mendorong untuk membuka korupsi di tubuh BPJS Ketenagakerjaan karena jaringannya diduga juga melibatkan banyak pihak yang bisa berimbas ke parlemen," ungkapnya.

Dia juga bilang dugaan bancakan di tubuh BPJS Ketenagakerjaan sudah berlangsung lama dan lembaga ini juga diduga menjadi “sapi perah” yang diduga juga melibatkan kelompok yang sedang berkuasa.

"Kan Anda juga tahu, BPJS Ketenagakerjaan ini memiliki dana yang besar dan diduga jadi bancakan. Kita tahu politik kita masih korup ya," katanya.

Didik juga meminta publik untuk turut mengawasi kinerja Kejaksaan Agung dalam mengusut tuntas kasus korupsi BPJS Ketenagakerjaan. Bahkan jika perlu, KPK harus turut andil melakukan supervisi.  

"Kita tahu, sudah berpuluh tahun menyimpang seperti itu. Makanya harus ada supervisi melibatkan KPK," ungkapnya.


Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS, Netty Prasetiyani Aher. (Foto: IG @netty_heryawan)

Sementara itu Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Aher mengaku sampai saat ini belum melakukan pembahasan ihwal dugaan kasus tersebut dengan BP Jamsostek. Anggota Komisi IX DPR RI dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengatakan, pihaknya sampai saat ini masih menunggu lebih lanjut proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Kejagung.

Komisi IX, kata dia, amat menyayangkan jika memang nantinya ditemukan tindak pidana korupsi. Padahal, belum lama ini juga terjadi tindak pidana korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat di beberapa sektor. Mulai dari bantuan sosial orang miskin, uang simpanan rakyat, APBN, semuanya dikorupsi.

"Apalagi saat ini rakyat sedang kesusahan karena dampak adanya Covid-19. Banyak dari mereka yang terpaksa harus berhenti bekerja dan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Tapi kok ini ada sejumlah orang yang justru tega korupsi uang rakyat," kata Netty.

Catatan BPK
Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHPS) Semester II Tahun 2018 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengemukakan beberapa masalah di tubuh BPJS Ketenagakerjaan. BPK melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas pengelolaan investasi, aset tetap, dan beban pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan tahun buku 2016 dan 2017.

Dalam laporannya, BPK menemukan 14 temuan yang memuat 19 permasalahan. Permasalahan tersebut meliputi 9 kelemahan sistem pengendalian internal, 8 ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan senilai Rp 1,34 miliar, dan permasalahan ekonomis, efisiensi, dan efektivitas (3E) senilai Rp 23,98 juta.

Laporan itu menyebut adanya kelemahan sistem pengendalian internal diantaranya mencakup tingkat pengembalian investasi atas aset dana jaminan sosial (DJS) dan aset BP Jamsostek masih di bawah tolok ukur kinerja portofolio investasi yang ditentukan dalam peraturan direksi tentang Pedoman Pengelolaan Investasi.

Berikutnya analisis terkait dengan penundaan kebijakan cut loss atas saham-saham yang mengalami penurunan nilai perolehan melebihi batas toleransi minimum belum dilaksanakan secara periodik, sehingga BP Jamsostek berpotensi mengalami kerugian yang lebih besar jika saham tersebut ter-delisting dari bursa efek.

Ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan diantaranya penerimaan yang berasal dari denda atas keterlambatan pembayaran sewa ruang Gedung Menara Jamsostek dan denda pengelolaan parkir belum dipungut dengan total Rp 820,43 juta.

Untuk permasalahan 3E diantaranya berupa ketidakhematan atas item pekerjaan yang tidak dapat terpasang, penyimpangan peraturan terkait dengan penempatan dana investasi dan perpajakan, bukti pertanggungjawaban tidak lengkap/valid, proses pengadaan barang/jasa tidak sesuai dengan ketentuan, dan barang hasil pengadaan yang belum dapat dimanfaatkan.

Dari seluruh permasalahan tersebut dihasilkan beberapa akibat:
1. Hasil investasi BP Jamsostek belum optimal sesuai dengan target yang telah ditetapkan.
2. BP Jamsostek kehilangan kesempatan untuk menghindari kerugian yang lebih besar pada saat harga saham yang mengalami penurunan nilai perolehan berada di atas target price yang ditetapkan.
3. Kekurangan penerimaan hasil investasi program jaminan hari tua yang berasal dari denda keterlambatan pembayaran sewa ruang dan lahan parkir pada Gedung Menara Jamsostek.
4. BP Jamsostek belum memiliki roadmap atas pengelolaan properti investasi dan belum menetapkan kebijakan terkait Highest and Best Use (HBU) untuk setiap properti investasi tanah.
5. BP Jamsostek kurang cermat dalam mengkoordinasikan kegiatan analisis terkait kondisi- kondisi yang mempengaruhi kinerja investasi, perencanaan, dan pelaksanaan transaksi investasi atas pilihan investasi yang ditetapkan serta dalam pengelolaan investasi langsung.
6. BP Jamsostek belum melaksanakan analisis saham yang memadai secara periodik dalam rangka meminimalkan pelaksanaan cut loss untuk saham-saham yang mengalami penurunan nilai perolehan (unrealized loss) melebihi toleransi minimum dalam jangka waktu lebih dari 90 hari.

Atas seluruh permasalahan dan akibatnya, BPK kemudian merekomendasikan kepada BP Jamsostek melakukan 8 poin yang diduga tidak sepenuhnya dipatuhi:

  1. Menyusun roadmapatas pengelolaan properti investasi dan menetapkan kebijakan terkait dengan tindak lanjut Highest and Best Use (HBU) untuk setiap properti investasi tanah.
  2. Menginstruksikan Direktur Pengembangan Investasi agar meninjau kembali kebijakan strategi penempatan dana portofolio investasi DJS dan BP Jamsostek pada instrumen investasi dalam rangka optimalisasi tingkat pengembalian investasi sesuai target yang ditetapkan.
  3. Menginstruksikan Direktur Pengembangan Investasi agar melaksanakan analisis yang memadai secara periodik atas keseluruhan saham yang mengalami penundaan pelaksanaan kebijakan cut loss, mengkaji ulang, dan merevisi Peraturan Direksi tentang Pedoman Pengelolaan Investasi terkait dengan pelaksanaan kebijakan cut loss yang lebih detail sehingga dapat diterapkan.

Buruh Siap Demo Besar
Presiden Kelompok Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, dugaan kasus korupsi di tubuh BPJS Ketenagakerjaan sangat melukai hati para buruh. Ia menyebut BPJS Ketenagakerjaan telah merampok buruh bila terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

"Bilamana dugaan korupsi ini terbukti dari hasil investigasi penyidikan Kejaksaan Agung maka uang buruh Indonesia telah dirampok oleh pejabat yakni para pimpinan yang berada di BPJS ketenagakerjaan," kata Said saat dihubungi Jumat (05/02/2021).

Said Iqbal menegaskan, KSPI sangat mengutuk keras terkait adanya dugaan praktik korupsi di lingkungan BPJS Ketenagakerjaan. Dia mendesak pemeriksaan terhadap dugaan skandal mega korupsi BPJS Ketenagakerjaan dilakukan secara transparan.

KSPI memberikan dukungan penuh kepada Kejaksaan Agung yang tengah melakukan penyidikan pada perkara dugaan kasus yang terjadi di lingkungan BPJS Ketenagakerjaan.

Tidak hanya itu, Said Iqbal juga meminta kepada Kejagung untuk mencekal para Direktur Utama dan para Direksi terkait yang berada di BPJS Ketenagakerjaan untuk tidak melakukan aktivitas bepergian ke Luar Negeri selama proses penyidikan sedang berlangsung.

Said Iqbal memastikan bahwa gerakan buruk akan mengawal proses penyidikan di Kejaksaan Agung terkait perkara BPJS Ketenagakerjaan tersebut. KSPI di seluruh daerah akan meminta penjelasan mengenai keberadaan uang buruh.

"KSPI akan mengerahkan puluhan ribu berbondong-bondong di seluruh wilayah Indonesia untuk menanyakan keberadaan triliunan uang buruh yang diduga telah dikorupsi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab di BPJS Ketenagakerjaan," tutupnya.

Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo mengatakan, bila berpatokan dengan penjelasan dari Kejaksaan Agung tentang modus korupsi BPJS Ketenagakerjaan yang mirip dengan kasus Jiwasraya, berarti pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sangat lemah.

Menurut dia, pengawasan investasi saham di perusahaan plat merah tetap jadi tanggung jawab OJK. Irvan sangat menyoroti lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh OJK terhadap dua perusahaan asuransi yang gagal bayar, yakni Jiwasraya dan Asabri, ditambah kini dengan BPJS Ketenagakerjaan.

"Kasus Asabri contohnya, tidak disebutkan itu berada dibawah OJK tapi nyatanya Asabri tetap melakukan pembayaran iuran kepada OJK  namun disini OJK tidak melakukan apa-apa dengan Asabri. Jadi yang terjadi pada kasus ini (BPJS Ketenagakerjaan) soal pengawasan dan penegakan sanksi," ujarnya.

Irvan menyoroti bila kasus yang terjadi dalam perkara ini, beberapa perusahaan asuransi di Indonesia terjebak pada saham lapis ketiga dengan rincian fundamental kurang baik ditambah produk reksadana yang memiliki kinerja negatif. Laporan keuangan, menurut Irvan, tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya.

"Jadi di sini beberapa perusahaan ini tidak memakai protokol investasi yang baik dan menanamkan saham pada lapis dua yang sangat fluktuatif," pungkasnya.

Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan dari perwakilan buruh Rekson Silaban membantah bila disebut BPJS Ketenagakerjaan tidak memiliki basis regulasi investasi yang jelas. Namun Rekson sepakat jika memang ada kekurangan dalam basis regulasi investasi.

"Mana mungkin lembaga seperti BPJS TK tidak memiliki basis regulasi investasi, kalau masih ada kekurangan mungkin masih masuk akal," ucapnya.

Ditanya soal detail dugaan korupsi di tubuh BPJS Ketenagakerjaan, Rekson mengaku tidak mengetahuinya karena bukan memantau sektor investasi dan anggaran.

"Saya belum tahu detailnya karena belum baca berkas apapun perihal ini (kasus BPJS TK), jadi memang masih dari media saja," ujarnya.

Sementara itu, Deputi Direktur Bidang Humas dan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan Irvansyah Utoh Banja mengatakan, pihaknya menghormati proses penyidikan di Kejaksaan Agung dan mengutamakan asas praduga tidak bersalah, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Kejaksaan Agung.

"Kami siap memberikan keterangan secara transparan untuk memastikan apakah pengelolaan investasi sudah sesuai dengan ketentuan," kata Utoh saat dihubungi, Rabu (03/02/2021).

Irvansyah Utoh memastikan, pengelolaan Investasi BPJS Ketenagakerjaan selalu mengutamakan aspek kepatuhan dan penuh dengan kehati-hatian. Dia membeberkan dana yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan per 31 Desember 2020 mencapai Rp 486,38 Triliun. Investasi tersebut terbagi menjadi lima jenis yakni surat utang, saham, deposito, reksadana, dan investasi langsung bila dikalkulasi mencapai Rp 32,30 triliun.

Berdasarkan lima jenis investasi tersebut, investasi terbesar berasal dari surat utang yang mencapai 64%, saham mencapai 17%, Deposito 10%, Reksadana 8%, dan Investasi Langsung 1%. Khusus untuk Investasi langsung, Irvansyah mengklaim saham ditempatkan di kategori LQ45 yang berarti memiliki likuiditas tinggi dan memiliki fundamental perusahaan yang baik.

"Kualitas aset Investasi BPJS sangat baik, pada 31 Desember 2020 sebanyak 98% dari portofolio saham yang ditempatkan," ujarnya.

Irvansyah Utoh menyebut jika mitra kerja BPJS Ketenagakerjaan melalui instrumen saham dan reksadana sudah melalui beberapa penilaian internal dengan mengutamakan indikator kualitatif dan kuantitatif.

Indikator kuantitatif mengacu pada penilaian melalui permodalan, likuiditas, rentabilitas, net profit margin, asset under management (AUM), market share, skor reksadana, serta aktivitas transaksi. Untuk indikator kualitatif penilaian mengacu pada komitmen, kredibilitas, reputasi baik, riset kuat, pengalaman serta update informasi.

"Mitra Investasi yang melakukan kerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan merupakan yang terbaik dan terbesar di kelasnya dan tentu sudah memiliki rekam jejak yang baik," ujarnya.

Kontribusi Laporan : Januardi Husin, Alfin Pulungan, Ghivary Apriman

(Tim Liputan Investigasi\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar