Gatot Nurmantyo dkk Gagal Beri Petisi ke Kapolri, Begini Isinya

Jakarta, law-justice.co - Gatot Numantyo, bersama rombongan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) membawa petisi untuk diberikan ke Kapolri Jenderal Idham Azis. Namun, mereka tak bisa bertemu Kapolri saat menyambangi Bareskrim Polri.

"KAMI datang ke sini dalam komposisi lengkap. Baik presidium, eksekutif maupun deklarator. KAMI adalah organisasi yang memegang teguh konstitusi dan menjunjung tinggi Moral. Untuk itu KAMI datang ke sini untuk menyampaikan petisi kepada bapak Kapolri," ujar Gatot di Mabes Polri, Kamis (15/10/2020).

Baca juga : Bahlil : Realisasi Investasi Kuartal I-2024 Capai Rp 401,5 Triliun

Gatot mengatakan penyampaian petisi tersebut berkaitan dengan penahanan petinggi KAMI. Menurut Gatot, bila ada sesuatu yang berkaitan dengan penegakan hukum dinilai kurang, maka kewajibannya sebagai warga negara adalah menyampaikan pendapat. Salah satunya melalui petisi.

"Kami menginginkan Kepolisian Republik Indonesia yang benar-benar mengawal hukum dan bisa memberikan contoh tauladan dalam penegakan hukum. Kalau ada kekurangan-kekurangan, kewajiban kami sebagai warga negara menyampaikan pendapat-pendapat dalam petisi ini. Berkaitan dengan saudara-saudara kami yang ditahan. Bukan hanya yang dari KAMI, termasuk yang lain-lainnya yang ditahan," ungkapnya.

Baca juga : Ini Isi Pertemuan Jokowi dengan PM Singapura Lee Hsien Loong

Gatot beserta rombongan tidak diizinkan masuk ke dalam gedung Bareskrim. Gatot menyampaikan bahwa kedatangannya bersama presidium KAMI sebagai wujud kecintaan terhadap institusi Kepolisian.

"Kami dapat informasi selama Covid-19 beliau jarang ada di kantor, terima kasih. Dan kedatangan kami ke sini adalah wujud secara konstitusi kemudian wujud kecintaan kami kepada kepolisian republik Indonesia," ujarnya.

Baca juga : Heru Budi Sebut Penonaktifan NIK Lindungi Warga dari Kriminalitas

Berikut ini isi petisi dari KAMI:

1. KAMI menyesalkan dan memprotes penangkapan tersebut sebagai tindakan represif dan tidak mencerminkan fungsi Polri sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. Penangkapan mereka, khususnya Dr. Syahganda Nainggolan, jika dilihat dari dimensi waktu dasar Laporan Polisi dan keluarnya Sprindik pada hari yang sama jelas aneh atau tidak lazim dan menyalahi prosedur. Lebih lagi jika dikaitkan dengan KUHAP Pasal 17 tentang perlu adanya minimal dua barang bukti, dan UU ITE Pasal 45 terkait frasa "dapat menimbulkan" maka penangkapan para Tokoh KAMI patut diyakini mengandung tujuan politis.

2. Proses penangkapan para pejuang KAMI, sangat dipaksakan, tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, bahkan terlihat seperti menangani teroris. Penangkapan Moh Jumhur Hidayat, yang sehari sebelumnya menjalani operasi batu empedu di rumah sakit, sebagai orang mantan pejabat tinggi yang pernah berjasa besar pada negara, jelas sangat berlebihan dan di luar batas prikemanusiaan.

3. Pengumuman pers Mabes Polri oleh Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono tentang penangkapan tersebut KAMI nilai:

A. ) Mengandung nuansa pembentukan opini (framing). Melakukan generalisasi dengan penisbatan kelembagaan yang bersifat tendensius.

B.) Bersifat prematur yaitu mengungkapkan kesimpulan dari proses pemeriksaan yang masih berlangsung.

4. Semua hal di atas, termasuk membuka nama dan identitas seseorang yang ditangkap, menunjukkan bahwa Polri tidak menegakkan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang seyogyanya harus ditegakkan oleh lembaga penegak hukum/Polri.

5. KAMI menegaskan bahwa ada indikasi kuat handphone beberapa Tokoh KAMI dalam hari-hari terakhir ini diretas/dikendalikan oleh pihak tertentu sehingga besar kemungkinan disadap atau "digandakan" (dikloning). Hal demikian sering dialami oleh para aktivis yang kritis terhadap kekuasaan negara, termasuk oleh beberapa tokoh KAMI. Sebagai akibatnya, "bukti percakapan" yang ada sering bersifat artifisial dan absurd.

6. KAMI menolak secara kategoris penisbatan atau pengaitan tindakan anarkis termasuk pembakaran gedung (sebagaimana diberitakan oleh media sosial)

7. KAMI meminta Polri membebaskan para tokoh KAMI dan korban lainnya yang sengaja dijerat menggunakan UU ITE yang banyak mengandung "pasal karet" dan patut dinilai bertentangan dengan semangat demokrasi dan konstitusi yang memberi kebebasan berbicara dan berpendapat kepada rakyat warga negara.
Kalaupun UU ITE tersebut maundi terapkan, maka Polri harus berkeadilan yaitu tidak hanya membidil KAMI dan pihak lain yang dianggap melawan pemerintah saja, sementara banyak pihak di media sosial yang mengumbar ujaran kebencian yang berdimensi SARA tapi Polri berdiam diri.