Nasib Tragis Indofarma: ‘Dibunuh’ dari Luar, Digerogoti di Dalam

Membongkar Peran Anak Perusahaan dalam Dugaan Fraud di Indofarma

law-justice.co - Nasib tragis tengah dialami oleh BUMN Farmasi Indofarma. Saat perusahaan farmasi mendapat cuan berlimpah akibat pandemi Covid19, Indofarma justru tersambar badai. Perusahaan mencatatkan kerugian secara konsisten 3 tahun terakhir. Selain akibat ‘dibunuh’ oleh persaingan, fraud dengan modus melalui anak perusahaan memiliki andil menghancurkan keuangan perusahaan. Masih adakah harapan untuk penyelamantan?

Eksis sebagai produsen obat sejak 1918 sebelum proklamasi Republik Indonesia, perusahaan obat ini lantas dinasionalisasi di tahuin 1956. Sebenarnya perusahaan ini relatif sehat, meskipun beberapa kali dilanda badai finansial. Hanya saja, catatan keuangan perusahaan memburuk setelah BUMN Farmasi menjadi Holding yang dipimpin Biofarma.

Baca juga : Begini Respons Ganjar, Anies, Mahfud Soal Wacana Tambah Kementerian

Bahkan, korporasi kini tengah kesulitan untuk membayar gaji karyawan. Hingga menjelang April 2024, ribuan pekerja PT Indofarma (Persero) Tbk belum menerima gaji. Direktur Utama Indofarma, dalam laporan keterbukaan publik mengemukakan ada dua alasan belum membayar gaji karyawan, pertama akibat adanya PKPU-S sehingga pembayaran gaji karyawan mesti persetujuan pengurus. Kedua, perusahaan tidak memiliki duit operasional.

Baca juga : Usai 20 Tahun Bekerja, Nasib Pegawai Bata: Galau, Dibayar 1 Bulan Gaji

Ilustrasi: Karyawan Indofarma merupakan pihak yang paling terdampak dari kerugian BUMN Farmasi ini. Hingga akhir April 2024, ribuan pekerja PT Indofarma (Persero) Tbk belum menerima gaji.(Suara)

Menyikapi kegamangan ini, serikat pekerja perusahaan pelat merah tersebut lantas melakukan upaya hukum. Teranyar, serikat pekerja menempuh langkah tripartit di Kemnaker. Namun, hasil mediasi Kemnaker yang mempertemukan pihak manajemen Indofarma dan serikat pekerja belum berarti apa-apa bagi kejelasan gaji pekerja.

Baca juga : Simak Syaratnya, Kemenkes Buka Lowongan Kerja Besar-besaran

Tidak hanya gaji, tunjangan dan BPJS Ketenagakerjaan juga tak kunjung dibayarkan BUMN farmasi itu. “Kami tetap disuruh kerja, (tapi) kami tidak dikasih bensin, tidak dikasih makan (merujuk pada gaji). Ketika kami bicara dengan direksi, putar-putar saja (diskusi tak berarti), enggak ada solusinya. Lalu kemana kami akan teriak bahwa kami baju yang BUMN ini nyatanya sampai detik ini kami lapar,” kata Ketua Serikat Pekerja Indofarma Meida Wati dalam forum tripartit di Kemnaker, Selasa (23/4/2024).

Dalam pernyataannya di depan pihak kementerian dan manajemen Indofarma, Meida bilang bakal terus menagih hak pekerja yang dibiarkan terkatung-katung oleh perusahaan. “Di belakang kami 1.100 pekerja Indofarma teriak. Kalau sampai akhir bulan ini (April) ada tindakan, kami akan bersikap. Kami akan teriak bahwa kami berbaju BUMN, faktanya kami tidak bisa makan,” ujarnya.

Dalam rekaman mediasi yang diterima Law-justice, pihak Kemnaker hanya merespons secara diplomatis. “Kami di sini mensupport. Momen hari ini bagian dari upaya kami memberikan perhatian. Kami coba menggali lebih dalam, ini yang akan kita laporkan kepada pimpinan. Nanti langkah-langkah apa yang serikat pekerja harapkan, itu akan kami usahakan. Dirjen sudah dengar masalah ini,” ujar seorang perwakilan Kemnaker dalam rekaman.

Digerogoti Lewat Fraud di dalam korporasi

Di saat ribuan pekerja tak menerima gaji, ternyata direksi dan komisaris Indofarma sempat menerima tunjangan berlebih yang tidak sesuai ketentuan. Hal ini diungkap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK-RI) dalam laporannya. Penerimaan tunjangan yang tak sesuai ketentuan ini terjadi dalam periode 2018-2019 saat direktur utama kala itu dijabat oleh Arief Pramuhanto dan Komisaris Utama dijabat Siswanto serta komisaris independen diemban Teddy Wibisana. Untuk nama yang terakhir disebut masih menjabat sampai kini.

Berdasarkan hasil pemeriksaan atas dokumen pembayaran asuransi purna jabatan pada, BPK menemukan adanya kelebihan pembayaran tunjangan asuransi purna jabatan dewan komisaris dan direksi sebesar Rp498.452.050. Ketidaksesuaian pembayaran tunjangan asuransi ini karena tiga hal, pertama tunjangan dibayarkan berdasar faktor pengkali 13 bulan dalam setahun. Padahal merujuk regulasi, jumlah faktor pengali seharusnya hanya 12 bulan karena dasar perhitungannya adalah gaji yang diterima dalam setahun.

Kedua, kelebihan bayar karena pembayaran premi asuransi dibayarkan berdasar gaji yang sebelum dikurangi iuran BPJS. Sehingga menyebabkan tunjangan yang dibayarkan lebih banyak. Berikutnya, premi asuransi dibayarkan tidak sesuai masa jabatan. Dalam perhitungan auditor negara, terdapat pembayaran kepada direksi dan komisaris di luar masa jabatannya.

Selain direksi dan komisaris Indofarma, BPK juga mengungkap ada kelebihan bayar tunjangan asuransi purna jabatan terhadap direksi maupun komisaris dari anak perusahaan Indofarma, yakni PT Indofarma Global Medika (IGM). Jumlahnya mencapai Rp608.736.798. Sehingga kalau ditotal kelebihan bayar Indofarma dan anak perusahaannya mencapai miliaran rupiah. Pola penyimpangan yang berujung kelebihan bayar tunjangan pun serupa.

Tangkapan layar hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) Terhadap PT Indofarma. (ist)

Di PT IGM dan Indofarma, terungkap juga bahwa ada tunjangan transportasi terhadap komisaris dan direksi yang semestinya tidak berhak didapat mereka. Jumlah tunjangan yang menyimpang ini mencapai Rp149 jutaan.

Auditor negara juga mengungkap adanya biaya promosi produk yang seharusnya mendatangkan profit, tapi justru membebani keuangan perusahaan. Ini terkait biaya pemasaran yang diberikan kepada cucu perusahaan, yakni PT Promosindo Medika (Promedik). Adapun Promedik didirikan oleh IGM pada 2007.

Kontrak pemasaran antara Indofarma dan Promedik terjadi pada 2018 dengan temuan selisih atau margin biaya pemasaran hingga miliaran rupiah. Hal ini dikarenakan dasar perhitungan biaya promosi produk dari Indofarma kepada Promedik menggunakan harga neto apotek (HNA) atau harga jual obat dari distributor kepada apotek atau outlet. Sementara itu, penghitungan HNA sebagai dasar pemberian komisi pemasaran kepada Promedik adalah menghitung harga jual pabrik (HJP) ditambah fee atau margin untuk distributor.

Melalui skema ini, justru Indofarma selaku produsen tidak diuntungkan sepenuhnya. Keuntungan yang berlebih dari pejualan, lantas tidak terserap semuanya. "Terdapat selisih (keuntungan seharusnya) sebesar Rp3.284.740.243," petik laporan BPK.

Keterkaitan IGM dalam membebani keuangan Indofarma, juga diungkap BPK ketika belum memiliki standar operasional prosedur penjualan bisnis kerjasama operasional (KSO) laboratorium patologi IGM. Pada 2018, IGM melakukan penjualan aset keuangan yang dimilikinya berupa saham di PT Indo Genesis Medika kepada PT Kreasi Putra Nusantara. Nilai buku saham yang dijual sebesar Rp51,740 miliar. Adapun nilai jual pelepasan saham tersebut Rp99 miliar. Nilai saham dari KSO ini didapat dari aktivisitas bisnis penyediaan laboratorium di 12 rumah sakit yang dimiliki IGM. Dalam hal ini, Indofarma yang seharusnya mendapat jatah dalam pelepasan saham ini, justru sebaliknya.

Sebab, kondisi keuangan Indofarma yang juga memiliki saham di anak perusahaannya itu justru mencatatkan laba namun rugi sebesar Rp25,298 miliar. Ditambah, IGM pun hanya mencatat laba sebesar Rp9,787 miliar. Sehingga pelepasan saham ini tidak dapat memberikan deviden kepada Indofarma. "Indofarma tetap mengalami minus cash flow secara total sebesar Rp109.693.300.344. "Hal tersebut karena direksi PT IGM tidak cermat melakukan penjualan KSO dengan mengacu peraturan," petik laporan BPK.

Auditor negara juga menemukan adanya pengalihan pekerjaan penyediaan barang/jasa proyek dengan Kemenkes yang digarap IGM. Pada periode 2018-2019, IGM memperoleh paket pekerjaan pengadaan penyediaan makanan tambahan ibu hamil dan balita sebesar Rp1,2 triliunan.

Akan tetapi, IGM saat sudah dipercayakan menggarap proyek itu, justru mengalihkan produksi dan distribusinya ke pihak lain, yakni ke PT Good Will Indonesia Jaya (GWIJ). Pengalihan proyek pengadaan dan distribusi ini pun tidak bisa dipertanggun jawabkan secara administratif.

Hal tersebut mengakibatkan potensi adanya kewajiban kontijensi atas pelanggaran ketentuan pengalihan secara keseluruhan. Auditor juga menyatakan IGM berpotensi menghadapi permsalahan hukum karena pengalihan tanpa izin ini.

Laba Konsisten Merosot

Anggota Komisi VI DPR RI Harris Turino turut menanggapi terkait kisruh yang terjadi di BUMN Farmasi dalam hal ini adalah Indofarma. Salah satu yang menjadi problem di BUMN Farmasi ini salah satunya adalah soal biaya produksi obat yang tinggi.

"Kalau bicara soal BUMN Farmasi inikan terkadang biaya produksi obat lebih tinggi daripada harga jual obat," kata Harris kepada Law-Justice, Kamis (25/04/2024).

Politisi PDIP itu menyatakan hal tersebut menjadi salah satu faktor yang tidak masuk akal dan menyebabkan BUMN Farmasi tersebut rugi. "Dengan kondisi seperti itu, bagaimana perusahaan itu bisa hidup," ungkapnya.

Untuk itu berkaca dari kasus Indofarma, Harris mendesak kepada stakeholder terkait untuk bersungguh-sungguh dalam menyelesaikan permasalahan di BUMN Farmasi. "Untuk itu harus diselesaikan permasalahan utang dan inefisiensi anak perusahaan," imbuhnya.

Harris menyebut bila jajaran Direksi BUMN ini juga diharapkan dapat melakukan pembenahan secara menyeluruh supaya permasalahan dapat segera diselesaikan. Untuk itu, Harris menekankan perlunya ada keterbukaan dari pemerintah dan BUMN terkait, setelah itu restrukturisasi BUMN ini akan ditata oleh Holding BUMN tersebut.

"Agar permasalahan dapat segera diselesaikan, jadi harus ada keterbukaan dan nanti dari holding yang menata restrukturisasinya seperti apa," tegasnya.

"Pemerintah juga punya peranan penting untuk pastikan bumn farmasi ini bisa selamat secara menyeluruh," sambungnya.

Legislator Jateng tersebut juga memaparkan bila Menteri BUMN Erick Thohir harus juga memperhatikan secara serius untuk membenahi masalah yang terjadi di Indofarma secara serius. "Tentu pihak terkait ini juga harus membenahi ini (Indofarma) secara serius," paparnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Mohamad Hekal. (Parlementaria)

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Mohamad Hekal mempertanyakan tentang kondisi aktual kinerja keuangan dan operasional, permasalahan serta tantangan yang dihadapi oleh BUMN Farmasi.

Terkait dengan dinamika yang terjadi di BUMN Farmasi terutama Indofarma, Hekal menyebut perlu ada langkah terobosan yang dilakukan oleh perusahaan. "Bicara soal BUMN Farmasi, meskipun terdapat penurunan Kinerja di tahun 2022, namun apabila aktivitas terkait Covid dikecualikan, kinerja Biofarma di tahun 2022 lebih baik dari 2021. Pada tahun 2023, Bio Farma Group akan melakukan perbaikan fundamental perusahaan untuk menyesuaikan dengan kondisi pasar kesehatan yang berubah diakibatkan oleh perubahan pola konsumsi," kata Hekal melalui keterangan yang diterima Law-Justice, Jumat (26/04/2024).

Politisi Partai Gerindra tersebut menuturkan penurunan kinerja Bio Farma Group diduga karena selesainya program vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan. Penurunan kinerja tersebut bahkan hingga terkait pendapatan perusahaan.

Hekal menyebut bila Komisi VI sempat menyinggung tentang penurunan Kinerja di tahun 2022, pada tahun kerja selanjutnya, Bio Farma Group didesak melakukan perbaikan fundamental perusahaan.

"Terjadinya penurunan kinerja Bio Farma group ini terjadi karena selesainya program vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan," ujarnya.

Politisi dari Fraksi Partai Gerindra ini mengungkapkan, Pendapatan PT Bio Farma (Persero) secara konsolidasi (holding) mencapai Rp21,539 triliun di tahun 2022 mengalami penurunan 50,4 persen dari tahun 2021. Secara detail hal ini bisa dilihat pada pendapatan Bio Farma yang mengalami penurunan 63,6 persen dari tahun 2021 atau mencapai Rp 11,026 triliun.

"Dengan mengintegrasikan seluruh kompetensi yang dimiliki, dan memadukan seluruh talenta serta kemampuan untuk berinovasi Bio Farma tetap optimistis untuk mempersiapkan program-program transformasi sebagai roadmap bagi pengembangan BUMN Farmasi menjadi Leading Life Science Company kelas dunia," tutupnya.

Sengaja ‘Dibunuh’ Perlahan untuk Dijual?

Sementara itu, Sekretaris Kementerian BUMN 2005-2010 Said Didu  mengaku terkejut bila Indofarma kini tengah berada dalam kondisi krisis. Dia mengatakan, Indofarma ini dari dulu merupakan perusahaan yang sehat dan menjadi miris bila perusahaan ini menunggak gaji ke karyawan. "Kaget juga, ini (Indofarma) dari dulu perusahaan sehat," kata Said kepada Law-Justice, Kamis (25/04/2024).

Said menyebut bila Indofarma selama ini punya peranan dalam menanggulangi pandemi covid. Namun ia bingung mengapa Indofarma bisa merugi bahkan hingga menunggak gaji karyawan. Hal tersebut, tutur Said ditambah bila Indofarma ini sudah disuntik oleh APBN melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) yang besar. "Indofarma adalah BUMN yang selalu sehat karena produksi vaksin yang digunakan di berbagai negara tapi sekarang ini nasibnya tidak jelas," tuturnya.

Hal lain yang menjadi faktor, menurutnya adalah terkait penugasan khusus yang diberikan oleh Pemerintah kepada BUMN. Pemerintah dalam hal ini mengabaikan Pasal 66 UU BUMN. “Pemerintah tidak pernah menggunakan Pasal 66 UU BUMN terkait penugasan khusus, yang mana tidak pernah ada penugasan kepada BUMN secara tertulis berdasarkan hitungan yang disiapkan biaya oleh Pemerintah,” jelasnya.

Said juga menjelaskan bahwa terjadinya pergeseran yang besar dari prinsip PMN. Prinsip PMN itu adalah penyelamatan dan penugasan.  "Misalnya kalau tidak dikasih modal, maka ruginya akan membesar. Bukan karena rugi, lalu diganti” ujarnya.

Belajar dari kasus Indofarma, Said meminta kepada Pemerintah untuk evaluasi lebih lanjut mengenai pemberian PMN kepada BUMN. Menurutnya, jangan sampai yang menerima PMN adalah mereka yang masih memiliki modal dan perlu diperhatikan juga dari kesehatan BUMN tersebut. "ini secara tidak langsung mengambil uang rakyat melalui APBN untuk digunakan berbisnis. Sementara rakyat kekurangan subsidi,” ungkapnya.

Sekretaris Kementerian BUMN 2005-2010 Said Didu. (Fajar)

Law-Justice mencoba mengkonfirmasi kepada Kementerian BUMN terkait kasus yang terjadi di Indofarma. Namun, hingga saat ini pihak dari Kementerian BUMN belum memberikan konfirmasi apapun terkait permasalahan yang terjadi di Indofarma.

Ekonom dari Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, menekankan ada permasalahan serius dalam neraca keuangan Indofarma. Menurutnya, dari sisi revenue, Indofarma sebenarnya cukup bagus, terlebih saat masa pandemi Covid-19. Tetapi, net profit marginnya justru negatif, bahkan sebelum Covid.

“Padahal kenaikan revenue itu berdampak pada net income, tapi kok enggak sebanding. Dugaan saya revenue seperti ini, seperti temuan BPK yang revenue seharusnya bisa dikeep untuk Indofarma tapi diserahkan ke anak perusahaan, itu yang menyebabkan net income-nya jadi tipis,” kata Achmad kepada Law-justice, Kamis (25/4/2024). 

Melihat sengkarut keuangan Indofarma, Achmad lantas menduga ada pihak yang ingin sengaja membubarkan BUMN farmasi itu. Tentunya, kata dia, motif pihak ini untuk mengeruk keuntungan dari bisnis farmasi yang selama ini digarap Indofarma.

“Sejak Indofarma jadi sub holding, ini seperti ada komplotan yang ingin melemahkan Indofarma. Komplotan ini bergeraknya sistematis. Bisa jadi ini bukan orang direksi saat ini. Ada sekelompok orang yang ingin membunuh bisnis Indofarma,” kata dia.

Menurutnya, pelemahan keuangan Indofarma menjadi sinyal bahwa operasi untuk membubarkan Indofarma telah dimulai secara perlahan. “Mereka melihat ini harus tidak diselamatkan, sehingga aset-aset Indofarma, seperti pabrik, alat-alat bisa diambil alih perusahaan-perusahaan lain. Menurut saya ini kejahatan yang diprediksi sudah lama dilakukan,” tuturnya.

Dia tidak menyebut secara gamblang pihak mana saja yang terlibat, namun yang jelas adalah tali temali antara perusahaan swasta di bidang farmasi nasional dengan internal BUMN.  

“Komplotan ini terdiri dari elite di Kementerian BUMN dan ada juga sindikasi perusahaan farmasi nasional. Kalau dilihat perusahaan swasta farmasi nasional itu kekayaannya meningkat terus, mereka termasuk yang punya kepentingan,” kata dia.

Selain aset fisik, Achmad menduga, pelemahan Indofarma juga menyasar keuntungan dari sahamnya. Dengan neraca keuangan yang terus memburuk, kata dia, bisa saja saham Indofarma dilepas dengan harga murah. “Sebab ada gejala kalau pemerintah ingin akuisisi, perusahaan BUMN itu sahamnya dinaikkan, tapi di saat swasta ingin akuisisi BUMN, sahamnya diturunkan.

“Jadi ini sengaja dibikin serendah mungkin sampai akhirnya ada top up dari pemerintah tidak berdampak lagi, sehingga akhirnya pemerintah dan DPR melepas Indofarma ke swasta dengan harga murah,” ia menambahkan.

Biofarma selaku Holding BUMN Farmasi semestinya bertanggungjawab terhadap keadaan yang terjadi di Indofarma ini. Meskipun sudah mengucurkan pinjaman hingga meyentuh Rp 355 Milyar, namun pengelolaan terhadap pinjaman tersebut tampaknya tidak berdampak pada pemulihan perusahaan. Alih-alih, kini Indofarma terancam keilangan aset yang dijaminkan terkait pinjaman tersebut.

Pemerintah melalui Kementerian BUMN pun semestinya mulai mengevalui proyek Holdingisasi BUMN. Faktanya sejumlah holding BUMN ternyata tidak memberikan konstribusi yang signifikan terhadap perkembangan korporasi. Justru, seperti yang terjadi di BUMN Farmasi ini. Holdingisasi BUMN Farmasi, tanpa pendampingan dn proyeksi yang memadai justru terancam menyeret  BUMN ke jurang pailit.

Hal lain yang menarik, dari kasus Indofarma, tampaknya Kementerian BUMN agak alergi menggunakan perangkat penegakan dalam menyehatkan BUMN ini. Meskipun indikasi fraud sudah lama didengungkan oleh Komisaris perusahaan ini. Upaya yang dilakukan oleh kementerian BUMN selama ini, terkesan, hanya membuat BUMN ini sekedar bertahan hidup.

Kini, di tengah krisis pasca pandemi, tantangan baru datang. Ancaman pailit dari sejumlah debitur, defisiensi perusahaan, hingga ancaman tak bisa membayar gaji menjadi ancaman menuju jurang kepailitan. Demi  industri farmasi nasional dan ribuan karyawan yang nasibnya tergantung korporasi, Menteri BUMN Erick Thohir mesti segera meluncurkan skema penyelamatan Indofarma