Ada Dalam Dakwaan, Pinangki Bantah Sebut Nama Jaksa Agung & Hatta Ali

Jakarta, law-justice.co - Dalam dakwaan terdakwa Jaksa Pinangki terkait kasus gratifikasi dan TPPU, nama Jaksa Agung ST Burhanuddin dan mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali disebut. Namun, dalam sidang lanjutan dengan agenda pembacaan eksepsi atau nota pembelaan Jaksa Pinangki membantahnya.

Hal itu disampaikan oleh disampaikan salah satu penasihat hukum Pinangki, Jefri Moses yang mengaku heran dengan munculnya dua nama tersebut dalam dakwaaan kliennya.

Baca juga : Tangani Kasus Kakap, Jaksa Agung Ungkap Perspektif Kerugian

“Perihal nama Bapak Hatta Ali dan Bapak ST Burhanudin yang ikut dikait-kaitkan namanya belakangan ini dalam permasalahan hukum terdakwa, sama sekali tidak ada hubungannya, dan terdakwa tidak pernah menyebut nama beliau dalam proses penyidikan dan penuntutan perkara terdakwa,” katanya dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (30/9/2020).

Dalam eksepsi itu, Pinangki menegaskan tidak ada hubungan dengan dua nama tersebut. Pinangki, lanjut penasihat hukum, hanya mengetahui Hatta Ali sebagai mantan Ketua Mahkamah Agung. Pinangki juga tidak mengenal secara personal dan tidak pernah berkomunikasi dengan Hatta Ali.

Baca juga : Kementerian BUMN dan BPKP Jalin Kerja Sama Penguatan Tata Kelola BUMN

Selain itu, Pinangki juga hanya mengetahui ST Burhanuddin sebagai atasannya atau Jaksa Agung di institusi hukum tempatnya bekerja. “Namun, tidak kenal dan tidak pernah berkomunikasi dengan beliau,” jelas dia.

Pinangki dalam eksepsi itu, juga menegaskan penyebutan nama-nama tersebut bukan didasarkan oleh pernyataannya. Karena itu, Pinangki heran adanya pemberitaan atau surat dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum, yang menyeret dua nama tersebut.

Baca juga : Jaksa Agung Lantik Amir Yanto Jadi Kepala Badan Pemulihan Aset

“Dapat kami sampaikan dalam momen ini, penyebutan nama pihak-pihak terebut bukanlah atas pernyataan terdakwa dalam proses penyidikan, namun karena ada orang-orang yang sengaja mau mempersalahkan terdakwa, seolah-olah dari terdakwalah yang telah menyebut nama pihak-pihak tersebut. Terdakwa sejak awal dalam penyidikan menyampaikan tidak mau menimbulkan fitnah bagi pihak-pihak yang namanya selalu dikait-kaitkan dengan terdakwa,” kata penasihat hukum.

Pinangki merasa ada pihak-pihak yang sengaja menggunakan kasus ini untuk kepentingan tertentu, khususnya kepada nama-nama yang disebutkan dalam action plan. Terdakwa pun khawatir perkara yang membelitnya ini dijadikan alat untuk menjatuhkan kredibilitas pihak-pihak lain. Mengenai action plan dalam surat dakwaan, penasihat hukum mengklaim Pinangki bukan pihak yang membuatnya.

“Sejak awal pemeriksaan di penyidikan terdakwa tidak mau berspekulasi dengan nama-nama yang ada dalam action plan karena memang tidak tahu dari mana asal action plan tersebut apalagi isi di dalamnya sehingga menjadi pertanyaan besar, kenapa Terdakwa masih didakwa dengan suatu hal yang nyata-nyatanya tidak terjadi,” kata dia.

Selain itu, penasihat hukum juga sepakat dengan dakwaan jaksa yang menjeratnya dengan permufakatan jahat sebagaimana termuat dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kubu Pinangki menyebut dakwaan itu sangat dipaksakan baik oleh para penuntut umum dan penyidik.
Penasihat hukum menilai tuduhan penuntut umum yang menuduh kliennya membantu pengurusan Fatwa Mahkamah Agung sehubungan dengan Putusan PK agar Djoko tidak dapat dieksekusi, secara fakta tidak jadi dilaksanakan.

"Karena Djoko Sugiarto Tjandra telah menyatakan Action Plan proses fatwa tersebut tidak masuk akal dan memilih untuk menempuh jalur Pengajuan Peninjauan Kembali melalui pengacara Anita Kolopaking,” tutupnya.