Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Mengendus Aroma Tebang Pilih pada Penangkapan Edhy Prabowo

Sabtu, 28/11/2020 10:44 WIB
Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Breaking news pagi itu yang mengabarkan ditangkapnya Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo (EP) sungguh sangat menyesakkan dada, khususnya bagi seluruh jajaran partai Gerindra. Bagaimana tidak, inilah peristiwa fenomenal yang paling tidak mengenakkan selama partai ini berdiri
hingga sepuluh tahun usianya.

Padahal selama sepuluh tahun ikut berkiprah di dunia perpolitikan Indonesia sebagai partai oposisi, rapot partai Gerindra terlihat fine fine saja. Sejauh ini nyaris tdak ada kasus korupsi yang menjerat pejabat publik dari partai ini yang membuatnya terperosok begitu dalam sehingga membuat ancaman krisis kepercayaan di kalangan pendukungnya.

Oleh karena itu kasus yang menimpa Menteri KKP Edhy Prabowo menjadi batu ujian cukup berat bagi partai Gerindra untuk menapaki perjalanan ke depannya. Karena bagaimanapun kejadian ini telah merobohkan sebagaian tiang penyangga kepercayaan publik pada partai Gerindra yang selama ini istiqomah dijalur oposisi sebagai pilihan garis politiknya.

Segera setelah penangkapan menteri KKP Edhy Prabowo, ramai dibicarakan publik mengenai duduk persoalan yang menjerat Edhy Prabowo dan kawan kawannya. Dalam hal ini ada yang menilai Edhy Prabowo sengaja disorong pihak-pihak tertentu sedemikian rupa agar masuk pusaran menjadi tersangka KPK.

Tak ketinggalan juga sorotan yang ditujukan pada posisi KPK. Ada yang menilai dengan adanya penangkapan Edhy Prabowo menunjukkan bahwa KPK yang selama ini dianggap lemah tak berdaya setelah direvisi Undang Undangnya, tidak benar adanya. Penangkapan itu menunjukkan bahwa KPK masih ada giginya.

Tetapi ada juga yang menilai bahwa penangkapan Edhy Prabowo KPK dinilai tebang pilih alias tidak independent dalam mengusut korupsi yang ditanganinya. Penangkapan EP juga dinilai mengandung muatan politis untuk “menggergaji” salah satu kekuatan politik yang saat ini menjadi pendukung istana. Benarkah demikian?

Sengaja Disorong?

Saat ini Edhy Prabowo sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Ia menjadi tersangka atas kasus dugaan suap terkait perizinan tambak, usaha, dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya. Selain Edhy Prabowo, KPK juga menetapkan 6 tersangka lainnya. Dua tersangka yang awalnya buron kabarnya sekarang sudah menyerahkan diri yaitu Amiril Mukminin dan Andreau Pribadi Misata.

Seperti dijelaskan Wakil Ketua KPK, Nawawi Pamolango dalam konferensi persnya, kasus ini awalnya dimulai dengan penerbitan Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas atau Due Diligence Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster pada tanggal 14 Mei 2020. Setelah pernerbitan SK itu selanjutnya Edhy Prabowo memutuskan menunjuk staf khususnya yaitu Andreau Pribadi Misanta sebagai Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas atau Due Diligence dan Safri sebagai Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas atau Due Diligence.

"Salah satu tugas dari Tim ini adalah memeriksa kelengkapan administrasi dokumen yang diajukan oleh calon eksportir benur,” kata Nawawi saat konferensi persnya di Jakarta pada Rabu (25/11/2020).

Selanjutnya pada awal Oktober 2020, Suharjito selaku Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP) datang ke kantor KKP di lantai 16 dan bertemu dengan Safri staf Edhy Prabowo. Dalam pertemuan tersebut, diketahui untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui forwarder PT Aeor Citra Kargo (ACK) dengan biaya angkut Rp1800/ekor yang merupakan kesepakatan antara Amiril Mukminin (Sespri menteri KKP) dengan Andreau dan Siswadi (pengurus PT ACK).

Atas kegiatan ekspor benih lobster tersebut, PT DPP diduga melakukan transfer sejumlah uang ke rekening PT ACK dengan total sebesar Rp731.573.564. Selanjutnya PT DPP atas arahan Edhy melalui Tim Uji Tuntas (Due Diligence) memperoleh penetapan kegiatan ekspor benih lobster/benur dan telah melakukan sebanyak 10 kali pengiriman menggunakan perusahaan PT. ACK.

Yang menarik dalam kasus ini adalah hadirnya sosok Andreau Pribadi Misata yang merupakan staf khusus Menteri KKP Edhy Prabowo, sekaligus Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligince). Ia disebut memegang peranan penting dalam ekspor benih lobster, termasuk penunjukkan perusahaan jasa kargo.

Dikutip dari sumber Tempo menuturkan, Andreau beberapa kali mengatur pertemuan dengan para eksportir lobster, termasuk dalam pembentukan Perkumpulan Pengusaha Lobster Indonesia (Pelobi). Andreau juga disebut-sebut berperan dalam penunjukan PT Aero Citra KArgo sebagai penyedia jasa tunggal lobster ke luar negeri melalui Bandara Soekarno-Hatta.

Dilihat dari rekam jejaknya, Andreau sempat menjadi calon anggota DPR dari PDIP dalam Pemilu 2019. Gagal dalam pemilihan legislatif, dia masuk sebagai Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo pada Februari-Maret 2020.

"Saat itu sedang masa pembahasan aturan ekspor benih lobster," kata seorang sumber seperti dikutip dari Koran Tempo.

Selain menjadi calon anggota legislatif, Andreau menjadi anggota tim pemenangan Joko Widodo-Ma`ruf Amin. Dalam akun Instagram-nya, Andreau memajang swafoto bersama Presiden Joko Widodo dan ketua tim kampanye saat itu, Erick Thohir. Dia juga memamerkan foto bersama politikus senior PDIP, Aria Bima, yang ia sebut sebagai mentor dalam berpolitiknya.

Selain sosok Andreau Pribadi Misata, dalam pusaran kasus suap benih benur ini ada juga nama yang sering disebut sebut yaitu Ali Mochtar Ngabalin. Tenaga Ahli Utama KSP, Ali Mochtar Ngabalin, diketahui memiliki jabatan di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Jabatan Ngabalin sendiri di kementerian tersebut menjadi Pembina Komite Pemangku Kepentingan dan Kebijakan Publik Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ngabalin diketahui ikut mendampingi kunjungan Edhy Prabowo ke Amerika bahkan di mata Najwa ia sempat memberikan kesaksiannya terkait penangkapan Edhy Prabowo di bandara.

Sejauh ini Ngabalin dikenal sebagai orang dekat istana dan menjadi pendukung utama pemerintah yang sekarang berkuasa. Ngabalin memang tidak menjadi tersangka, tapi keikutsertaannya ke Amerika mendampingi Edhy Prabowo ikut menjadi tanda tanya.

Dengan adanya orang orangt dekat istana di lingkungan kementerian KKP tersebut memunculkan dugaan bahwa kebijakan-kebijakan Edhy Prabowo memang tidak lepas dari kontrol dan “intervensi” mereka. Karena dengan masuk ke kandang lawan, sebagai pemain baru yang ikut menikmati kue kekuasaan tentunya sangat riskan adanya kemungkinan jebakan jebakan dalam menjalankan kebijakannya.

Dalam hal ini mungkin Edhy Prabowo sudah terlena karena terlanjur merasa ‘nyaman’ denga kondisi yang ada. Merasa berada di kandang kawan sendiri padahal sesungguhnya sedang berada di “kandang lawan”, yaitu bekas lawan pada laga pilpres yang lalu. Bisa jadi ia juga merasa sudah aman setelah adanya revisi UU KPK yang telah mengamputasi kewenangannya.

Sekian lama KPK vakum tidak ada penangkapan, mungkin ia menduga KPK tidak mungkin melakukan penangkapan penangkapan lagi seperti sebelum direvisi Undang-Undangnya. Toh soal mendapatkan “fee” ekspor atau impor itu dianggap hal yang biasa dikementerian lainnya.

Sebagai pendatang baru dilingkaran kekuasan memang seyoyanya harus ekstra waspada. Kita masih ingat pertengahan tahun 2020 lalu ketika heboh mark up proyek pembelian alutsista di Kementerian Pertahanan yang diungkap langsung oleh adik Prabowo, yaitu Hashim Djojohadikusumo.

Mark up pengadaan alutsista sebesar USD 50 juta atau setara Rp 50 triliun nilainya. Nilai yang sangat fantastis karena hampir setara dengan APBD 10 kota/kabupaten di pulau Jawa. Saat itu Prabowo ‘lolos’dari ‘jebakan’ maut peluang korupsi yang bisa dilakukannya.

Namun seperti diketahui bersama, proyek pengadaan alutsista itu dibatalkan oleh Prabowo. Pembatalan proyek alutsista telah menuai pujian banyak pihak sehingga disebut sebut Prabowo telah berhasil menyelamatkan uang negara. Andaikan saja Prabowo saat itu tergoda dengan proyek prestisius yang telah di mark up tersebut mungkin nasibnya akan sama dengan Edhy Prabowo yang menjadi tersangka.

Sebagai pendatang baru dilingkaran kekuasaan, kiranya tidak berkelebihan kalau muncul kemungkinan adanya perangkap untuk menjerat para pendatang barunya. Perangkap untuk menjatuhkan namanya sekaligus membunuh karakter dan mendegradasi kredibilitasnya. Apalagi pendatang baru dilingkaran kekuasan itu berpotensi menjadi pesaing nantinya.

Selain itu, kehadiran pendatang baru mau tidak mau mengurangi jatah kekuasaan yang seharusnya mereka nikmati bersama setelah berhasil menang pada laga pemilu sebelumnya. Apalagi dorongan untuk mengadakan resufle sudah mengemuka sejak lama. Mereka yang memiliki syahwat kekuasaan dari kubu petahana nampaknya akan tetap mengincar posisi strategis di pemerintahan untuk ditempatinya.

Sinyalemen tersebut mengemuka diantara setelah Relawan Jokowi Mania (Jo-Man) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) me-reshuffle 10 menteri. Jo-Man menganggap menteri-menteri ini pantas diganti karena memiliki kinerja buruk selama di Kabinet Indonesia Maju dimana salah satu menteri itu adalah Menteri KKP Edhy Prabowo yang dinilainya gemar berbisnis dalam menjalankan kebijakannya.

Terlepas dari kiprah EP sendiri yang disinyalir terindikasi berbisnis dalam menjalankan kebijakannya, apakah mungkin semua ini terjadi disebabkan ada kekuatan terselubungn yang mendorong supaya EP digiring untuk dijadikan tersangka oleh KPK?

Aroma Tebang Pilih

Penangkapan EP menambah daftar panjang sejumlah menteri Jokowi yang pernah di tangkap oleh KPK. Sebelumnya ada nama mantan Menteri Sosial Idrus Marham yang menjadi terpidana kasus pembangunan PLTU MT Riau 1. Kemudian mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi dalam kasus penyaluran hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara. Imam disebut sebagai salah satu penerima suap dengan nilai Rp11,5 miliar.

Selain itu ada sejumlah menteri yang namanya turut terseret dalam kasus korupsi. Salah satunya ialah mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Ia disebut menerima uang Rp70 juta dalam kasus jual beli jabatan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur (Kanwil Kemenag Jatim).

Terakhir ialah mantan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita terkait kasus dugaan suap bidang pelayaran yang menjerat Anggota DPR RI Komisi VI Bowo Sidik Pangarso. Namun yang disebut terakhir ini belum jelas kelanjutan penangannya.

Penangkapan EP tergolong fenomenal dan mengejutkan karena tidak diduga duga sebelumnya. Apalagi setelah revisi RUU KPK banyak orang yang pesimis KPK akan melakukan upaya pemberantasan korupsi melalui OTT seperti sebelumnya. Namun penangkapan EP tersebut dinilai pengamat tebang pilih karena menyasar pihak tertentu
saja.

Menurut pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menyatakan bahwa penangkapan Edhy Prabowo ini sarat akan kepentingan politis.Kepentingan tersebut berkaitan dengan Pilpres Indonesia tahun 2024 dimana Presiden Joko Widodo dipastikan turun dari tahta kepemimpinannya.

Ada alasan tersendiri mengapa Ujang menyebutkan bahwa penangkapan dari Edhy Prabowo ini sarat akan unsur politis.Ia melihat penangkapan tersebut memiliki pola yang hampir mirip pada saat menjelang pilpres 2014 lalu.

Saat itu di zaman Presiden SBY, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai pendukungnya, tapi di saat yang sama PKS juga rajin mengkritik pemerintahan SBY. Alhasil, Presiden PKS saat itu yaitu Luthfi Hasan akhirnya ditangkap KPK dengan dugaan suap perizinan impor daging sapi.

Kemiripan terdapat dengan saat ini terdapat pada momen ketika Partai Gerindra yang menaungi Edhy Prabowo gemar mengkritik pemerintah lewat Fadli Zon. Meski Presiden Jokowi sudah memberikan dua kursi menteri bagi Gerindra yaitu Prabowo Subianto (Menhan) dan Edhy Prabowo (Menteri KKP).

"Nah ini juga rupanya tidak disukai oleh pemerintah, maka dari itu tidak aneh dan tidak heran kalau ada menteri dari Gerindra yang ditangkap KPK, jadi hampir sama polanya," kata Ujang pada Kamis, 26 November 2020 sebagaimana dikutip oleh media.

Sementara itu pada sisi yang lain kasusnya Harun Masiku yang notabene politisi PDIP hingga saat ini tidak ada kejelasan dari KPK. Padahal kasus Harun Masiku jauh lebih dahulu diselidiki dibandingkan Edhy Prabowo. Disinilah tercium aroma tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi yang sama sama menimpa kader partai penguasa.

Sesungguhnya cukup banyak kasus kasus yang berbau indikasi tebang pilih KPK dalam penangannya sebutlah misalnya kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk (KTP) Elektronik yang terkesan hanya menyasar pihak tertentu saja. Demikian juga ramainya rentetan kasus gagal bayar industri keuangan, baik di sektor investasi
dan pengelolaan aset, koperasi hingga asuransi sudah sepatutnya menjadi perhatian seluruh pihak, termasuk KPK. Namun terkesan lembaga anti rasuah ini tidak mau menyentuhnya.

Dalam dua tahun terakhir, terdapat lebih dari 10 perusahaan yang bergerak di sektor jasa keuangan yang mengalami gagal bayar. Di sektor investasi dan pengelolaan aset misalnya, terdapat lebih dari enam perusahan manajer investasi yang mengalami gagal bayar mulai dari Minna Padi Asset Management, Victoria Manajemen Investasi, Mahkota Investama, Emco Asset Management, Narada Asset Management dan terakhir Indosterling Optima Investama.

Sedangkan di sektor koperasi, gagal bayar pun terjadi di beberapa entitas mulai dari Koperasi Indo Surya, Koperasi Hanson, LiMa Garuda, Koperasi Pracico, dan Koperasi Sejahtera Bersama. Sementara di sektor asuransi, terdapat beberapa perusahaan yang bermasalah seperti Asuransi Bumiputera, Asuransi Jiwasraya, Wanaartha Life, dan Kresna Life serta Asabri.

Dalam kondisi seperti ini seyogyanya KPK turut mengawasi lemahnya pengawasan lembaga sektor keuangan yang menjadi kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Apalagi, salah satu mantan pejabat OJK yakni mantan Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal II OJK, Fakhri Hilmi telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Jiwasraya yang saat ini ditangani Kejagung Republik Indonesia.

Selain di industri keuangan, kasus kasus yang terkait dengan impor pangan yang melibat kementerian cukup marak akhir akhir ini sehingga perlu mendapatkan perhatian dari KPK. Dalam hal ini tertangkapnya Edhy Prabowo mengingatkan kita pada kasus kasus yang serupa di kementerian lainnya.

Sebagai contoh dugaan mafia yang terjadi di sektor pangan seperti impor gula, garam, buah buahan dan yang lain lainya. Sewaktu menjabat Menko Maritim, Rizal Ramli pernah mengungkapkan keberadaan “tujuh samurai mafia gula” yang melakukan tindakan culas di sektor pangan ini. Sistem kuota impor dinilai oleh Rizal sebagai celah subur tumbuhnya kartel gula.

Sistem kuota jelas sangat merugikan rakyat, karena yang menarik manfaatnya hanya pedagang atau kuota holder saja. Misal ketika harga gula sangat murah di luar negeri, rakyat Indonesia tak bisa menikmatinya, tetap harus membeli mahal gula dalam negeri. Ini semua karena ulah mafia yang hanya mementingkan perut gendutnya semata.

Dugaan adanya permainan mafia di sektor pangan selain gula dan garam ada juga buah buahan yang bisa triliunan nilainya. Belakangan ramai diberitakan soal dugaan permainan dalam penerbitan Rekomendasi Impor Produk Holtikultura (RIPH) dan Surat Perizinan Impor (SPI). Sebab, diduga ada nama politikus Nasdem dan Golkar yang disebut-sebut sebagai perantara untuk bisa mendapatkan izin impor dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Istilah lainnya, ada upeti yang harus diberikan apabila pengusaha mau mendapat surat izin impor tersebut.

Terhadap kasus kasus tersebut diatas yang nilainya tidak kalah besarnya dengan kasus yang menimpa Edhy Prabowo namun sejauh ini belum terlihat adanya tindakan  -tindakannya dalam penegakan hukumnya. Pada hal kasus kasus diatas juga mendapatkan perhatian luas masyarakat karena menyangkut hajat hidup dan kepentingan mereka. Apakah ini menjadi sinyal adanya tebang pilih dalam penanangan kasus kasus korupsi yang selama ini ditanganinya?

Ada Unsur Politisnya?

Kebijakan untuk mengekpor benih lobster yang dilakukan oleh Menteri KKP Edhy Prabowo sebenarnya telah diketahui dan disetujui oleh Presiden Republik Indonesia. Bahkan presiden Jokowi merespons rencana Edhy dan terkesan membela meski banyak penolakan. Hal itu disampaikannya di sela peresmian Jalan Tol Balikpapan-Samarinda pada 17 Desember 2019.

"Yang paling penting menurut saya, negara mendapat manfaat, nelayan mendapat manfaat, lingkungan tidak rusak. Nilai tambah ada di dalam negeri dan ekspor tidak ekspor itu hitungannya dari situ," ucap Jokowi saat itu sebagaimana dikutip oleh media.

Namun setelah kejadian Edhy Prabowo ditangkap oleh KPK, pemerintah terkesan lepas tangan tak ingin mencampuri kasus yang sedang membelit salah satu menterinya. Dalam hal ini Menteri sebagai pengambil kebijakan langsung, memang harus bertanggungjawab atas segala kebijakan yang dilakukannnya tetapi apakah presiden yang menjadi atasannya memang bisa lepas begitu saja?. Sebab pada dasarnya kalau ada kekompakan, sinergitas dan kewibawaan di pemerintahan seharusnya kasus yang menimpa Edhy Prabowo bisa di cegah terjadinya.

Dengan adanya penangkapan terhadap Edhy Prabowo pasca revisi UU KPK menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan oleh KPK dalam memberantas korupsi masih belum efektif pelaksanannya. Kiranya KPK perlu kembali ke khitahnya yakni menjadi fungsi koordinasi dan supervisi terhadap kejaksaan dan kepolisian dalam pencegahan dan penindakan pidana korupsi di Indonesia.

Dalam rangka tugas penindakan, seharusnya KPK menjalankan peran trigger mechanism atau mendorong upaya pemberantasan korupsi kepada kepolisian dan kejaksaan agar lebih efektif dan efisien pelaksanaannya supaya tidak terkesan seenaknya. Itulah sebabnya komposisi penyidik KPK yang idealnya itu dari Polri dan Kejaksaan agar mereka bisa bekerja sama dalam memberantas kejahatan korupsi sehingga, KPK bukan malah mengerjakannya sendiri karena sejak semula KPK di desain untuk menjadi lembaga yang sifatnya ad hoc alias sementara.

Secara yuridis, tugas KPK itu trigger mechanism, yakni mekanisme yang memicu penegakan hukum yang lebih baik yang dilakukan oleh Polri dan Kejaksaan yang selama ini dinilai tidak berdaya. Jadi bagaimana KPK menggalang kekuatan Polri dan Kejaksaan untuk memberantas korupsi agar efektif menjerat para koruptor yang terus merajalela.

Kini ditengah tengah indikasi aroma tebang pilih yang dilakukan oleh KPK, muncul dugaan adanya campur tangan dari salah satu unsur dalam KPK yaitu dewan pengawas KPK. Awalnya dewan pengawas ini dianggap perlu ada untuk mencegah penyalahgunaan wewenang lembaga antikorupsi
(KPK). Namun belakangan keberadaan dewan pengawas ini dicurigai ikut menyetir jalannya KPK.

Ketentuan tentang anggota dewan pengawas, terkait tugas, siapa yang bisa menjabat, hingga tata cara pemilihan tertuang dalam Pasal 37A sampai 37G. Dewan pengawas ini juga menggantikan keberadaan penasihat KPK. Salah satu tugas dewan pengawas yang mendapat sorotan adalah soal pemberian izin melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.

Itu tertuang di Pasal 37 B ayat (1) huruf b.Tugas lain dewan pengawas antara lain mengawasi kerja KPK, menetapkan kode etik, evaluasi tugas pimpinan dan anggota KPK setahun sekali, hingga menyerahkan laporan evaluasi kepada presiden dan DPR. Dewan pengawas terdiri lima anggota, dengan seorang merangkap sebagai ketua. Mereka diangkat dan ditetapkan oleh presiden melalui seleksi yang dilakukan panitia.

Keberadaan dewan pengawas KPK ini memang tergolong aneh lantaran memiliki kewenangan yudisial. Misalnya, memberikan izin penyadapan, penggeledahan, serta penyitaan. Pada hal dewan pengawas bukanlah aparatur penegak hukum. Alhasil Keberadaan dewan pengawas dengan kewenangan seperti dikemukakan diatas bisa
membuat KPK menjadi lembaga yang tidak independen.

Tentu karena Presiden memiliki peran besar dalam menentukan anggota dewan pengawas yang memiliki banyak wewenang. Apalagi dalam UU KPK
yang baru, dimana wewenang komisioner KPK sebagai penyidik dan penuntut umum dicabut.

Hal itu bisa membuat KPK menjadi lemah karena wewenang komisioner semakin terbatas.Karena aktivitas sebagai penegak hukumnya dibatasi dengan kontrol dewan pengawas sebagai kepanjangan tangan presiden. Banyak yang menilai pasca revisi UU KPK, lembaga ini akan melemah tidak berdaya karena keberadaan dewan pengawas ini kemungkinan besar bakal membuat kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) hilang lantaran penyadapan harus menunggu izin dari mereka.

A lhasil dengan adanya peristiwa penangkapan Edhy Prabowo belakangan ini apakah mungkin hal ini disebabkan karena Dewan Pengawas KPK telah merestuinya, dalam hal ini tak dapat dipungkiri terjadinya potensi tebang pilih dalam menjerat tersangka dengan latar belakang penyelenggara negara dari partai tertentu.
Terutama partai yang “ditarget” pemerintah lantaran kewenangan yang besar dari dewan pengawas untuk menentukan siapa yang direstui untuk diproses hukumnya dan siapa yang tidak di usut kasusnya.

Agaknya kita semua sepakat bahwa pelaku korupsi siapapun orangnya memang harus dihukum berat karena telah menyengsarakan rakyat dan merugikan bangsa dan negara. Kita juga menghormati proses hukum yang sekarang sedang menimpa Edhy Prabowo yang merupakan kader Gerindra.

Tetapi kita juga berharap upaya pemberantasan korupsi haruslah dilakukan secara adil dan transparan tidak tebang pilih apalagi dibumbui aroma politis untuk menyasar pihak pihak tertentu saja yang menjadi targetnya. Kalau ini terjadi sungguh akan melukai anak anak bangsa yang cinta keadilan sekaligus akan mengganggu tujuan kita berbangsa dan bernegara.

Semoga saja semua itu tidak terjadi melainkan hanya menjadi dugaan dugaan belaka dari warga bangsa yang peduli pada penegakan hukum di Indonesia. Karena kalaumemang itu yang menjadi kenyataannya, betapa sialnya nasib penegakan hukum kita karena penguasa telah menggunakan
kekuasaan sebagai alat untuk mencapai kepentingan politiknya.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar