Karut Marut Asuransi Peternakan (Tulisan-I)

Modus Korup Uang Negara Lewat Asuransi Ternak

Sabtu, 07/03/2020 11:05 WIB
Ilustrasi ternak sapi di bilangan Jakarta Selatan (Foto: Denny Hardimansyah/Law-Justice.co)

Ilustrasi ternak sapi di bilangan Jakarta Selatan (Foto: Denny Hardimansyah/Law-Justice.co)

Jakarta, law-justice.co - Industri peternakan memiliki peran strategis dalam perekonomian Indonesia. Sebab itu, pemerintah memformulasikan strategi dan kebijakan yang dianggap pro dan berkelanjutan kepada peternak. Salah satunya melalui program Asuransi Usaha Ternak Sapi yang dapat memberikan pertanggungan asuransi dan terlindunginya peternak dari kerugian usaha akibat sapi yang mengalami kematian atau kehilangan.

Namun pencapaian program ini masih terdapat beberapa permasalahan seperti bantuan premi yang rentan menjadi bancakan dan tidak jelasnya peserta penerima bantuan karena masalah identitas ganda. Selain itu ada juga permasalahan soal belum meratanya program asuransi peternakan.

Dengan payung hukum Undang-Undang No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani serta Peraturan Menteri Pertanian No.40/Permentan/SR.230/7/2015 tentang Fasilitas Asuransi Pertanian, maka diperlukan Asuransi Pertanian dan Peternakan

Di Tahun 2016, Kementerian Pertanian Republik Indonesia mengimplementasikan asuransi pertanian yang khusus diperuntukan pada bidang usaha ternak sapi, program itu bernama Asuransi Usaha Ternak Sapi (AUTS), hal ini sebagai wujud keberpihakan pemerintah dalam upaya melindungi peternak dari risiko kematian dan/ atau kehilangan sapi.

Asuransi Usaha Ternak Sapi (AUTS) diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada peternak sapi jika terjadi sapi mati akibat penyakit, beranak dan kecelakaan dan/ atau kehilangan dengan mengalihkan kerugian kepada pihak lain melalui pertanggungan asuransi, serta mampu memberikan pendidikan kepada peternak dalam mengelola risiko dan sistem usaha peternakan yang baik.

Hewan ternak yang hanya dapat diasuransikan dalam program Asuransi Usaha Ternak Sapi (AUTS) ini adalah hewan ternak sapi, penyebabnya adalah bukan hanya karena kelangkaaan hewan ternak sapi yang menyebabkan kenaikan harga daging sapi, tetapi juga berkaitan dengan karakteristik usaha sektor pertanian, khususnya subsektor budidaya dan pembibitan sapi yang berisiko tinggi karena bersifat rentan terhadap serangan penyakit dan kematian, yang kondisi tersebut dapat menyebabkan kerugian pada peternak sapi.

Meskipun terdapat hewan ternak lainya, seperti kambing, ayam, kerbau, yang sebenarnya juga memiliki risiko penyakit dan kematian, tetapi khusus hewan ternak sapi harganya lebih tinggi dibandingkan hewan ternak lainnya sehingga inilah yang melatarbelakangi pemerintah dalam membuat program Asuransi Usaha Ternak Sapi (AUTS)

Dalam perjalanannya untuk memuluskan program tersebut, Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 56/Kpts/SR.230/B/06/2016 tentang Pedoman Bantuan Premi Asuransi Usaha Ternak Sapi yang kemudian diperbaharui dengan aturan No 31/Kpts/SR.210/B/12/2018 tentang pedoman bantuan premi asuransi ternak sapi dan kerbau. Aturan itu mengatur pelaksanaan kegiatan program Asuransi Usaha Ternak Sapi (AUTS) berjalan dengan baik.

Terhitung berdasarkan laporan dari data dinas yang menangani program Asuransi Usaha Ternak Sapi (AUTS) dan PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) sebagai pelaksana program, klaim kumulatif sejak program AUTS diluncurkan pada bulan Juni tahun 2016 sampai akhir tahun 2017 sejumlah 1.138 ekor sapi atau senilai Rp 9 miliar lebih.

Kementan Akui Ada Kelemahan 

Program ini berjalan dengan menggunakan pinjaman modal dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) pada Kementerian Pertanian pada tahun anggaran 2016-2018. Sayangnya, dana pinjaman ini belum dikelola dengan baik sehingga menimbulkan catatan dan perhatian dari lembaga audit negara Badan Pemeriksa Keuangan.

Rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan Hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Nomor 6/LHP/XVII/02/2019 tanggal 26 Pebruari 2019 menyebutkan untuk program bantuan premi asuransi peternakan dan pertanian terdapat beberapa permasalahan pengelolaan anggaran yang karut marut. Dalam dokumen itu hasil audit anggaran 2016-2018 menyorot realisasi asuransi usaha tani padi dan ternak sapi lebih dari Rp 253 miliar belum sepenuhnya dikelola berdasarkan analisis risiko dalam rangka keberlangsungan usaha tani dan diantaranya pembayaran premi belum seluruhnya didukung bukti pertanggungjawaban senilai Rp 6 miliar lebih.

Laporan BPK itu menyebut, adanya perbedaan data antara peserta dan data klaim tagihan asuransi peternakan dengan nilai mencapai Rp 1.9 miliar untuk asuransi pertanian dan Rp 195 juta untuk asuransi usaha ternak sapi. Selain itu, Dinas Pertanian tidak menerima salinan polis dan tanda terima pembayaran premi senilai yang menyebabkan potensi kerugian mencapai jutaan rupiah.


Realisasi program Asuransi Usaha Ternak Sapi (AUTS) yang menggunakan dana pinjaman dari Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan  (IBRD)

Selain itu berdasarkan laporan yang sama, ada masalah pembayaran bantuan premi tidak sah. Dalam laporan itu menyebutkan ada peserta tidak terdaftar dalam Daftar Peserta Definitif (DPD) yang menyebabkan potensi kerugian mencapai Rp 16 juta untuk asuransi pertanian dan Rp 149 juta untuk asuransi usaha ternak sapi. Selain itu ada juga permasalahan peserta tidak memenuhi kriteria dengan potensi kerugian mencapai Rp 3 miliar untuk pertanian dan Rp 131 juta untuk program asuransi peternakan sapi.

Menyoal pertanggungan jawab, laporan itu mengatakan masalah pelaporan tidak lengkap dan tidak berjenjang dan Dinas Pertanian Kabupaten/Kota tidak melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan AUTP dan AUTS dengan dugaan kerugian capai Rp 11 miliar lebih.

Sehingga laporan tersebut menyimpulkan, program asuransi pertanian dan ternak sapi yang mengacu pada Paket Kebijakan Ekonomi III tahun 2015 dengan tujuan mengurangi kerugian petani dan peternak tidak dapat dinilai pencapaiannya karena tidak adanya tujuan pertumbuhan kredit pertanian dan peternakan.

Menangapi persoalan adanya permasalahan dalam program Asuransi Usaha Ternak Sapi Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Sarwo Edhy mengakui masih terdapat kelemahan dalam program tersebut. Kata dia, permasalahan yang selama ini terjadi terdapat pada sistem pendaftaran dan klaim. Kata dia, program unggulan Kementerian Pertanian ini bekerjasama dengan perusahaan BUMN Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo). Pemerintah memberikan bantuan premi kepada peternak sebesar 80% dari total premi sebesar Rp 200 ribu per ekor per tahun.

" Peternak hanya membayar Rp40 dan Rp160 ribunya dibantu oleh pemerintah. Jadi, yang dibayarkan ke Jasindo adalah Rp200 ribu per ekor per tahun. Jaminannya jika ternak itu mati Jasindo wajib membayar Rp10 juta," jelas Sarwo Edhy, kepada Jurnalis Law-Justice.

"Total anggarannya kalau tidak salah untuk tahun 2020 target realisasinya 120 ribu ekor dengan total Rp 21.146.500.000 untuk 33 Provinsi dengan sistem pembagian pertahap IV triwulan yaitu triwulan I, 40 persen (48 ribu ekor), Triwulan II, 30 persen (36 ribu ekor), Triwulan III, 20 persen (24 ribu ekor), Triwulan IV, 10 persen (12 ribu ekor)," tambah dia.

Dia menjelaskan bahwa program ini sudah hampir mencapai target yang sudah ditetapkan lembaganya.

"Kinerja asuransi pertanian di AUTS dari tahun 2016-2019 target 380.000 ekor dan terealisasi sebanyak 341.039 ekor sapi yaitu 89,74 persen dan yang berhasil diklaim petani 6.925,13 ekor yaitu 2,36 persen," ungkapnya.


Target pencapaian Asuransi Usaha Ternak Sapi/Kerbau di tahun anggaran 2020 (Foto:Repro Kementan)

Soal adanya dugaan kebocoran dan permasalahan dalam klaim, Sarwo Edhy menjelaskan, Kementerian Pertanian memiliki pengawasan teknis terkait program asuransi pertanian dan peternakan. Kata dia, tim itu ada di tingkat kabupaten dan pusat hingga sampai ke tim penyuluh yang ada di lapangan untuk mencegah terjadinya kecurangan dan menjaga agar program berjalan baik.

"Keterkaitan dengan kebocoran anggaran berdasarkan audit BPK saya harus meneliti dulu bocornya di mana. Karena, sepengetahuan saya ya lurus-lurus saja. Kita hanya mengakses dan dinas yang mengumpulkan calon petani maupun peternak yang akan mengikuti asuransi, setelah berhasil mendapatkan itu yang akan diajukan ke Jasindo dan jika kalau ada masalah ya kita akan turun tangan. Jadi jika administrasinya sudah lengkap mereka akan membayar premi ke Jasindo dan tentunya asuransi Jasindo mengklaim ke kita keterkaitan dengan kekurangannya kan gitu," jelas Edhy.

Kerugian dari program tersebut akan makin membesar. Pasalnya, Jasindo harus mengeluarkan biaya klaim lebih besar dibandingkan premi yang dibayarkan. Pada 2018, premi AUTS sebesar Rp 17,73 miliar, tetapi klaim yang dikeluarkan mencapai Rp 22 miliar.

Soal itu, Direktur Pembiayaan Pertanian Ditjen PSP Kementerian Pertanian Indah Megahwati membenarkan ada permasalahan dalam program tersebut. Kata dia, pihaknya menerima keluhan dari operator asuransi Jasindo. BUMN asuransi itu meminta adanya evaluasi soal program tersebut karena dinilai merugikan perusahaan tersebut.

"Jadi memang ada pernyataan dari asuransi Jasindo yang meminta ada evaluasi yang logikanya mereka menganggap asuransi justru tidak menguntungkan mereka apalagi untuk asuransi ternak sapi dan kerbau. kalau padi tidak terlalu terlihat," ungkapnya.

Sistem Asuransi Ternak Sapi Belum Siap

Keikutsertaan peternak sapi dalam sistem asuransi peternakan dinilai sangat penting. Ternak sapi atau kerbau, adalah bisnis yang membutuhkan modal besar, tapi memiliki risiko kerugian yang tinggi. Sapi merupakan salah satu hewan ternak yang rentan mati. Ketika itu terjadi, peternak yang memiliki skala bisnis kecil menengah berpotensi mengalami kebangkrutan.

“Ternak sapi atau kerbau itu, kalau kena masalah dan mati semua ya mati peternakannya. Karena duit-nyakan dipertaruhkan semua di situ,” kata Analis Saham dan Bisnis, Hans Kwee, kepada Law-justice.co.

Dengan adanya asuransi peternakan, menurut dia, bisa sangat membantu keberlangsungan bisnis peternak mikro. Asuransi peternakan juga dianggap mampu memberikan kepastian investasi. Jika ada kepastian dan keamanan, akan lebih banyak orang berminat merintis usaha di sektor peternakan.

“Kalau wabah menyerang dan ternak kita habis bagaimana? Investasi sapi itu mahal loh. Dengan adanya asuransi, kan nanti bisa diklaim,” ucap Hans.

Jika kemudian terjadi masalah dalam sistem asuransi peternakan tersebut, menurut Hans, manajemen asuransi yang mestinya diperbaiki. Perusahaan asuransi dan pemerintah harus bisa menciptakan sistem yang aman untuk keberlangsungan bisnis asuransi.

“Hewan mana yang diasuransikan, fotonya harus jelas. Kondisi hewan dan tempatnya harus diperhatikan. Perawatannya bagaimana? Dengan begitu, peluang dia untuk curang akan kecil,” ujar dia.

Terkait hal itu, Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo mengatakan, pemerintah dan Jasindo harus mengindahkan temuan BPK tersebut. Menurut dia, pertumbuhan peserta asuransi peternakan cenderung meningkat setiap tahunnya. Hal tersebut tidak boleh dirusak dengan adanya temuan bahwa perusahaan asuransi yang merugi.

“Sesuai dengan laporan BPK, kecurangan yang di maksud mungkin nama yang sama dapat ikut AUTS berbeda. Harus dibuktiman dengan NIK atau KTP supaya pada saat klaim tidak ada perbedaan penulisan nama,” kata dia.


Mekanisme aturan soal pendaftaran dan pencairan klaim asuransi usaha ternak sapi dan kerbau (Foto:repro/Law-Justice)

Salah satu cara untuk mengatasi persoalan tersebut, kata Irvan, harus ada sinergi dengan dinas peternakan di daerah terkait dengan pengobatan ternak yang sedang sakit. Saat ini ada kurang lebih 66.861 peternak dengan jumlah ternak mencapai 140.190 ekor sapi.

“Harus ada ketegasan pada peternak, bahwa walaupun sudah ada diasuransikan peternak wajib menjaga kesehatan dan perawatan ternak, layaknya ternak yang tidak diasuransikan,” kata dia.

Program AUTS seharusnya dapat meningkatkan peluang petani atau peternak untuk mendapatkan kredit dari Bank. Kredit bank tersebut bisa digunakan untuk meningkatkan usaha pertanian. Namun, BPK menemukan bahwa pedoman AUTS tidak memasukkan tujuan pertumbuhan kredit pertanian, sehingga tidak dapat diukur pencapaiannya dalam paket Paket Kebijakan Ekonomi III tahun 2015.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal DPP Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Rochadi Tawaf menilai, keberadaan asuransi peternakan sudah sesuai dengan cita-cita petani yang mendapat jaminan atas keberlangsungan bisnis mereka.

Namun ia tidak menutup mata bahwa ada beberapa celah yang bisa dimanfaatkan oleh oknum peternak untuk mengambil keuntungan pribadi dari sistem klaim asuransi pertanian.

“Berdasarkan fakta lapangan, tidak jarang terjadi kenakalan peternak. Misalnya, waktu impor ternak dari Australia asuransinya sampai dikandang. Sekarang dihentikan, hanya sampai di port (pelabuhan). Sejak itu, asuransi (perusahaan dalam negeri) mulai berlaku. Sementara tingkat kematian atau penyusutan ternak relatif tinggi saat sampai kandang,” jelas Rochadi.

Kondisi seperti itu yang membuat banyak peternak mencari celah agar mereka tidak merugi, sementara perusahaan asuransi yang kena getahnya. Peternak kita lebih banyak memikirkan ganti rugi kematian, ketimbang mengembangkan bisnisnya.

“Itu yang terjadi tahun lalu, Asuransi Timur Jauh (ATJ) jadi bangkrut karena tidak mampu membayar klaim kematian ternak. Sehingga ada anekdot asuransi peternakan kita tidak jelas. Kesalahan ini terjadi karena memang kondisi kita belum siap menerima bisnis asuransi,” pungkas dia.

Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengawasi bisnis asuransi di Indonesia belum mau memberikan keterangan soal dugaan adanya kecurangan dari asuransi ternak sapi dan pertanian yang dijalankan oleh BUMN asuransi Jasindo.


Program Belum Tepat Sasaran
Law justice menyambangi warga yang memiliki usaha ternak sapi kapasitas kecil di daerah Bangka IX, Mampang, Kecamatan Mampang Prapatan, Kota Jakarta Selatan. Peternakan sapi yang berada di kawasan padat penduduk nan elit selama ini belum terjamah oleh asuransi usaha ternak sapi. Menurut salah satu pemilik ternak sapi yang akrab disapa Ibu Isna itu, selama ini belum ada penyuluh atau dinas peternakan yang mengajaknya bergabung ikut asuransi ternak sapi.

"Wah, saya baru tahu mas, baru dengar ada program itu dari Kementan," ujarnya.


Ilustrasi peternakan sapi perah yang menjadi sasaran asuransi usaha ternak sapi dan kerbau (Foto:Denny Hardimansyah/Law-Justice)

Menurut pengakuannya selama ini tidak ada peternak yang membicarakan asuransi Usaha Ternak Sapi (AUTS) tersebut.

"Petugas penyuluh sih ada yang datang, namun hanya sekedar pemeriksaan kesehatan Sapi tak ada bahas-bahas asuransi, teman-teman peternak saat ngumpul juga gak ada yang bahas," ungkapnya.

Hal yang sama diungkapkan peternak Sapi yang ditemui di sekitar kawasan yang sama dari arah lampu merah Mampang Prapatan hingga Warung Buncit, Jakarta Selatan.

"Ohh, baru tahu saya, justru saya baru tahu dari mas ini. Ini usaha turun-temurun keluarga, sejak saya masih orok hingga sekarang baru dengar ada asuransi Sapi ini," katanya.

"Kalau saya tahu bayarnya hanya Rp37 ribuan, saya mau ikut pasti, toh, kemarin banyak Sapi di sini pada mati, lumayan kalau ada asuransi," tambahnya.

Kontribusi Laporan : Januardi Husin, Bona Ricki Siahaan, Ricardo Ronald, Lili Handayani

 

 

(Tim Liputan Investigasi\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar