Ali Mustofa

Berani Hina Risma? Penjara Ganjarannya!

Kamis, 06/02/2020 08:38 WIB
Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini (kawanuainside.com)

Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini (kawanuainside.com)

Jakarta, law-justice.co - Munculnya beberapa akun di media sosial (medsos) yang menjelek-jelekan Walikota Surabaya Tri Rismaharini membuat sekelompok orang yang mengatasnamakan Forum Arek Suroboyo Wani mendatangi Polrestabes Surabaya.

Kelompok yang dikoordinatori oleh Widodo tersebut datang dengan membentangkan poster yang isinya melawan orang-orang yang menjelekkan Risma.

Belasan orang tersebut hendak melaporkan penghinaan yang dialami Walikota Surabaya. Orasi sempat dilakukan sekelompok massa ini di depan pintu masuk Mapolretabes Surabaya.

Mereka mengecam akun yang menjelek-jelekkan Risma. Widodo sebagai koordinator aksi mengaku, aksi ini dilakukan karena dirinya mewakili warga Surabaya dari berbagai elemen tidak terima dengan unggahan salah satu akun facebook yang menghina Risma.

Ia menyebut akun facebook Zikria Dzatil yang sempat menggunggah penghinaan terhadap Risma. Sementara itu, Kasatreskrim Polrestabes Surabaya AKBP Sudamiran bersama Kasat Intelkam Polrestabes Surabaya AKBP Wimboko langsung menemui perwakilan pendemonya.

Usai beberapa menit berdiskusi akhirnya perwakilan tersebut kembali pulang ke rumahnya.  Usai aksi demo yang melaporkan penghinaan terhadap Risma, polisi bergerak cepat untuk menangkap terduga pelakunya.

Tidak berlangsung lama, pemilik akun Facebook Zikria Dzatil yang dilaporkan karena dinilai melakukan penghinaan terhadap Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini akhirnya diringkus Polrestabes Surabaya.

Penangkapan tersebut dilakukan setelah polisi mengetahui posisi pelaku yang berada di Jawa Barat sana. Polisi kemudian mendatangi posisi alamat tersebut dan berhasil menangkapnya.

Kasatreskrim Polrestabes Surabaya AKBP Sudamiran membenarkan penangkapan tersebut dan sekarang pelakunya sudah dibawa ke Surabaya untuk diperiksa.

Diketahui akun tersebut melalukan penghinaan dengan menyamakan wali kota perempuan pertama di Surabaya itu dengan binatang yaitu seekor kodok betina.

Menurut pengakuan penghinanya motif penghinaan itu dilakukan karena yang bersangkutan sakit hati karena Anies (Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan) sering di-bully di media.

“Saya selaku Zikria sangat menyesali apa yang telah saya lakukan. Karena pada dasarnya saya tidak punya niat untuk menghina Bunda Risma,” kata Zikria saat dihadirkan di Polrestabes Surabaya, Senin(3/1/2020).

Ditangkapnya penghina Risma memunculkan beberapa pertanyaan mendasar : apa sebenarnya makna penghinaan itu bagi seorang pejabat negara ?, Mengapa proses hukum terhadap pejabat negara terkesan tebang pilih penanganannya ?, Bagaimana Pendapat MK soal penghinaan terhadap pejabat negara ?

Makna Penghinaan Bagi Pejabat Negara

Seorang Pemimpin itu seharusnya siap melayani dan mengabdi kepada rakyatnya. Menjadi pemimpin, berarti siap menjadi milik rakyat seutuhnya. Seorang pemimpin tidak bisa menilai dirinya sendiri berdasarkan persepsinya.

Tetapi rakyatlah yang memberikan penilaiannya. Bahkan acap kali rakyat mengkritisi pemimpinnya dengan cara-cara yang keras, baik verbal maupun non-verbal hingga menghinanya.

Kritik, bahkan hinaan seperti apa pun bentuknya tentu memiliki nilai edukatif terrgantung sejauh mana memaknainya. Sebagai pemimpin perlu terbuka terhadap berbagai kritikan yang ditujukan kepadaya.

Seorang Risma berhasil menjadi pejabat negara sebagai walikota Surabya karena mampu mengelola kritik yang ditujukan kepadanya. Ditangkapnya penghina Risma memunculkan pertanyaan:

apa sebenarnya makna martabat manusia? Apa makna simbol jabatan negara. Apakah kalau rakyat mengkritik dengan cara-cara yang keras sama artinya dengan menghina pejabat negara termasuk seorang walikota ?

Sesungguhnya, martabat manusia dan juga jabatan yang diemban adalah untuk pelayanan; pemberian diri kepada sesama. Kritik yang dialamatkan kepada pejabat, apa pun bentuknya adalah wujud konkret kepedulian teradap kondisi yang ada.

Lagi pula, kritik yang disampaikan apa pun bentuk dan isinya tidak serta merta merendahkan martabat bangsa dan negara.

Sebagai walikota , yang diidolakan rakyat, Risma semestinya memberikan ruang kritik, bukan sebaliknya hendak memangkasnya. Sebagai pejabat negara Risma perlu terbuka dan siap menerima kritikan bahkan harus siap dihina demi kemajuan kota yang dipimpinnya.

Bahkan seharusnya Risma bersyukur atas semua kritikan dan hinaan, yang bisa dijadikan motivasi untuk menjadi pemimpin yang rendah hati dalam melayani rakyatnya.

Kebesaran bangsa atau suatu kota tidak diukur dengan sikap rakyatnya yang diam membisu seribu bahasa. Kebesaran bangsa/ suatu kota ditentukan oleh sikap partisipatif rakyat dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan yang sedang berkuasa.

Salah satunya, melalui kritik keras, yang bisa saja berujung pada penghinaan atau sejenisnya.  Dan sesungguhnya sebuah kritik atau bahkan hinaan sekalipun mempunyai makna positif bagi perjalana sebuah pemerintaan meskipun hanya setingkat pemerintahan kota.

Tanpa kritik, tidak ada sebuah kota yang maju dan berkembang sesuai harapan bersama. Tanpa kritik maka seorang pemimpin akan merasa benar dalam mengurus rakyat yang dipimpinnya.

Makanya kalau mau sebuah pemerintahan kota maju dan rakyatnya sejahtera, seorang walikota harus mendengarkan kritikan bahkan hinaan dari rakyatnya.

Lagi pula mengapa harus takut dikritik dan dihina? Ingat, penghinaan apa pun bentuknya, tidak pernah mengurangi martabat seseorang yang dihinanya.

Justru orang-orang yang menerima hinaan dengan tulus, akan mendapatkan hikmat dan berkat melimpah pada dirinya. Kebesaran hati seorang pemimpin tidak ditentukan oleh kesuksesannya belaka, tetapi saat dihina dan ia menerimanya dengan sabar dan lapang dada.

Pemimpin yang tidak terima ketika dihina oleh rakyatnya barangkali bisa belajar pada Khalifah Umar Umar bin Khattab, khalifah kedua pengganti Nabi setelah wafatnya.

Beliau menyatakan : “ Jangan marah ketika kita dihina, sejatinya manusia itu memang hina, yang pantas untuk dipuji maupun dihina. Saya senang ketika dikritik dan dihina. Karena hal itu membakar semangat dalam diri saya. Percayalah, orang yang suka menghina kita tidak akan pernah bisa diatas kita.”

Pada masa Pemerintahan SBY, beliau juga pernah mendapatkan penghinaan yang luar biasa. Saat itu ketika aksi demontrasi pada tahun 2010 silam atau pada periode kedua berkuasa, .demonstran menggunakan SBY Kerbau yang diberi nama Si Buya.

Pernyataan demonstran itu untuk menunjukkan SBY gendut dan lambat kerjanya. Akan tetapi, saat itu SBY diam saja.Tidak membesarkan masalah,sehingga menjadi ribut seluruh Indonesia.

Ada kata pepatah yang menyatakan :Raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah. Alangkah sederhananya ungkapan melayu tua ini jika dikaitkan dengan soal penghinaan terhadap pejabat negara.

Pemimpin yang mengayomi dan menghargai mereka yang dipimpinnya tentu akan disayang dan dipatuhi oleh pengikut-pengikutnya. Tanpa intrik dan paksaan, tanpa teror dan ancaman, pemimpin yang dicinta akan dibela sepenuh hati oleh rakyatnya.

Sebaliknya, pemimpin yang kejam dan aniaya, siapakah yang menjadi pendukungnya? Jika memiliki kekuatan, tidak ada satupun orang yang secara sukarela tunduk untuk dihinakan dan dianiaya Kalaupun mendapatkan dukungan, kiranya seorang pemimpin yang keras dan kejam tidak akan didukung dengan cinta dan sayang dari bawahannya.

Tapi dukungan itu muncul karena keterpaksaan, disebabkan oleh rasa takut dan hendak mencari selamat saja. Ada juga pepatah yang mengatakan, tidak ada asap kalau tidak ada apinya.

Maknanya tikdak ada akibat kalau tidak ada sebabnya. Bisa jadi seorang pemimpin di hina hina karena ulahnya sendiri yang membuat rakyat tidak terima lalu menghina pemimpinnya.

Karena hakekatnya pemimpin itu adalah pelayan bagi rakyatnya. Kalau dalam melayani rakyat itu dianggap tidak beres bukankah yang dilayani berhak untuk memprotesnya ?. Kalau tidak mau dikritik dan dihina hina, kenapa tidak jadi penjual gorengan saja.

Bagi seorang pejabat negara, kiranya banyak masalah dan urusan yang seharusnya menjadi beban pikirannya dalam mengurus rakyatnya. Sehingga terlalu cengeng rasanya kalau kemudian ia lebih peduli pada nasib dirinya yang di kritik dan dihina oleh rakyatnya.

Sebagai pemimpin, bekerjalah dengan tulus-ikhlas untuk melayani, tidak usah minta dihormati atau di puji puja. Sebab kehormatan sesungguhnya tidak ada di hadapan manusia.

Kehormatan itu akan diterima oleh mereka yang sudah bekerja dengan tulus ikhlas , tanpa pamrih, tanpa pencitraan dan keinginan untuk di puji oleh manusia. Melainkan mengabdi kepada sesama karena ingin mendapatkan ridho dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Kentara Tebang Pilihnya

Penangkapan terhadap penghina Risma walikota Surabaya rupanya mendapat respon dari berbagai pihak terutama para netizen di dunia maya.

Bahkan ada warganet yang menyinggung soal penghina Gubernur Anies Baswedan yang juga belum ditangkap pelakunya.

“Kenapa hukum di Indonesia tebang pilih, penghina Anies Baswaden tidak di tangkap? Penghina Risma ditangkap, apakah polisi bekerja prefesional?” tulis pemilik akun @Jumadi97709906, Ahad (2/2/2020).

Sementara, warganet lain juga menyampaikan hal yang sama.“Yang menghina Anies dibiarkan. Mbo ya mikir,” ungkap pemilik akun @ide_top. “Risma cuma Walkot tapi penghina nya cepat sekali ditangkap lalu penghina goodbener kapan ditangkap? Keadilan cuma untuk yang pro kerezim Kah?” tulis akun @Stevaniehuangg.

Selain netizen, politisi Partai Gerindra Fadli Zon berkomentar keras mengenai penangkapan Dzikria Dzatil yang ditangkap polisi dalam kasus dugaan penghinaan dan ujaran kebencian terhadap Wali Kota Surabaya.

Fadli Zon melihat penangkapan itu menunjukkan perbedaan perlakuan hukum terhadap warga negara. Ia juga membandingkan antara lain penangan kasus hukum terkait Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan Anies Baswedan Gubernur DKI Jakarta.

Polisi langsung menangkap seseorang yang disangka menghina Wali Kota Surabaya tetapi, sampai saat ini polisi belum menetapkan tersangka kasus penghinaan terhadap Gubernur DKI Jakarta.

Fakta itu, kata Fadli Zon, menunjukkan hukum Indonesia diskriminasi sesuai selera penguasa. “Realitas diskriminasi hukum di negeri ini. Sesuai selera penguasa,” komentar Fadli Zon tentang penangkapan Dzikria melalui akun twitternya.

Dia mengunggah berita berisi pemilik akun facebook penghina Risma yang ditangkap serta foto capture tulisan Ade Armando yang ‘menghina’ Anies tetapi masih dibiarkan merajalela.

Fadli Zon juga membandingkan dengan pengalaman yang ia rasakan selama ini setelah laporan penghinaannya tidak atau paling tidak belum ditindaklanjuti polisi sebagaimana mestinya.“Dulu yang menghina, memfitnah, mengancam saya juga nggak ada yang ditangkap,”katanya.

Keprihatinan senada juga disampaikan oleh pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar yang mengapresiasi respons cepat polisi dalam mengusut kasus penghinaan terhadap Risma.

Namun, di sisi lain, dia juga menyayangkan lambannya gerak aparat hukum dalam mengusut kasus dugaan penghinaan terhadap Anies Baswedan Gubernur DKI Jakarta.

Ficar pun melihat perbedaan perlakuan itu sebagai diskriminasi dalam penegakan hukum. Meski jenis kedua kasus itu sama-sama berkaitan dengan penghinaan, namun perlakuan aparat penegak hukum terhadap penghina dua kepala daerah itu berbeda.

“Ya, respons polisi jelas diskriminatif membeda-bedakan sikap terhadap laporan masyarakat,” ujar Ficar di Jakarta, dikutip dari Indonesiainsaid, Ahad (2/2/2020).

Anies sebelumnya diolok di media sosial lewat unggahan “meme Joker” oleh Ade Armando. Sementara, Risma dihina juga di media sosial dengan sebutan “kodok betina” lantaran dianggap tidak becus menangani banjir di Surabaya.

Kasus penghinaan terhadap dua kepala daerah itu, menurutnya, tidak ada yang berbeda.“Saya kira ini sudah tidak zamannya (diskriminasi hukum), karena itu harus menjadi perhatian Kapolri (Idham Azis) sungguh-sungguh,” ujarnya.

Dia menegaskan, kasus hukum oleh polisi harus serius dan tak boleh tebang pilih dalam penanganannya . Ficar mengatakan, wajar jika dalam penanganan kasus Risma dan Anies itu polisi dianggap diskriminatif dalam penanganannya karena memang begitulah kenyataannya.

“Polri itu digaji dari uang rakyat, jadi harus bersikap profesional itu tidak diskriminatif,” kata dia.

Sebagai lembaga penegak hukum, polisi harus mengerjakan tugas sesuai tupoksinya. Tidak boleh ada alasan apa pun membawa langkah Polri ke arah yang politis menguntungkan rejim yang berkuasa.

“Ya polisi harus pofesional juridis, jangan dan bukan lembaga politik, sekalipun kapolrinya dipilih presiden selaku kepala negara,” ujarnya.

Salah Kaprah

Secara hukum kasus penghinaan kepada Risma yang dilaporkan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Forum Arek Suroboyo Wani boleh dianggap telah menyalahi ketentuan yang ada.

Karena Mahkamah Konstitisi (MK) telah memutuskan pejabat yang dihina harus melaporknan sendiri ke polisi atau aparat negara. Ia tidak bisa memberikan kuasa kepada orang lain atau orang yang mengaku telah mewakilinya.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dikutip detikcom, Senin (4/11/2019), kasus serupa pernah terjadi di Tegal, Jawa Tengah. Kala itu, Agus Slamet dan Komar Raenudin membuat meme Wali Kota Tegal, Siti Mashito di Facebook.

Belakangan, seorang warga Tegal yaitu Amir Mirza Hutagalung melaporkan Agus dan Komar ke Polisi sehingga Agus dan Komar ditangkap pada 2014 dan di proses kasusnya.

Agus dan Komar kaget sebab yang membuat laporan bukanlah pihak yang dirugikan yaitu Siti Mashito. Agus dan Komar dikenakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang berbunyi: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Padahal, secara historis ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengacu pada ketentuan penghinaan atau pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Dalam KUHP diatur dengan tegas bahwa penghinaan merupakan delik aduan.

Gayung bersambut. MK mengabulkan permohonan Agus dan Komar. MK menyatakan pejabat yang merasa dirugikan nama baiknya harus lapor sendiri ke polisi.

"Menyatakan Pasal 319 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sepanjang frasa kecuali berdasarkan Pasal 316" bertentangan dengan UUD 1945," demikian bunyi putusan MK.

MK berpendapat teknologi yang ada telah memudahkan pegawai negeri atau pejabat negara untuk mengadukan penghinaan yang dialaminya. Hal ini yang kemudian menghilangkan relevansi argumentasi bahwa korban penghinaan kesulitan melakukan pengaduan dan/atau pelaporan sendiri atas penghinaan yang dialaminya.

Selain itu tidak relevan lagi untuk membedakan pengaturan bahwa penghinaan kepada anggota masyarakat secara umum merupakan delik aduan, termasuk ancaman pidananya, sementara penghinaan kepada pegawai negeri atau pejabat negara merupakan delik bukan aduan, termasuk ancaman pidananya.

Pembedaan yang demikian menurut Mahkamah tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia untuk mencapai kedudukan manusia yang sederajat dan berkeadilan, sebagaimana dituangkan dalam UUD 1945, baik dalam pembukaan maupun dalam pasal-pasalnya.

Sehubungan dengan ketentuan MK tersebut maka seyogyanya pengaduan sekelompok orang yang mengatasnamakan Risma tidak perlu di proses hukum karena bukan Risma sendiri yang mengadukannya. Tetapi rupanya kasus ini tetap berlanjut bahkan terkesan aparat begitu sigap menanganinya. Ada apakah kiranya ?

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar