Soal Potong Hukuman Para Koruptor, MA: Apakah Salah?

Jum'at, 06/12/2019 12:30 WIB
Gedung Mahkamah Agung RI di Jakarta (Foto: Law-justice.co)

Gedung Mahkamah Agung RI di Jakarta (Foto: Law-justice.co)

Jakarta, law-justice.co - Mahkamah Agung (MA) tengah menjadi sorotan publik usai mengurangi hukuman mantan Mensos Idrus Marham dari 5 tahun penjara menjadi 2 tahun penjara. Ini merupakan penyunatan hukuman terdakwa/terpidana korupsi yang dilakukan MA. Lantas, apa kata MA?

"Apakah pengurangan hukuman ini salah?" kata juru bicara MA, hakim agung Andi Samsan Nganro seperti dilansir dari Detik.com, Jumat (6/12/2019).

Menurut Andi, MA dalam melaksanakan fungsi peradilan baik itu perkara kasasi maupun perkara PK, saat ini berjalan sebagaimana mestinya. Hal itu sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan untuk melayani masyarakat pencari keadilan.

"Khusus dalam penanganan perkara pidana korupsi di MA yang dalam beberapa waktu terakhir disorot, karena adanya pengurangan hukuman Terdakwa/Terpidana yang dianggap beruntun dalam beberapa perkara korupsi yang diputus oleh MA, sebenarnya, di MA tidak ada perubahan persepsi dan kita sependapat bahwa korupsi adalah musuh bersama yang harus diberantas," papar Andi.

Dalam menangani perkara korupsi, lanjut Andi, MA telah menunjukkan keseriusan seperti hakim yang menangani perkara korupsi harus bersertifikat di semua tingkatan peradilan, termasuk di MA. Begitu juga komposisi majelis hakim kasasi dan PK yang di dalamnya duduk unsur hakim ad hoc, tidak ada yang berubah dari dulu hingga sekarang.

"Bahkan di tingkat kasasi unsur hakim ad hoc lebih banyak dari hakim karier," cetus Andi.

Upaya hukum kasasi/PL merupakan hak bagi pihak-pihak. Sebagai lembaga penyelenggara kekuasaan kehakiman, MA dalam mengemban amanat konstitusional --melaksanakan tugas peradilan -- tidak hanya bertugas dan berfungsi menegakkan hukum semata tetapi juga menegakkan keadilan.

"MA juga disebut judex juris. Artinya, MA dalam mengadili perkara kasasi menilai apakah penerapan hukum yang diterapkan judex factie ( PN dan PT) sudah tepat atau salah dalam menerapkan hukum. Jika judex factie telah salah dalam menerapkan hukum maka melalui pintu ini MA dapat bertindak sebagai stabilisator hukum," papar Andi.

"Artinya, MA dapat membatalkan atau memperbaiki putusan judex factie. Dalam konteks permohonan PK yang diajukan oleh Terpidana memang ada beberapa perkara yang dikabulkan," sambung Andi.

Menurut Andi, dikabulkannya permohonan PK dari beberapa perkara itu tentu bukan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang. Alasan itu dimuat dalam putusan PK sebagai pertanggungjawaban peradilan (akuntabilitas ) dalam mengambil putusan.

"Jadi bukan semau-maunya hakim menurunkan hukuman Terpidana. Jika kita mau perhatikan sebenarnya Terdakwa korupsi yang diperberat hukumannya juga banyak," kata Andi menegaskan.

Menurut MA, dalam melakukan pemberantasan korupsi, idealnya tentu kita tidak semata-mata hanya tertuju pada bagaimana menjatuhkan hukuman yang seberat-beratnya kepada Terdakwa. Tetapi juga bagaimana mendorong dan mengupayakan supaya Terdakwa dapat mengembalikan atau memulihkan kerugian keuangan negara yang dikorupsi.

"Jadi apabila ada Terdakwa korupsi yang sudah mengembalikan sebagian atau seluruh keruagian negara, lalu majelis hakim kasasi atau majelis hakim PK mempertimbangkan keadaan itu sebagai alasan yang turut meringankan Terdakwa, kemudian MA mengurangi hukuman Terdakwa/Terpidana tersebut sesuai dengan Pasal 4 UU Tipikor, apakah pengurangan hukuman ini salah?" pungkas Andi.

(Arif Muhammad Ryan\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar