Kisruh Status Tanah Central Park (Tulisan-4)

Sepak Terjang Lioe Nam Khiong, Mafia Tanah Kroni Agung Podomoro

Minggu, 03/11/2019 14:16 WIB
Ada makelar tanah kakap di tanah sengketa Central Park (foto: media banten)

Ada makelar tanah kakap di tanah sengketa Central Park (foto: media banten)

Jakarta, law-justice.co - Sosoknya muncul ketika tanah di kawasan Central Park mulai diperebutkan. Pria keturunan Tionghoa bernama lengkap Lioe Nam Khiong ini mengaku diminta Neneng Hadidjah, ahli waris istri pertama almarhum Munawar bin Salbini, untuk mengurus sertifikat tanah seluas 12,5 hektar yang kala itu berada di kejaksaan. Dengan berbagai cara, Leo, demikian dia biasa disapa, akhirnya berhasil mendapatkan dokumen-dokumen terkait tanah itu, tepatnya pada Maret 2003.

Belakangan, Leo kemudian mengalihkan lahan itu kepada Trihatma K Haliman, bos PT Agung Podomoro. Menurut sumber Law-justice.co Leo ini adalah orang yang berperan sebagai penyedia lahan bagi kelompok Agung Podomoro dan Agung Sedayu. ”Jadi boleh dibilang Leo orang yang bergerak di bawah. Dapat tanah dan segala macam,” ujarnya.

 “Ibu Neneng datang ke saya, kebetulan dia juga teman lama saya, minta urus tanah itu. ‘Kalo bisa kita jual murah pun tak apa-apa…putus satu harga, Pak Leo lalu yang beli tanah itu,’ demikian penjelasan Leo saat wawancara dengan redaksi Metro Realitas yang ditayangkan pada 16 Agustus 2009 silam. Keterangan ini disangkal salah seorang anak Neneng. “Ga benar itu, dia berbohong,” kata pria yang minta identitasnya tidak disebutkan itu, kepada Law-justice.co beberapa waktu lalu.

Versi lain dari hasil penelusuran awak Law-justice.co justru menyebut Leo-lah yang menawarkan diri untuk membantu mengurusi sengketa tanah di kawasan Tanjung Duren itu. Setelah mendengarkan penjelasan ahli waris tentang duduk perkaranya, Leo menyatakan sanggup menyelesaikannya, sambil berujar: ‘Pokoknya kita berperkara di Indonesia nih bohong kalau gak pakai duit.”

Leo mengajukan satu syarat: jika perkaranya dapat diselesaikan maka dia minta diberi prioritas sebagai pembeli pertama atau setidak-tidaknya mempercayakan dia untuk mencari pembeli. Syarat ini disanggupi pihak ahli waris. Dari Leo juga, para ahli waris mendapat informasi bahwa tanah tersebut tidak bisa disita kejaksaan. Karena memang dalam putusan perkara pidana Lee Darmawan tidak pernah disebutkan bahwa tanah itu termasuk yang dirampas oleh negara.

 
Lioe Nam Khiong (foto: Merdeka)

“Ini karena ada permainan antara orang-orang dari Yayasan Kejaksaan yang mau menjual barang-barang itu (hasil sitaan). Bukan hanya di kasus Lee Darmawan,” kata Agustina Munawar, putri dari istri kedua almarhum Munawar bin Salbini.

Tanah yang berlokasi di kawasan Tanjung Duren itu memang pernah tercatat sebagai aset milik terpidana kasus korupsi kredit macet Lee Darmawan Kertarahardja Harijanto alias Lee Chin Kiat. Lee adalah pimpinan PT Bank Perkembangan Asia yang terbukti mengemplang dana Bank Indonesia. Atas perbuatannya tersebut, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI nomor 1662/Pid/1991 pada 21 Maret 1992, Lee diwajibkan membayar uang pengganti Rp 85 miliar dan dijatuhi hukuman 12 tahun penjara.

Kejaksaan lalu menyita aset dan dokumen koruptor Lee Darmawan, termasuk dokumen berupa lima surat tanah Verponding Indonesia seluas 12,5 hektare di Tanjung Duren, Jakarta Barat, atas nama M Naseri bin Munawar (satu dokumen) dan empat dokumen yang sama atas nama Munawar bin Salbini. Dalam salah satu butir putusan MA disebutkan: sejumlah tanah, termasuk tanah verponding Indonesia (hak milik) seluas 12,5 hektare di Tanjung Duren, Jakarta Barat, harus dikembalikan kepada PT Madona. Lee adalah salah satu pemegang saham PT Madona.

Singkat cerita, Leo akhirnya berhasil memenangkan perkara baik pada tingkat Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi. “Sudah aman, lawan tidak kasasi, langsung kita ajuin eksekusi pada Oktober 2003. Abis dieksekusi itu, dia telat bayar tuh, gak sesuai sama perjanjiannya yg dibuat sama ahli waris. Dia langkahin itu tiga tahapan,” kata Agustina. Kewajiban yang harus dibayarkan Leo kepada ahli waris adalah Rp 90 miliar, sementara menurut mereka uang yang masuk baru Rp 10 miliar. “Saya bilang gak masalah, asal addendum. Dia tidak mau.”

Titin, sapaan akrab Agustina, pun menegur Leo. Saat itu Leo menjawab dirinya tidak punya uang. Sedangkan Leo sendri sudah meminjam-minjamkan uangnya kepada ahli waris dari istri pertama. “Nah manuver Leo minjam-minjamin duit. Adik-adik dan abang saya utang-utang sama Leo. Itu dia pikir kelemahan buat kita. Akhirnya Leo bilang: “Bu Titin kan gak tahu bahwa saudara-saudara Bu Titin sudah banyak utang sama saya.” Tentu saja saya bilang utang bukan urusan sama saya.” Sejak itulah hubungan ahli waris dengan Leo, renggang.

Yang pasti dokumen verponding tanah tersebut kini telah kembali ke ahli waris dan dipegang oleh Agustina.“Jadi, mau diutak-atik kayak gimana, verponding masih di tangan kita. BPN aja belum mengubah. Itu aja kuncinya,” kata Agustina.

Ada cerita menarik yang disampaikan Titin saat berkunjung ke redaksi Law-justice.co beberapa waktu lalu. Tanah di kawasan Tanjung Duren ini juga pernah diincar Artalyta Suryani, pengusaha wanita yang akrab disapa Ayin ini. Istri almarhum Suryadharma, bos Gadjah Tunggal milik pengusaha Sjamsul Nursalim, mencoba menguasai tanah tersebut dengan cara membeli hampir seluruh saham PT Madonna. Sekadar informasi, Lee Darmawan yang merupakan warga negara Malaysia kelahiran Ipoh, memiliki 15% saham di PT Madonna, selebihnya, yakni 40% saham dikuasai sepupunya Tasrim Junaedi dan 15% dimiliki adiknya Henri Kianto. “Lee Darmawan cs ini warga negara Malaysia, kok bisa buka usaha bank di Indonesia,” ujar Agustina.

 
Artalyta Suryani atau Ayin (foto: skandalindonesia)

Untuk memuluskan rencananya, Ayin sendiri kemudian membeli saham-saham milik Lee Darmawan dan keluarganya tersebut. Saham kemudian dialihkan kepemilikannya kepada anak Ayin. Tujuannya agar dia bisa menggugat balik tanah yang kala itu telah dikuasai Leo lewat perantara istri pertama Munawar bin Salbini. “Tetap aja dia kalah.”

“Yang bikin PPJB kan ahli waris istri yang pertama. Nah gugat itu semua…Pada waktu itu saya berpikir, saya gak pikirin saudara saya dari istri yang pertama. Yang penting gua masih punya hak…,” imbuh Titin.

Sebelum ikut membantu Ayin melawan Leo, Agustina sudah terlebih dahulu meminta nasihat kepada sejumlah orang termasuk kepada almarhum Soemitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo Soebianto. “Saya menghadap Pak Soemitro di Kertanegara. Pak Mitro ngajarin saya. Katanya: “Ndok kamu ga usah khawatir. Ini udah bapak ambil dengan nama PT Prahabima.” Prahabima adalah perusahaan keluarga Soemitro yang namanya diambil dari singkatan dari nama anak-anaknya, yakni Prabowo, Hasyim dan Bianti.

Begitupun, upaya keluarga ahli waris kandas. “Tadinya saya pikir dengan ada orang yang punya uang di belakang, kita bisa angkat. Tapi kan sama juga. Akhirnya Ayin juga di-TO (target operasi) langsung masuk lagi penjara kedua. Cuma karena KTP palsu. Saya tahu benar.”

Siapa Leo

Kembali ke profil Leo. Penduduk di kawasan Tanjung Duren mengenalnya sebagai pria keturunan Tionghoa yang mengurusi tanah-tanah di sana. “Dia orang Cina cuma Cina mana, saya tidak tahu. Waktu itu saya pernah diundang melalui camat ya, camatnya yang sekarang jadi Walikota (Jakarta Barat. Red), Pak Rustam (Effendi). Waktu itu soal tanah juga, dimana tanah mertua saya waktu itu diaku punya sertifikat oleh Pak Leo. Itulah permainan orang yang punya duit dengan pejabat, tanah belum dijual kok ada sertifikat,” kata seorang penduduk senior yang enggan disebut namanya.

Sedangkan informasi yang diperoleh Law-justice.co menyebut sebelum berurusan dengan tanah, Leo memiliki usaha produksi CD bajakan, bahkan penyelundup rokok putih. Baru setelah dia menguasai tanah di kawasan Tanjung Duren, profesinya beralih menjadi broker tanah. Selain tanah ahli waris almarhum Munawar bin Salbini seluas 12,5 hektar, seluruh tanah di kawasan Central Park yang luas totalnya 32 hektar itu dialah perantaranya ke Agung Podomoro.

Pengacara kondang Elza Syarief yang juga pernah menulis disertasi untuk program doktornya dengan judul: “Penyelesaian Sengketa Pertanahan yang Berkeadilan Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan”, mengatakan Leo adalah ‘pemain’. “Iya, pernah ketemu. Dia dulu juga mau eksekusi tanah angkatan laut. Iya pemain dia. Dia (menjadi) kaya karena itu, suka jadi preman-preman seperti itu,” kata Elza kepada Teguh Vicky Andrew kepada Law-justice.co.

Leo memiliki jaringan luas di lingkungan lembaga penegak hukum. Dia juga dekat dengan politisi dan sejumlah petinggi negeri ini. Saat perkara tanah ahli waris Munawar bin Salbini mulai ramai, Leo mendekati Gubernur DKI Jakarta, pada waktu itu Sutiyoso. “Leo pintar. Dia pertama yang dipegang Gubernur Sutiyoso. Gubernur lah yang menjembatani ke sana kemari kan. Itu awalnya itu Leo, dari Sutiyoso,” kata Agustina.

Sutiyoso yang menjabat gubernur untuk periode 1997 – 2007 pernah mengatakan kepada ahli waris bahwa tanah tersebut sudah dibayar. “Saya bilang Pak Sutiyoso: Loh Bapak jangan begitu. Dari mana Bapak tahu ahli waris sudah dibayar? Saya ini ahli waris,” imbuhnya. Sutiyoso mengatakan informasi itu berdasarkan laporan orang-orangnya. Dijawab Agustina,”Saya yang punya tanah, pemenang perkara dan belum dibayar. Terus ngeles deh Pak Sutiyoso.”

 
Leo bersama Taekwondoin Indonesia (foto:tribune)

Pria pemegang Sabuk Dan IX Kukkiwon akhir-akhir ini sangat sulit dihubungi untuk dimintai konfirmasi. Beberapa kali Bonna Siahaan dari Law-justice.co menelepon dan mengirim pesan via WhatsApp tetapi tidak pernah direspons oleh yang bersangkutan. Menurut sejumlah sumber, Leo kini lebih banyak tinggal di Singapura. Apalagi sejak Oktober 2018, Grand Master Lioe Nam Khiong alias Leo dipercaya duduk di Kepengurusan World Taekwondo Federation (WTF) sebagai Vice Chairman Marketing. Dia bersama Presiden Taekwondo Singapura, Milan Kwee yang duduk sebagai chairman.

Leo sendiri memiliki sanggar Taekwondo, UTI-Pro Training Center di Pantai Indah Kapuk. Pada Agustus lalu, calon presiden Prabowo Subianto melakukan kunjungan ke sana. Dalam kunjungannya, Prabowo yang juga Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia (PB IPSI) itu didampingi Mantan Ketua KONI Pusat, Tono Suratman. Mereka disambut sendiri oleh Pendiri UTI-Pro dan YUTI, pemegang Sabuk Dan IX Kukkiwon, Grand Master Lioe Nam Khiong.

Tentang kedekatan Leo dengan sejumlah petinggi partai dan pejabat, seorang sumber mengatakan begitula cara Leo bekerja.

Sumber lain berujar Leo merupakan salah seorang yang turut menggalang dana untuk tim kampanye calon presiden dan wakil presiden Sandiaga – Prabowo saat ajang pilpres lalu. “…Waktu ada kampanye-kampanye itu, dia (Leo) carikan dana buat timnya Prabowo, ada Rp 400 juta. Bahkan pernah saat sesi kampanye, Sandi (Sandiaga Uno) datang ke rumahnya dia, di Pantai Indah Kapuk,” katanya.

Calon Wakil Presiden Sandiaga Uno pada Oktober 2018 lalu memang menghadiri acara dialog pelaku ekonomi dengan masyarakat Tionghoa. Pertemuan tersebut berlangsung di rumah Lioe Nam Khiong di kawasan Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Dalam pertemuan tersebut Sandiaga menjanjikan kebijakan yang mendorong perbaikan ekonomi dan kemudahan di dunia usaha seandainya menang Pilpres 2019. Sandiaga mengatakan, dia dan Prabowo akan memastikan agar perizinan mudah dan pajak yang tidak menyulitkan para pengusaha.

Hakimnya selalu MD Pasaribu

Betapa kuat jaringan Leo, bahkan hakim nampaknya juga bisa dia atur. Buktinya setiap perkara yang dilaporkan Leo atau Agung Podomoro terutama terkait sengketa tanah Central Park, hakimnya selalu Maruap Dohmatiga (MD) Pasaribu. Belum terang betul bagaimana hubungan Leo dengan MD Pasaribu. Yang pasti sejumlah putusan perkara tanah Central Park, hakim pemutusnya adalah MD Pasaribu. Keluarga ahli waris almarhum Munawar bin Salbini mencatat setidaknya ada tiga perkara yang melibatkan MD Pasaribu, pertama, gugatan terhadap pengadilan negeri atas status tanah sebagai hibah. Kedua, ketika keluarga istri kedua Almarhum Munawar bin Salbini dipidana, dan terakhir adalah perkara perdamaian (dading).

Awak Law-justice.co berusaha menghubungi hakim yang mulai memakai toga emas sejak Oktober 2013 ini namun hingga kini belum berhasil.

“Yang membuat (putusan. Red.) MD Pasaribu. Hakim tunggal. Loh ada apa nih? Memang tidak ada hakim lain kecuali MD Pasaribu” ujar Agustina Munawar, putri istri kedua almarhum Munawar bin Salbini. Keluarga ahli waris istri kedua yang berjumlah 9 orang ini sempat ditahan di Pondok Bambu.

 
MD Pasaribu, salah satu hakim agung penganulir vonis mati mafia shabu (foto:detik)

Pernah juga ada kasus narkoba yang melibatkan Leo, tetapi dia selalu berhasil lenggang dari jeratan hukum. Suatu ketika polisi menggerebeg sebuah rumah karena dicurigai sebagai pabrik shabu. Rumah itu ternyata salah satu rumah Leo. “Pada waktu pengebrekan di rumahnya, ditemukan pabrik shabu. Ini merupakan pengembangan kasus dari Batam ke Muara Karang,” kata seorang sumber. Meski sempat diamankan namun akhirnya Leo dibebaskan. Alasannya karena rumah Leo dikontrak seorang warga negara Taiwan. “Rumah itu rumah Leo dikontrak sama orang Taiwan. Jelas-jelas di rumahnya ada barang bukti. Udah jelas. Tapi kan kaki tangan Kapolri (Sutanto) yang datang ke situ.”

Kasus Tanah Marinir di Kelapa Gading

Salah satu kasus sengketa tanah yang juga melibatkan Leo adalah perkara perebutan tanah di Jalan Perintis Kemerdekaan RT. 001/RW. 004, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Tanah seluas 31,5 hektar yang dikuasai  oleh TNI Angkatan Laut itu diperebutkan oleh lima pihak yang berbeda (dua perusahaan dan tiga perseorangan).

Pengacara yang kerap menangani berbagai kasus tanah di Indonesia, Elza Syarief mengetahui betul duduk perkaranya, juga sepak terjang Leo. “Kalau Leo saya kenal. Saya pernah ketemu dia. Iya pemain dia. Dia kaya karena itu, suka jadi preman-preman seperti itu. Iya, bikin gugatan ke pengadilan”, kata Elza kepada Law-justice.co.

Tiga gugatan di antaranya telah diputus di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung (MA) sehingga telah berkekuatan hukum tetap. Hasilnya, seluruh putusan itu  mengalahkan pihak TNI Angkatan Laut. Sementara satu dari dua perkara perdata lainnya justru menyatakan tanah itu secara sah merupakan milik TNI Angkatan Laut.

Berbekal putusan-putusan kasasi itulah, seperti disebutkan Elza,  Leo melancarkan aksinya dalam kasus sengketa tanah ini.  Dengan mengklaim sebagai perwakilan dari pihak-pihak yang memenangkan perkara, ia kemudian membuka hubungan dengan pihak AL. Tujuannya untuk melakukan lobi agar pihak AL mau menyerahkan tanah sengketa itu dengan dasar putusan-putusan kasasi itu.

 
Pengadilan tak berani lanjutkan eksekusi (foto: Merdeka)

“Itu, dia sekarang lagi nge-lobi Angkatan Laut supaya ngambil tanah Angkatan Laut karena dia menang. Itu kasus saya tahu, orang saya terlibat juga sebagai kuasa hukum dari pihak yang lain”, papar Elza. 

Asal-Usul Tanah Sengketa

Sebelum menjadi objek perebutan berbagai pihak, seperti dicatat Elza dalam buku Pensertifikatan Tanah Bekas Hak Eigendom (2014), dahulu tanah ini dikenal dengan sebutan Kandang Sapi atau Kampung Antjol. Lahan ini berstatus tanah negara  bekas hak Eingendom verponding nomor 11202 dan 6252 yang dimiliki oleh  Nyoo Seng Hoo dan Kho Merie Nio yang dicatat dalam akta Eingendom nomor 850/1953.

Tanah ini kemudian berpindah tangan setelah dilakukan akta over lepas hak ganti rugi. Oleh kuasa pengurus tanah, lahan ini didaftarkan ke Kelurahan Sunter dan Kantor Pertanahan Jakarta pada 19 September 1962. Setelah itu, tanah ini dialihkan kepada PT Wiguna Utama Pertiwi pada 7 Maret 1986 melalui notaris Drs. H. Saidus Sjahrar dengan memberikan kompensasi kepada penggarap, R Soekandi bin Baie yang tetap boleh melakukan aktivitas di atas tanah itu.

Pada waktu yang berdekatan, TNI AL juga mengajukan hak atas tanah negara itu. Dengan dalil sudah membebaskan tanah itu dari pemilik tanah hak sewa, milik, dan usaha kemudian terbit Sertifikat Hak Pakai No. 2 dan 3 pada 7 Maret 1960. Hal inilah yang kemudian ditolak oleh sejumlah pihak yang berkepentingan atas tanah itu, seperti PT. Wiguna Utama Pertiwi, PT Jaya Murni Duta Kencana, Drs Soemardjo, Ahli Waris Alm Mohamad Saleh dan Alm. Djudah dan menjadi permulaan sengketa tanah.

Eksekusi yang Gagal

Setelah kalah di tingkat Peninjauan Kembali, pada 2011, terdapat upaya untuk mengeksekusi sebagian lahan yang diduduki AL seluas 20,5 hektar itu. Tindakan ini dilakukan  berdasarkan  Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 541 PK/Pdt/2000 yang menyatakan Drs. Sumardjo adalah satu-satunya pemegang hak yang sah dan diserahkan harus diserahkan   dalam keadaan kosong serta bebas dari segala beban.

Upaya eksekusi pertama pada 2011 . Ketika itu, juru sita Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Yopi berupaya melakukan eksekusi tetapi gagal karena dihadang oleh ratusan personil TNI AL yang berbasis untuk menghadang proses itu. Bahkan upaya pengambilalihan tanah sengketa ini berakhir ricuh karena personil TNI AL mendapat dukungan dari wara setempat dan pemilik bangunan di atas tanah itu.

Empat tahun berselang, pada 2015, percobaan eksekusi lahan ini kembali dilakukan. Meskipun Wakil Panitera PN Jakarta Utara, Supyantoro Muchidi berhasil membacakan putusan pengadilan, namun proses eksekusi lahan lagi-lagi gagal. Pasalnya, selain personil TNI AL bersenjata laras panjang menjaga ketat lahan itu dan melibatkan masyarakat setempat, terdengar pula suara dentuman meriam yang membuat orang-orang yang berada, di sekitar kawasan itu berhamburan untuk menyelamatkan diri.

Kontribusi laporan: Teguh Vicky Andrew, Bonna Siahaan, Nikolaus Tolen, Januardi Husin

(Tim Liputan Investigasi\Rin Hindryati)

Share:




Berita Terkait

Komentar