Kenapa Kaum Muda Korea Selatan Enggan Pacaran?

Minggu, 12/05/2019 17:06 WIB
Kaum muda Korea enggan pacaran karena mahal (foto: LineToday)

Kaum muda Korea enggan pacaran karena mahal (foto: LineToday)

Jakarta, law-justice.co - Ada tren yang cukup mencemaskan di kalangan muda Korea Selatan (Korsel). Mereka kebanyakan enggan untuk berpacaran. Dari waktu ke waktu, jumlah anak muda yang menghindari hubungan romantis semakin meningkat. Alasannya beragam: sebagian mengatakan tidak punya waktu, yang lain merasa pacaran itu mahal, sementara sebagian (terutama kaum perempuan) trauma karena takut dikhianati sang pacar.

Kim Joon-hyup, misalnya. Mahasiswa berusia 24 tahun ini mengaku baru pertama kali pacaran. “Saya tidak punya banyak waktu,” katanya seperti dikutip dari CNN. “Meski misalnya saya bertemu seseorang yang saya suka, saya akan merasa kasihan padanya karena tidak bisa menghabiskan banyak waktu bersamanya.” Kim adalah mahasiswa full time di Universitas Sejong, Seoul. Selain kuliah, dia juga mengambil sekolah sore tentang game design.

Inisiatif untuk berpacaran pun bukan datang dari Kim. Ia tengah menyelesaikan tugas kencan (dating assignment) untuk mata kuliah ‘Gender and Culture’. Dosen mewajibkan para mahasiswa yang mengikuti kelas ini membuat tugas akhir dengan berpacaran. Mata kuliah ini amat populer terutama karena ada ‘tugas pacaran’. Para mahasiswa akan dipasangkan secara acak untuk ‘berpacaran’ selama 4 jam.

“Cukup banyak siswa yang datang untuk mengikuti ‘tugas kencan’,” kata Profesor Bae Jeong-weon, sang dosen. “Ada mahasiswa yang belum pernah pacaran sama sekali. Beberapa bahkan ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk mencoba berkencan.”

Kelas seperti ini barangkali perlu diselenggarakan di Korsel. Pasalnya menurut data yang dirilis Korea Institute for Health and Social Affairs (KIHSA), pada 2018 mayoritas penduduk Korsel yang berusia antara 20-44 tahun, berstatus lajang. Dari jumlah itu hanya 26% laki-laki dan 32% perempuan lajang yang menjalin hubungan serius atau pacaran. Sementara sebagian besar sisanya memutuskan untuk tetap melajang.

Tekanan Ekonomi

Tingkat pengangguran di negara yang sangat maju untuk urusan teknologi ini meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2018, angkanya mencapai puncaknya dalam 17 tahun terakhir, yakni 3,8%. Pengangguran di kalangan muda yang berusia antara 15-29 tahun, angkanya jauh lebih tinggi, yakni 10,8%. Menurut survei lembaga perekrutan tenaga kerja JobKorea, hanya 1 dari 10 mahasiswa yang segera lulus tahun ini, sudah mendapat pekerjaan penuh.

 

Biaya hidup tinggi di Korea Selatan (foto: finansialku)

Sulitnya mencari pekerjaan membuat kaum muda di Korea memilih untuk tidak berpacaran. Mereka mengaku tidak punya waktu, uang atau kapasitas emosional untuk pacaran. Perilaku ini terkait dengan tingginya tingkat persaingan mencari kerja. Banyak dari mereka yang kemudian memanfaatkan waktu luang dengan mengikuti beragam sekolah tambahan demi mendapatkan sertifikat atau ketrampilan profesional lain. Tujuannya agar bisa lebih unggul saat wawancara untuk mendapatkan pekerjaan.

Seorang sarjana yang baru lulus Lee Young-seoh, 26, mengaku takut pacaran karena khawatir itu hanya akan mengganggu konsentrasinya mencari pekerjaan. “Karir adalah hal terpenting dalam hidupku. Jika saya berpacaran saat sedang mencari pekerjaan, saya akan merasa gelisah dan tidak mampu memberikan komitmen pada pasangan.”

Pacaran bisa juga dianggap mahal. Sebuah perusahaan biro jodoh Duo mengestimasi rata-rata biaya sekali kencan mencapai US$ 55 (Rp. 800.000). Bagi yang berpenghasilan pas-pasan, biaya ini termasuk mahal. Mereka setidaknya harus bekerja 7,6 jam (dengan upah minimum US$ 7 per jam) untuk membiayai satu kali kencan.

Sebuah survei yang dilakukan lembaga riset pasar Embrain menunjukkan 81% responden mengatakan biaya kencan merupakan sumber stres dalam berpacaran. Sebagian responden bahkan mengakui meski mereka telah menemukan seseorang yang disuka tapi jika ekonomi belum mendukung mereka memilih menunda pacaran.

“Karena sulit mendapatkan pekerjaan, tidak ada lagi uang yang bisa disisihkan untuk kencan,” kata Kim yang bekerja paruh waktu di sebuah pacuan kuda. “Ketika kamu menemukan seseorang yang sangat disuka, tentu kamu ingin menginvestasikan segalanya ke orang tersebut, tapi untuk saat ini, terlalu mahal rasanya untuk mendapatkan itu.”

Profesor Bae mengatakan persepsi inilah yang ingin dia ubah melalui ‘tugas kencan’ yang diberikan pada mahasiswanya. Setiap mahasiswa dibatasi hanya boleh menghabiskan uang kurang dari US$ 9 atau sekitar Rp.130.000 per sekali kencan.

“Banyak mahasiswa berpikir, perlu uang untuk kencan,” katanya. “Tetapi ketika mereka menyelesaikan tugas (kencan) ini, mereka akan sadar, jika kreatif maka banyak cara bagaimana menghabiskan waktu bersenang-senang saat berkencan tanpa mengeluarkan terlalu banyak uang.”

(Rin Hindryati\Rin Hindryati)

Share:




Berita Terkait

Komentar